Suaramubalighah.com, TA’BIR AFKAR – Kasus perceraian di Indonesia semakin hari semakin meningkat, bahkan trennya sudah bergeser, kalau dahulu para suami yang menjatuhkan talak, tapi yang terjadi sekarang justru banyaknya kasus cerai gugat, yaitu seorang istri meminta atau lebih tepatnya menggugat perceraian dari suaminya. Tentu ini merupakan hal yang berbeda yang harus dipahami oleh kaum muslimin, bagaimana rambu-rambunya dalam Islam.
Memang, perceraian bukan merupakan hal yang dilarang dalam Islam, sekalipun ia merupakan aktivitas yang dibenci oleh Allah SWT. Sabda Nabi saw, “Allah tidak menjadi sesuatu yang halal, yang lebih dibenci oleh-Nya dari talak.” Dan lagi: “Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah ialah talak.”(Riwayat Abu Dawud). Pada masa Rasulullah pun ada seorang perempuan yang minta cerai dari suaminya dan diizinkan oleh Rasulullah. “Isteri Tsabit bin Qais bin Syammas mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata ; “WahaiRasulullah, akutidakmembenciTsabitdalam agama danakhlaknya. Aku hanya takut kufur”. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Maukah kamu mengembalikan kepadanya kebunnya?”. Ia menjawab, “Ya”, maka ia mengembalikan kepadanya dan Rasulullah SAW memerintahkannya, danTsabit pun menceraikannya” [HR Al-Bukhari].
Sesungguhnya Islam telah mengatur tentang perceraian ini dengan sangat rinci, hal ini termaktub dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 229-230
طَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلا أَنْ يَخَافَا أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (229) فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (230}
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kalian khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim. (229)Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.”(230)
Dari 2 ayat ini kita mendapatkan penjelasan yang sangat rinci tentang talak, dan pembatalan serta permintaan bercerai dari pihak istri. Lalu, bagaimana pengaturan tersebut ?
Talak Cerai
Syekh Taqiyyuddin An-Nabhani, dalam kitabnya An-Nizhamul Ijtima’iy menegaskan bahwa Islam telah menjadikan cerai di tangan suami. Karena suami adalah qowwam dalam rumah tangga dan juga dijelaskan dalam QSAt Thalaq: 2 yang artinya: “Maka rujukilah mereka dengan cara yang baik atau ceraikanlah mereka dengan cara yang baik juga”. Di dalamnya terkandung perintah yang ditujukan kepada suami. Islampun memerintahkan agar para suami menempuh segala langkah untuk menyelesaikan berbagai problem sehingga terhindar dari perceraian. Bahkan jika keduanya tidak mampu menyelesaikan, maka Islam memerintahkan agar persoalan rumah tangga mereka dibantu diselesaikan oleh keluarga mereka, dengan mengutus masing-masing wakil dari keluarga mereka dengan tujuan untuk perbaikan, sebagaimana firman Allah dalam QS An-Nisaa: 35.
Surat Al-Baqarah ayat 229 menjelaskan tentang tatacara talak,yaitu bahwa talak yang bisa rujuk (kembali) itu 2 kali. Ketika seorang suami menjatuhkan kata talak yang pertama kepada istrinya, apakah dengan lugas ataupun sindiran, maka saat itu jatuh talak yang pertama. Maka jika kemudian keduanya rujuk, maka Allah mengizinkannya … dan jika setelah rujuk, suami menjatuhkan kata talak berikutnya, maka saat itu jatuh talak yang kedua bagi istrinya tersebut. Untuk talak satu dan dua, seorang suami boleh merujuki mantan istrinya, jika masih dalam masa iddah maka tidak perlu dengan akad baru. Akan tetapi jika telah selesai masa iddahnya, maka ia harus menikah dengan akad dan mahar baru. Jika kemudian setelah mereka rujuk kembali, kemudian jatuh kata talak yang ketiga kalinya, maka saat itu jatuh talak tiga. Maka untuk talak tiga, maka suami tidak boleh kembali lagi, kecuali mantan istrinya tersebut telah menikah dengan laki-laki lain dan mengalami kehidupan pernikahan secara normal akan tetapi sang istri kemudian sudah diceraikan oleh suaminya yang kedua dan sudah menyelesaikan masa iddahnya.
Jadi talak satu dan talak dua, bisa dimungkinkan rujuk kembali. Jika rujuk dilakukan sebelum masa iddah berakhir, maka tidak perlu akad baru. Akan tetapi jika rujuk setelah masa iddah berakhir, maka harus dengan akad dan mahar baru.Masa iddahnya 3 quru’ (3 kali haidh). Sedangkan talak tiga, tidak boleh rujuk, kecuali istri sudah menikah dengan suaminya yang baru kemudian menjalani kehidupan perikahan secara normal, tapi kemudian bercerai dari suaminya tadi.
