suaramubalighah.com, KONSULTASI – Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuhu. Merebaknya praktik poliandri akhir-akhir ini ramai diperbincangkan di tengah masyarakat. Baik karena faktor ekonomi, kebutuhan biologis, jarak karena tinggal berjauhan, dan minimnya ilmu agama. Ada yang sepakat dengan poliandri terutama dari kalangan feminisme, namun sebagian besar masyarakat menolaknya. Bagaimana pandangan syariat Islam tentang poliandri?
Ibu Zakiyah – Banyuwangi, Jawa Timur.
Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.
===============================================
Wa’alaikumus Salam Warahmatullahi Wabarakatuhu.
Ibu Zakiyah yang dirahmati oleh Allah Subhanaallahu wa Ta’ala. Poliandri adalah sistem perkawinan di mana seorang wanita mempunyai suami lebih dari satu orang dalam waktu bersamaan.
Poliandri adakalanya dilakukan istri dengan sepengetahuan dan seizin dari suami pertama dan diketahui oleh suami kedua, adakalanya dilakukan sepengetahuan dan seizin dari suami pertama namun tidak diketahui suami kedua.
Namun ada kalanya tidak diketahui suami pertama dan tidak diketahui suami kedua bahwa istrinya masih memiliki suami pertama, adakalanya juga tidak diketahui suami pertama tetapi suami kedua mengetahui bahwa istrinya masih berstatus sebagai istri orang lain.
Ada sejumlah alasan bagi pelaku poliandri, di antaranya adalah kemapanan ekonomi perempuan karena dia pekerja dan memiliki pendapatan yang cukup.
Dengan kondisi ini perempuan memiliki kemampuan dan kewenangan untuk memutuskan hal-hal tentang dirinya, termasuk poliandri. Kondisi ini yang disebut sebagai otonomi perempuan oleh kalangan feminis.
Ibu Zakiyah yang shalihah…
Apapun kondisinya, poliandri dilarang tegas di dalam Islam. Allah Subhanaallahu Wa Ta’ala telah melarang wanita yang telah bersuami dinikahi pria lain. Dalam QS. An-Nisa ; 24 Allah Subhanaallahu Wa Ta’ala telah berfitman,
وَٱلْمُحْصَنَٰتُ مِنَ ٱلنِّسَآءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْ ۖ كِتَٰبَ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kami miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu.”
Ayat ini menunjukkan bahwa salah satu kategori wanita yang haram dinikahi oleh laki-laki adalah wanita yang sudah bersuami, yang dalam ayat di atas disebut al-muhshanaat.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan dalam an-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam Beirut: Darul Ummah, 2003) hal. 119:
“Diharamkan menikahi wanita-wanita yang bersuami. Allah menamakan mereka dengan al-muhshanaat karena mereka menjaga [ahshana] farji-farji (kemaluan) mereka dengan menikah.”
Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Imam Asy-Syafi’i yang menyatakan bahwa kata muhshanaat yang dimaksud dalam ayat tersebut bukanlah bermakna wanita merdeka (al-haraair), tetapi wanita yang bersuami (dzawaatul azwaaj) (Al-Umm, Juz V/134).
Imam Asy-Syafi’i menafsirkan ayat di atas dengan mengatakan,
“Wanita-wanita yang bersuami (baik wanita merdeka atau budak) diharamkan atas selain suami-suami mereka, hingga suami-suami mereka berpisah dengan mereka karena kematian, cerai, atau fasakh, kecuali as-sabaayaa (yaitu budak-budak perempuan yang dimiliki karena perang, yang suaminya tidak ikut tertawan bersamanya)… (Imam Asy-Syafi’i, Ahkamul Quran, Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 1985, Juz I/184).
Adapun dalil as-Sunnah yang melarang poliandri adalah hadist Rasulullah Shalaallahu Alaihi Wasallam sebagai berikut,
“Siapa saja wanita yang dinikahkan oleh kedua orang wali, maka (pernikahan yang sah) wanita itu adalah bagi (wali) yang pertama dari keduanya.” (HR Ahmad) (Imam Asy-Syaukani, Nailul Authar, hadits no. 2185; Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz III/123).
