Kasih Sayang Rasulullah Saw. kepada Anak-Anak

Oleh : Nabila Asy Syafi’i

Suaramubalighah.com, Muslimah Inspiratif- Bicara soal anak-anak, mungkin yang tebayang adalah ulah lucu dan menggemaskan. Meski tak jarang anak-anak juga membuat jengkel dan marah, karena ulahnya yang bandel atau renggekan yang tidak ditahu apa maksudnya.

Oleh karena itu, mendidik anak menjadi baik , taat syariat adalah perkara yang tidak mudah, membutuhkan kesabaran, ketelatenan, dan tak kalah penting membutuh ilmu dan pemahaman. Sungguh Allah menjanjikan pahala yang besar bagi orang tua yang berhasil mendidik anaknya menjadi anak yang sholih atau sholihah, yaitu pahalanya tidak terputus bagi orang tuanya meski mereka berdua meninggal dunia.

Islam sebagai agama yang sempurna, memberikan bimbingan kepada umatnya, bagaimana seharusnya memperlakukan anak-anak. Melalui Rasulullah SAW kita bisa mengetahui dan belajar untuk memperlakukan anak-anak dengam baik dan tepat. Sehingga nantinya anak-anak bisa tumbuh menjadi anak-anak yang sholih dan sholihah.

Kasih Sayang Rasulullah SAW Kepada Anak-Anak 

Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa ia berkata, Nabi mencium Hasan Bin Ali radhiyallahu ‘anhuma dan di sisinya ada Al Aqra’ Bin Harits, maka ia berkata: “Sesungguhnya aku memiliki 10 orang anak dan aku tidak pernah mencium mereka. Maka Rasulullah SAW bersabda

(مَنْلاَيَرْحَمْوَلاَيُرْحَم

“Siapa yang tidak menyayangi tidak akan disayang”

Sungguh Nabi mengasihi dan menunjukkan rasa cintanya pada anak-anak, bahkan memperingatkan orang yang tidak mau menunjukkan cintanya pada mereka

Rasulullah SAW juga mendoakan anak-anak, dalam kebaikan, meski bukan anak beliau sendiri. Tak pernah Rasulullah memgucakkan kata-kata kasar kepada siapapun, Sebagaimana dalam riwayat Imam Ahmad, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam meletakkan tangannya di atas dada atau di antara kedua bahu Ibnu Abbas sembari berdoa: “Ya Allah, berilah ia pemahaman ilmu agama dan ajarilah ia tafsir”.

Rasulullah SAW juga berbincang-bincang dengan anak-anak dan menghiburnya disaat sedih, sehingga kembali tersenyum dan senang hatinya.
Dalam riwayat Imam Ahmad yang juga dari shahabat Anas radhiyallahu ‘anhu disebutkan,

كَانَلِأَبِيطَلْحَةَابْنٌيُقَالُلَهُأَبُوعُمَيْرٍوَكَانَالنَّبِيُّصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَيُضَاحِكُهُقَالَفَرَآهُحَزِينًافَقَالَيَاأَبَاعُمَيْرٍمَافَعَلَالنُّغَيْرُ

“Abu Thalhah dahulu memiliki seorang anak laki-laki yang dikenal dengan kunyah Abu ‘Umair. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam biasanya suka mengajaknya tertawa (bercanda). Suatu ketika, beliau melihatnya sedih. Beliau pun bertanya,” Wahai Abu Umair ada apa dengan Nughair ? ” ( HR Ahmad)

Dengan sabar Rasulullah SAW menasehati dan membimbing anak-anak agar mereka memiliki akhlak yang baik. Rasulullah SAW pun memilih kata-kata yang mudah dimengerti, sehingga nasehat tersebut merasuk dalam jiwa anak. Tidak dengan mencela atau merendahkannya.

Berkata Umar bin Abi Salamah radhiyallahu ‘anhu: “Aku adalah anak kecil di rumah Nabi, maka ketika makan, tanganku menjelajah di atas nampan. Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadaku dengan lembut: “Wahai anak kecil, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang dekat denganmu”.