Istri Menceraikan diri dari suaminya
Keberadaan talak di tangan suami, tidak berarti bahwa istri tidak boleh menceraikan dirinya sendiri dari suaminya dalam situasi-situasi tertentu. Dalam kitab an-Nizhamul Ijtima’iy fil Islam, syeikh Taqiyyuddin An-Nabhani menegaskan bahwa Syara’ telah memberikan hak kepada seorang Istri untuk membatalkan (fasakh) pernikahannya dan mengajukannya dalam beberapa kondisi. Syara’ telah memberikan hak kepada perempuan untuk menceraikan dirinya dari suaminya, sesuai kewenangan yang diberikan suaminya. Yaitu jikasuamimenyerahkanmasalah talakdi tanganistrinya. Maka istrinya mengatakan, “Aku telah menceraikan diriku sendiri dari suamiku, si Fulan.” Atau “Aku telah menceraikan diriku darimu”. Tapi istri tidak mengatakan, “Aku telah menceraikan kamu”.
Selanjutnya syekh Taqiyyudin menegaskan lebih jauh, bahwa syara’ memberi hak kepada seorang istri untuk menuntut perceraian antara dirinya dengan suaminya, pada beberapa kondisi ini, yaitu pertama, jika istri mengetahui bahwa suaminya memiliki cacat yang menghalangi terjadinya hubungan suami istri, seperti impoten atau dikebiri. Maka hakim akan menelusurinya selama setahun apakah ada kemungkinan untuk sembuh atau tidak.Kedua, Jika nampak pada suaminya mengidap suatu penyakit yang membahayakan atau berdampak buruk baginya, maka hakim akan menelusurinya selama setahun, apakah ada kemungkinan sembuh atau tidak. Ketiga, Jika suami mengalami gangguan jiwa atau gila setelah menikah. Keempat, Jika seorang suami melakukan perjalanan istri terhalang untuk mendapatkan nafkah. Kelima,Jika suami tidak memberi nafkah istrinya, padahal mampu dan istrinya sulit mendapatkan nafkah darinya. Maka jika istri menuntut cerai, maka hakim wajib menceraikannya tanpa menunda lagi. Keenam, Jika di antara suami-istri terjadi pertentangan dan persengketaan terus menerus, yang mengakibatkan ketidaktenangan dalam kehidupan pernikahannya. Maka hakim akan mendatangkan hakam (juru damai) dari masing-masing pihak. (An nizhamul Ijtimaiy fil Islami, syekh Taqiyyudin AN-Nabhani))
Cerai Gugat
Sebagian besar ulama mengkategorikan cerai gugat ini sebagai ‘khulu. Khulu’ secara harfiah, diambil dari lafadz Khala’a-Yakhla’u-Khal’[a berarti melepaskan. Khala’a (melepas) dalam bahasa Arab biasanya digunakan untuk konotasi melepas pakaian. Lafadz ini digunakan, karena al-Qur’an menyebut isteri adalah pakaian bagi suami, begitu juga sebaliknya, sebagaimana firman Allah SWT:
﴿هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ﴾
“Mereka pakaian bagimu, dan kalian pakaian bagi mereka.” (QS Al-Baqarah: 187)
Disebut khulu’, karena seorang isteri melepaskan statusnya sebagai pakaian bagi suaminya, dengan disertai membayar tebusan, yang digunakan untuk membebaskan dirinya dari ikatan nikah yang ada di tangan suaminya. Firman Allah SWT, “Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.” QS. AL-Baqarah: 229).
Pada masa Rasulullah pun ada seorang perempuan yang minta cerai dari suaminya dan diizinkan oleh Rasulullah. “Isteri Tsabit bin Qais bin Syammas mendatangi Nabi SAW, berkata:“YaRasulullah, aku tidak membenci Tsabit dalam agama dan akhlaknya. Aku hanya takut kufur”. Maka Rasulullah SAW bersabda,“Maukah kamu mengembalikan kepadanya kebunnya?”.Ia menjawab, “Ya”, maka ia mengembalikan nya dan Rasulullah SAW memerintahkannya, danTsabit pun menceraikannya” [HR Al-Bukhari].