Hadits di atas secara manthuq (tersurat) menunjukkan bahwa jika dua orang wali menikahkan seorang wanita dengan dua orang laki-laki secara berurutan, maka yang dianggap sah adalah akad nikah yang dilakukan oleh wali yang pertama (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz III/123).
Berdasarkan dalalatul iqtidha’, yaitu makna yang tidak terucap dalam lafal teks ayat atau hadits, namun merupakan keharusan makna yang mesti ada agar makna-makna lafal itu bernilai benar, baik bernilai benar karena tuntutan akal maupun tuntutan syara’, hadits tersebut juga menunjukkan bahwa tidak sah pernikahan seorang wanita kecuali dengan satu orang suami saja.
Makna dalalah ini yakni tidak sahnya pernikahan seorang wanita kecuali dengan satu suami merupakan makna yang dituntut (iqtidha) dari manthuq hadits, agar makna manthuq itu benar secara syara’. Maka dalalatul iqtidha hadits di atas menunjukkan haramnya poliandri.
Ibu Zakiyah Rahimakumullah…
Dalam Islam, anak dinasabkan kepada ayahnya. Dan masalah nasab ini sangat urgen dalam Islam, hingga Islam mencela menasabkan diri kepada selain ayah kandung dikategorikan oleh para ulama sebagai perbuatan dosa besar.
Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam bersabda,
مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ، وَهُوَ يَعْلَمُ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ
“Barang siapa menasabkan diri kepada selain ayah kandungnya, padahal ia tahu ayah kandungnya, maka surga haram baginya.” (HR. Bukhari 4326, Muslim 63)
Nasab dalam Islam berkaitan dengan hukum yang lain bahkan menentukan sah atau tidaknya pelaksanaan suatu hukum seperti pernikahan, nafkah, pembagian harta warisan, dan lain-lain.
Jika satu wanita berhubungan badan dengan beberapa suami, maka tidak jelas anak yang lahir dari rahimnya adalah hasil pembuahan dari suami yang mana, dan kepada suaminya yang mana nasab anaknya akan disandarkan?
Ibnu Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah berkata,
“Pernyataan ‘laki-laki dibolehkan menikahi empat orang wanita, namun wanita tidak dibolehkan menikahi lebih dari satu lelaki’, ini adalah salah satu bentuk kesempurnaan sifat hikmah dari Allah Ta’ala kepada mereka. Juga bentuk ihsan dan perhatian yang tinggi terhadap kemaslahatan makhluk-Nya. Allah Mahatinggi dan Mahasuci dari kebalikan sifat tesebut. Syariat Islam pun disucikan dari hal-hal yang berlawanan dengan hal itu. Andai wanita dibolehkan menikahi dua orang lelaki atau lebih, maka dunia akan hancur. Nasab pun jadi kacau. Para suami saling bertikai satu dengan yang lain, kehebohan muncul, fitnah mendera, dan bendera peperangan akan dipancangkan.” (I’laamul Muwaqqi’in, 2/65)
Ibu Zakiyah Rahimakumullah,
Poliandri jelas-jelas telah melanggar syariat Islam dan pasti akan mengantarkan kepada rusaknya tatanan keluarga dan masyarakat.
Adapun maraknya praktek poliandri akhir-akhir ini tidak lain dan tidak bukan karena diadopsinya paham sekularisme yang memisahkan agama dalam tatanan kehidupan termasuk dalam pernikahan.
Oleh karena itu sangat penting bagi masyarakat untuk memahami syariat Islam dan menjadikannya sebagai pijakan dalam menjalani kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Jangan pisahkan agama dari kehidupan. Justru aturlah kehidupan ini sesuai dengan syariat Islam kaffah, Insya Allah kehidupan akan menjadi berkah. Waallahu a’lam bis shawab. []