Fenomena tersebut membuktikan adanya degradasi moral (kemerosotan moral), yang tengah melanda anak bangsa.
Oleh: Nur Fitriyah Asri (Pengurus BKMT Kabupaten Jember)
suaramubalighah.com, OPINI – Akhir-akhir ini muncul berita praktik poliandri di kalangan aparatur sipil negara (ASN), juga di tengah masyarakat.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menteri PANRB), Tjahyo Kumolo, mengungkapkan adanya pelanggaran aparatur sipil negara (ASN).
Selanjutnya menjelaskan, bahwa di zaman Presiden Soeharto ASN tidak boleh punya istri dua (poligami). Juga pernah memutuskan perkara pernikahan ASN wanita punya suami lebih dari satu (poliandri) digugat suami yang sah dan didukung pengaduan pimpinan.
Ini merupakan fenomena baru dan lagi tren. Setahun ada sekitar lima laporan poliandri, kata Tjahjo.
Fenomena tersebut membuktikan adanya degradasi moral (kemerosotan moral), yang tengah melanda anak bangsa. Tidak memandang usia, pendidikan, pekerjaan, status sosial, ekonomi, dan jabatan.
Akibat degradasi moral, perbuatan yang dilakukan jauh dari tuntunan agama. Pergaulan dan seks bebas, prostitusi, miras, nyabu, narkoba, perselingkuhan, kenakalan remaja, tingginya angka perceraian, dan maraknya poliandri.
Sungguh, rusaknya moral menunjukkan rentannya ketahanan keluarga. Padahal keluarga adalah bangunan terkecil yang menentukan baik buruknya sebuah negara.
Semua itu akibat sekularisme yang diadopsi negara ini. Agama tidak boleh mengatur negara dan urusan publik. Wajar jika terjadi kerusakan di semua lini kehidupan.
Ironis memang, penduduk mayoritas muslim terbesar sedunia tidak mengenal syariatnya. Terbukti individunya maupun penguasa tidak paham apa poligami dan poliandri.
Mana mungkin bisa mencarikan solusinya? Belum lagi dengan kerusakan-kerusakan yang lainnya, tidak akan tersolusi jika asasnya masih demokrasi sekuler.
Hanya Islam yang bisa menyelesaikan semua problematik umat. Karena Islam adalah agama sempurna yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. untuk menyampaikan syariat-Nya, yakni seperangkat aturan yang berasal dari wahyu Allah yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya (akidah dan ibadah), mengatur dirinya (makanan, minuman, pakaian, dan akhlak), serta mengatur dengan sesamanya (uqubat dan muamalat). Termasuk aturan atau sistem pergaulan, juga hukum terkait larangan poliandri.
Poliandri adalah pernikahan seorang perempuan lebih dari satu suami. Poliandri hukumnya haram berdasarkan Alquran dan Sunah.
Dalil Alquran, sebagaimana firman Allah SWT, “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki.” (QS an-Nisaa’ [4]: 24)
Adapun dalil Sunah, sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “Siapa saja wanita yang dinikahkan oleh dua orang wali, maka (pernikahan yang sah) wanita itu adalah bagi (wali) yang pertama dari keduanya.”
Artinya, bahwa tidaklah sah pernikahan seorang wanita kecuali dengan satu orang suami saja. Jadi jelas Alquran dan Sunah melarang poliandri.
Mengapa Poliandri Dilarang?
Pertama, Rasulullah Saw. menyifati poliandri sebagai perilaku jahiliah.
كل ما نسب إلى الجاهلية فهو مذموم
“Setiap perkara yang dinisbatkan pada Jahiliyyah adalah sesuatu yang tercela.”
Sebab, di masa jahiliah, perempuan dipergilirkan dengan banyak laki-laki merupakan fenomena biasa. Kemudian Islam datang dan mengharamkannya.
Kedua, Lelaki adalah Pemimpin Keluarga
Sebagaimana firman Allah Swt.,
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang salih, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).” (QS An- Nisaa [4]: 34)
Oleh karena itu, seorang istri wajib taat kepada suaminya selama bukan dalam perkara maksiat.
Bagaimana jika wanita punya lebih dari satu suami, suami mana yang harus ditaati? Bagaimana pula jika para suami berselisih dan memberi perintah yang berlainan?