Dari nash-nashini, sesungguhnya menjelaskan rambu-rambu tentang khulu’, diantaranya adalah pertama, dalam khulu’, inisiatif berpisah berasal dari istri dan syariah menetapkan si istri harus menebus perpisahannya dengan mengembalikan mahar yang telah diberikan suaminya tanpa ada tambahan. Kedua, kebolehan seorang istri melakukan khulu’ adalah karena adanya sebab pada dirinya yang dikhawatirkan mengakibatkan dia dan suaminya tidak bisa menjalankan hukum-hukum Allah. Artinya, istri haram meminta khulu’ jika tanpa ada sebab tersebut. Hal ini pun dikuatkan dengan hadits Rasul, “Perempuan yang meminta khulu’ adalah perempuan munafik”. (HR Tirmidzi dan Al Baihaqi). “Siapa saja perempuan yang meminta dicerai oleh suaminya, tanpa alasan apapun, maka dia diharamkan untuk mencium aroma surga.” (HR Abu Dawud dari Tsauban). Ketiga, khulu’ harus seizin imam atau yang mewakilinya. Ustadz Abu Fuad dalam buku penjelasan Kitab Sistem Pergaulan Dalam Islam, menjelaskan bahwa ada syarat tambahan selain adanya kekhawatiran berdua (suami istri) tidak bisa melaksanakan hukum-hukum Allah (illa an takhafaa ‘allaa yuqiimaa huduudallaah), yaitu di lanjutan ayat ini … fa in khiftum alla yuqiima hududallaah (jika kalian khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa …). Adanya perubahan dhomir dari mutsanna (yakhafaa) menjadi jamak (khiftum) menunjukkan bahwa khulu’ disandarkan pada pihak lain selain suami istri itu. Pihak lain yang memiliki wewenang untuk itu adalah imam atau yang mewakilinya yaitu qadhi. Hal inipun diperkuat oleh peristiwa khulu’ yang terjadi pada masa Rasulullaah SAW (kasus istri Tsabit bin Qais).
Beberapa perbedaan dalam cerai talak dan cerai gugat
Demikianlah, syariah telah menjelaskan dengan sangat rinci, cerai talak dan cerai gugat. Jika kita mencermati ada beberapa perbedaan di antara keduanya, terkait dengan tatacara, konsekuensinya atau hukum lain yang menyertainya. Dari penjelasan sebelumnya telah jelas bahwa untuk cerai talak ketika jatuh kata talak dari suami kepada istrinya dengan sadar, apakah dhahir atau sindiran, maka telah jatuh talak, sedangkan untuk gugat cerai maka harus diputuskan pihak lain selain suami istri, yaitu imam (QS Al-Baqarah 229).
Khulu’ juga boleh dilakukan kapan saja, baik ketika suci atau sedang haidh. Karena khulu’ ini esensinya menghilangkan mudarat yang menimpa perempuan, karena buruknya pergaulan suami terhadapnya, serta menghilangkan sesuatu yang tidak disukai dan dibencinya. Sementara mudarat akibat semuanya ini lebih panjang ketimbang mudarat karena lamanya masa ‘iddah, sebagaimana yang dilarang saat menjatuhkan talak. Karena itu, menjatuhkan talak saat haidh tidak boleh, karena memperhatikan mudarat lamanya masa ‘iddah yang harus dipikul oleh perempuan. Karenanya, Nabi saw tidak pernah menanyakan kondisi wanita yang mengajukan khulu’, apakah sedang bersih atau haidh. Selain itu, khulu’ ini terjadi atas permintaan perempuan. Jadi, ini berdasarkan kerelaannya. Dengan begitu, khulu’ ini dilakukan demi kemaslahatan pihak perempuan (isteri) (Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz X/268).
Khulu’ berbeda dengan talak, maka suami tidak berhak merujukinya, baik selama masa iddah ataupun setelahnya. Namun suami boleh menikahinya kembali dengan akad baru dan mahar baru dan tentu saja dengan kerelaan mantan istrinya tersebut. (penjelasan Kitab Sistem Pergaulan dalam Islam, Abu Fuad).
Khatimah
Demikianlah, Islam telah dengan sangat jelas dan detil mengatur tentang masalah perceraian yang tidak terpisahkan dengan aturan-aturan yang lainnya. Sesungguhnya, jika semua aturan ini diterapkan secara kaaffah, maka aturan Islam akan menjadi penjaga bagi ketahanan keluarga, siapapun pasangan suami istri akan berusaha menjaga biduk rumah tangganya sesuai dengan koridor Islam. Ketika saat ini aturan Islam belum tegak, maka inilah saatnya bagi kita untuk berjuang menegakkannya. Semoga Allah senantiasa memberikan keistiqamahan kepada kita sehingga tegaknya khilafah sebagai pelindung dan penjaga keluarga muslim akan segera terwujud. Aamiin. Wallahu a’lam bishshawwab.