Rasulullah tidak memarahi anak-anak ketika terjadi kesalahan atau kelalaian padanya. Namun Rasulullah SAW menasehati dan menegur dengan cara yang baik, agar perbuatan tersebut tidak diulang lagi.
Sebagaimana peristiwa yang dialami oleh Annas bin Malik berikut. Berkata Anas Bin Malik radhiyallahu ‘anhu: “Pernah suatu hari Rasulullah menyuruhku keluar untuk suatu kebutuhan. Maka aku berkata: “Demi Allah saya tidak mau pergi”, padahal sebenarnya aku mau melakukan apa yang disuruh oleh Nabi. Maka aku pun keluar, sampai aku melewati anak-anak yang sedang bermain di pasar, maka Rasulullah (mencariku dan) memegang bajuku dari belakang. Maka ketika aku menoleh, kulihat beliau tertawa sambil berkata: “Ya Unais, apa kamu pergi seperti yang aku suruh?” Aku menjawab: “Iya wahai Rasulullah.” Sungguh demi Allah, aku telah melayani beliau selama 9 tahun, dan aku tidak pernah melihat beliau berkata terhadap apa-apa yang aku kerjakan: “Kenapa kamu melakukan itu?” atau terhadap sesuatu yang tidak aku kerjakan “Mengapa kamu tidak melakukan itu ?” (tidak memarahi).

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memberi kesempatan bermain pada anak-anak. Seorang shahabiyah, Ummu Kholid radhiyallahu ‘anha juga menceritakan masa kecilnya: Aku mendatangi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersama ayahku dan aku memakai baju berwarna kuning. Kemudian aku bermain-main cincin kenabian di punggung beliau, maka ayahku melarangku, tetapi Rasulullah berkata: “biarkan saja”, kemudian berdoa: “Semoga engkau panjang umur”, sampai tiga kali.

Demikian diantara sikap dan perlakuan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam terhadap anak -anak yang penuh kasih sayang dan perhatian. Karena anak-anaklah kelak yang menjadi generasi penerus, baik keluarga maupun bangsa dan agamanya.

Khatimah

Inilah sekilas tauladan yang diberikan oeh Rasulullah dalam bersikap kepada anak-anak. Yang sudah seharusnya kita mengambilnya. Karena jika kaum muslimin menerapkan apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW secara kaffah, pastlah rahmat yang akan dirasakannya. Keluarga yang baik tempat bersemainya anak-anak sholih dan sholihah, lingkungan yang mendukung tempat anak-anak belajar bersosialisasi dan bermasyarakat, serta negara yg berjalan sesuai rel sayariat. Maka keberkahan tentu akan dirasakannya oleh semua makhluk, tak terkecuali manusia.

Namun dallam sistem kapitalisme saat ini, dimana tatanan kehidupan disandarkan pada materi, kebahagiaan diukur dengan banyaknya harta yang dimiliki. Maka banyak kita jumpai perilaku orang tua mengabaikan hak anak-anaknya. Ayah ibu sibuk bekerja sepanjang hari, sehingga menyerahkan anak pada pengasuh. Anak hanya dicukupi dari sisi materi saja.

Sebalik, karena sistem kapitalisme yang telah menciptakan kesenjangan yang lebar antara si kaya dan si miskin. Tak jarang pula anak-anak yang dipekerjakan oleh orangtuanya karena alasan ekonomi untuk mengemis atau jualan di perempatan jalan-jalan besar yang rawan bagi kehidupannya.

Sungguh sistem ini telah menyeret anak-anak seolah -oleh mereka menjadi yatim piatu. Oleh karenanya harus ada upaya untuk merubahkearah sistem yang baik. Sistem yang menjamin terpenuhi hak-hak anak baik didalam keluarga maupun dalam lingkungan masyarakat. Sistem yang bisa membawa pada kebahagiaan hakiki. Tiada lain sistem tersebut adalah diterapkannya Islam kaffah dalam naungan khilafah.