Oleh : Wardah Abeedah
Suaramubalighah.com, Opini-Menikah adalah ibadah yang disunnahkan dalam syariah. Rasulullah Shallahu Alaihi Wassallam bersabda,
النِّكَاحُ من سُنَّتِي فمَنْ لمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَليسَ مِنِّي ، و تَزَوَّجُوا ؛ فإني مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ
“Menikah adalah sunnahku, barangsiapa yang tidak mengamalkan sunnahku, bukan bagian dariku. Maka menikahlah kalian, karena aku bangga dengan banyaknya umatku (di hari kiamat) (HR. Ibnu Majah no. 1846)
Rasulullah Shalaallahu Alaihi Wassallam juga melarang membujang,
Dan Sa’ad bin Abu Waqqash ia berkata, “Rasulullah Shalaallahu Alaihi Wassalam pernah melarang ‘Utsman bin Madh’un membujang dan kalau sekiranya Rasulullah mengijinkannya tentu kami berkebiri”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim]
Begitu dianjurkannya menikah, Allah Subahanaallahu Wa Ta’ala menegaskan akan memampukan mereka yang miskin. Juga memerintahkan muslim untuk menikahkan saudaranya. Sebagaimana firman Allah dalam an Nur 32,
“Dan kawinkanlah orang orang yang sendirian di antara kamu, dan orang orang yang layak (berkawin) dari hamba hamba sahayamu yang lelaki dan hamba hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya. Dan Allah Maha Luas pemberianNya lagi Maha Mengetahui.”
Secara historis, para khalifah dalam peradaban khilafah Islam dahulu sangat memperhatikan urusan pernikahan. Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan kepada para gubernur, untuk mempergunakan kelebihan zakat di harta Baitul maal untuk menikahkan para jomblowan dan jomblowati yang terhalang menikah karena biaya. Diriwayatkan Khalifah Abu Bakar dan khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhuma pernah membebaskan budak perempuan untuk dinikahkan dengan lelaki yang dicintainya.
Perhatian negara bagi para jomblo bukanlah hal istimewa dalam Islam. Tersebab Islam menetapkan keberadaan negara adalah untuk menjalankan syariah atau hukum Allah, termasuk perintah menikah dan menikahkan para jomblo.
Imam Al Hafidz An Nawawi menegaskan dalam kitabnya Raudhah at-Thalibin wa Umdah al-Muftin, bahwa keberadaan Imam (penguasa) bagi umat untuk menegakkan agama, menolong as-sunnah, menolong orang-orang yang didzalimi serta menempatkan hak-hak pada tempatnya
Imam Thabariy ketika menafsirkan surat Al Baqarah 208 menyatakan,
“Ayat di atas merupakan perintah kepada orang-orang beriman untuk menolak selain hukum Islam; perintah untuk menjalankan syari’at Islam secara menyeluruh; dan larangan mengingkari satupun hukum yang merupakan bagian dari hukum Islam.”
Berbeda dengan negara demokrasi kapitalis yang landasan ideologinya adalah sekularisme ; pemisahan agama dari kehidupan. Maka perhatian terhadap penegakan agama dan ibadah akan selalu diabaikan. Bisa kita saksikan bagaimana aturan yang dibuat di negeri ini mempersulit pernikahan, termasuk menentang pernikahan dini. Dalam UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, disebutkan usia minimal untuk menikah 19 tahun bagi kedua mempelai. BKKBN ketika memperingati Hari Anak Nasional 2018 lalu, mengangkat tema “stop perkawinan anak” dan diikuti deklarasi penolakan pernikahan dini oleh ratusan remaja yang hadir.
Bersamaan dengan dipersulitnya pelaksanaan ibadah nikah, pintu zina dibuka lebar. Zina tak dikategorikan perbuatan kriminal yang dicela dan dijatuhi hukuman bagi pelakunya. Bahkan melalui program Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR), ramai sosialisasi perilaku seksual remaja yang sehat dan aman. Perilaku seksual remaja yang sehat artinya tidak mengantarkan pada penyakit menular seksual. Sementara aman artinya tidak mengantarkan pada terjadunya kehamilan yang tak diinginkan. Sosialisasi ini dilakukan melalui penyuluhan di sekolah, seminar, hingga bagi-bagi kondom.
Kampanye paham liberal, gaul bebas, kumpul kebo hingga LGBT begitu massif dikampanyekan melalui film, lagu, tulisan di waattpad, bincang-bincang di podcast, youtube, dll. tanpa adanya larangan oleh negara.