Ketiga, Menjaga Kejelasan Nasab
Dalam Islam, anak dinasabkan kepada ayahnya. Dan masalah nasab ini sangat urgen dalam Islam. Sampai-sampai mencela nasab dan menasabkan diri kepada selain ayah kandung dikategorikan oleh para ulama sebagai perbuatan dosa besar.
Rasulullah Saw. bersabda, “Barang siapa menasabkan diri kepada selain ayah kandungnya, padahal ia tahu ayah kandungnya, maka surga haram baginya.” (HR Bukhari 4326, Muslim 63)
Sebagaimana juga hadits marfu’ dari Ibnu ‘Umar Radhiallahu’anhu, “Di antara perbuatan orang Jahiliyyah adalah mencela nasab.” (HR Bukhari 3850)
Jika satu wanita disetubuhi beberapa suami, maka tidak jelas anak yang lahir dari rahimnya adalah hasil pembuahan dari suami yang mana, sehingga tidak jelas akan dinasabkan kepada siapa.
Di antara sebabnya, nasab menentukan banyak urusan, seperti dalam pernikahan, nafkah, pembagian harta warisan.
Bagaimana Kedudukan Anak di luar Nikah Menurut Hukum Islam?
1. Tidak ada hubungan nasab anak dengan bapak biologisnya, sehingga tidak boleh menggunakan nama bapak biologisnya atau nama keluarga.
2. Tidak ada hak dan kewajiban antara anak dan bapak biologisnya baik dalam bentuk nafkah, waris.
3. Bila anaknya perempuan, maka bapak biologisnya tidak dapat menjadi walinya. Wali anak di luar nikah hanya khadi (wali hakim).
4. Anak di luar nikah, hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya. Adapun bapak biologisnya tidak bisa mewarisinya, sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “Memutuskan bahwa anak dari hasil hubungan dengan budak yang tidak dia miliki, atau hasil zina dengan wanita merdeka tidak dinasabkan ke bapak biologisnya dan tidak mewarisinya.” (HR Ahmad dan Abu Daud)
Jika suaminya mengetahui dan membiarkan istri dan keluarganya bermaksiat tanpa mau mengingatkan serta tidak ada rasa cemburu kepada istrinya dan tidak punya malu maka, laki-laki ini disebut ad dayyuts (dayus).
Perbuatan keji yang diancam Allah dan Rasul-Nya masuk neraka, sebagaimana sabda Rasulullah Saw.:
ثَلاَثَةٌ قَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِمُ الْجَنَّةَ مُدْمِنُ الْخَمْرِ وَالْعَاقُّ وَالْدَّيُّوثُ الَّذِى يُقِرُّ فِى أَهْلِهِ الْخُبْثَ
“Ada tiga orang yang Allah haramkan masuk surga yaitu: pecandu khamr, orang yang durhaka pada orang tua, dan orang yang tidak memiliki sifat cemburu yang menyetujui perkara keji pada keluarganya.” (HR Ahmad 2: 69)
Adapun istri yang punya suami tanpa sepengetahuan suaminya, menikah lagi atau berselingkuh, maka dihukumi zina, dan dalam Islam diberikan sanksi rajam. Dirajam yaitu dilempari batu sampai mati.
Caranya, orangnya ditanam berdiri di dalam tanah sampai dadanya, lalu dilempari batu sampai mati. Jika pelakunya belum menikah, maka dia didera (dicambuk) 100 kali. Kemudian diasingkan selama setahun.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مَائَةَ جَلْدَةٍ وَلاَتَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَآئِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.” (an-Nur [24] : 2)
Jadi, Islam agama yang sempurna, yang mengatur semua sendi kehidupan. Termasuk masalah interaksi (hubungan) antara laki-laki dan perempuan, serta sanksi-sanksi yang diberikan tegas.
Hukum Islam berfungsi sebagai pencegah (zawajir) atas tindak kriminalitas. Sekaligus sebagai jawabir (penebus dosa), besok di akhirat tidak dihisab atau tidak dimintai pertanggungjawaban.
Islam membolehkan poligami dan mengharamkan poliandri. Tidak lain, untuk menjaga nasab dan ketahanan keluarga. Wallahu a’lam bishshawab. []