Islam bukanlah agama yang membolehkan kerahiban yang melarang mutlak pemenuhan naluri seksual bagi mereka yang makin baik agamanya. Islam mengakui bahwa Allah menciptakan naluri seksual bagi manusia. Islam menetapkan keberadaan naluri itu hanyalah untuk melestarikan jenis manusia. Menjelaskan bahwa naluri muncul ketika terdapat rangsangan. Maka syariah menetapkan seperangkat hukum syara’ terkait interaksi pria dan wanita agar tak memunculkan rangsangan yang membuat naluri seksual bergejolak liar. Seperti mewajibkan laki-laki dan perempuan untuk menutup aurat, menundukkan pandangan. Juga melarang khalwat dan ikhtilat bagi keduanya. Jika naluri itu muncul, solusi untuk pemenuhan naluri ini hanyalah satu ; pernikahan. Jika tak mampu menikah, maka berpuasa. Dengan pernikahan, pemenuhan naluri ini dinilai ibadah di sisi Allah.
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam juga telah bersabda,
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اْلبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَاِنَّهُ اَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَ اَحْصَنُ لِلْفَرْجِ. وَ مَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَاِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ. الجماعة
Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata : Rasulullah ﷺ bersabda, “Hai para pemuda, barangsiapa diantara kamu yang sudah mampu menikah, maka nikahlah, karena sesungguhnya nikah itu lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih dapat menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena berpuasa itu baginya (menjadi) pengekang syahwat”. [HR. Jamaah]
Mukhatab/orang yang diseru dalam hadis ini adalah syabab, yakni pemuda. Seruannya adalah menikah begitu mampu ba’ah. Menurut Imam Nawawi, pendapat yang paling benar soal makna al-Ba’ah adalah al-jima’ (kemampuan untuk bersetubuh). Al-Hâfizh Ibnu Hajar al-’Asqalâni rahimahullah dalam Fathul Bari berkata, ”Tidak mengapa memahami kata al-bâ-ah dengan pengertian yang lebih umum, sehingga maksud dari al-bâ-ah ialah kemampuan untuk berjima’ dan biaya pernikahan.”
Maknanya, menyegerakan nikah ketika organ reproduksi siap adalah disunnahkan. Namun jika tak mampu maka diberi pilihan untuk berpuasa. Anjuran menyegerakan menikah bagi pemuda tentunya didukung dengan berbagai syariah lainnya. Seperti kemudahan nikah dengan penetapan lima rukun nikah, kesunnahan walimah. Tanpa mempersulit dengan berbagai klenik, standar kemewahan tertentu, dan hal-hal tak penting seperti kebiasaan masyarakat zaman ini.
Ibadah nikah juga dibarengi dengan pelayanan negara untuk laki-laki maupun perempuan agar mampu melaksanakan kewajiban sebagai suami-istri, orangtua dengan baik. Sistem pendidikan Islam dan kewajiban mendidik anak oleh orangtua mempersiapkan output SDM berkepribadian Islam, hingga menjadi matang dan siap menjalankan berbagai ibadah termasuk menikah dan menjadi orangtua.
Negara juga wajib memberikan kemudahan bagi para lelaki baligh apalagi sudah menikah untuk mampu memenuhi kebutuhan hidup, mampu menafkahi dengan membuka akses lapangan kerja. Mensejahterakan rakyat dengan mendirikan Baitul Maal yang menarik zakat dari orang kaya, menarik kharaj, jizyah, dll serta mengelola sumber daya alam. Menerapkan sistem pergaulan Islam yang mewujudkan hubungan sosial kemasyarakatan berjalan harmonis, minim perselingkuhan dan problem sosial lainnya. Sehingga ketahanan keluarga sulit terwujud di tengah-tengah masyarakat.
Kondisi seperti ini bisa kita saksikan dalam catatan sejarah khilafah pertama tegak dulu. Dimana ketahanan keluarga kuat, meski para sahabat dan tabi’in terbiasa dengan budaya nikah muda. Namun penerapan syariah Islam dalam berbagai aspek secara kaffah oleh negara mewujudkan masyarakat yang diliputi kebaikan dan keberkahan hidup. Maha Benar Allah Subhanaallahu Wa Ta’ala dalam firmanNya,
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”. [Al-A’raf Ayat 96]. Insyaallah.