Hukum Melecehkan Kewajiban Khilafah

Oleh: Ustaz. M. Shiddiq Al Jawi

Suaramubalighah.com, Ta’bir Afkar – Melecehkan wajibnya khilafah termasuk perbuatan yang disebut istikhfaaf bi al ahkam al syar’iyyah (penghinaan terhadap hukum-hukum syariat Islam).

Para fukaha telah sepakat barang siapa menghina hukum-hukum syariat Islam, dalam kedudukannya sebagai hukum syariat, seperti melecehkan wajibnya shalat, zakat, haji, puasa Ramadan; atau melecehkan sanksi-sanksi pidana Islam, misalnya wajibnya hukum potong tangan bagi pencuri, wajibnya hukum dera (cambuk) bagi pezina, dan sebagainya, maka orang itu dihukumi telah kafir (murtad). Yaitu sudah keluar dari agama Islam dan wajib dihukum mati jika tak bertobat kepada Allah SWT. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 3/251)

Dalilnya antara lain firman Allah SWT,

Katakanlah, ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’ Tak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (QS At Taubah [9] : 65-66)

Namun para fukaha memberi catatan, perkataan yang dapat memurtadkan pengucapnya ada 2 (dua) macam, yaitu:

Pertama, perkataan yang maknanya pasti/tegas (jaazim) atau sharih (terang-terangan). Yaitu perkataan yang hanya mempunyai satu pengertian dan tak dapat ditakwilkan/diartikan dengan maksud lain (maa laa yahtamilu al ta`wiil).

Siapa saja yang mengeluarkan perkataan jenis pertama ini, misalnya mengatakan Nabi Isa as. adalah anak Allah, atau agama Islam adalah karangan Nabi Muhammad Saw. sendiri, dan yang semisalnya, dia dihukumi telah kafir.

Kedua, perkataan yang maknanya tak pasti atau ucapan kinayah (sindiran). Yakni perkataan yang memungkinkan lebih dari satu maksud, atau perkataan yang dapat ditakwilkan/diartikan dengan maksud lain (maa yahtamilu al ta`wiil). Siapa saja yang mengucapkan perkataan jenis kedua ini, tak dapat dikafirkan.

Syaikh Abdurrahman Al Maliki berkata, “Meskipun suatu ucapan mengandung peluang kekufuran 99% dan peluang  keimanan hanya 1%, namun dikuatkan yang 1% daripada yang 99%. Karena yang 1% itu adalah peluang keimanan. Sebab dengan adanya 1% peluang keimanan, perkataan kufur dapat ditakwilkan. Karena seseorang tak dapat dikafirkan dengan perkataannya, kecuali dengan perkataan kufur yang pasti.” (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 85).

Perlu kami tambahkan, bahwa ketidaktahuan terhadap hukum syariat Islam (al jahlu bi al ahkam al syar’iyyah) dapat menjadi unsur pemaaf (‘udzur syar’i) jika seorang muslim dan orang-orang yang semisal orang itu (keluarga, teman, kolega, dan sebagainya), memang tak mengetahui suatu hukum syariat Islam dikarenakan satu dan lain hal.

Kategori Orang yang Melecehkan Kewajiban Khilafah

Berdasarkan penjelasan di atas, muslim yang melecehkan kewajiban Khilafah dihukumi sesuai dengan fakta pengucapnya dan maksud perkataannya sebagai berikut:

Pertama, muslim yang melecehkan wajibnya Khilafah, sedang dia tahu Khilafah hukumnya wajib menurut syariat Islam, dan perkataannya pasti/tegas dan tak dapat diartikan kepada maksud lain, maka tak diragukan lagi orang itu dihukumi kafir.

Kedua, muslim yang melecehkan wajibnya Khilafah, sedang dia tahu Khilafah hukumnya wajib menurut syariat Islam, namun perkataannya dapat diartikan kepada maksud lain, maka orang itu tak dihukumi kafir.

Ketiga, muslim yang melecehkan wajibnya Khilafah, sedang dia tak tahu bahwa Khilafah hukumnya wajib menurut syariat Islam, maka orang itu tak dihukumi telah kafir, baik perkataannya pasti maupun dapat ditakwilkan.

Tapi meski muslim yang melecehkan kewajiban Khilafah tak dikafirkan (jika masuk kategori kedua dan ketiga di atas), dia tetap berdosa besar. Karena paling tidak dia telah menghina sesama muslim yang memperjuangkan khilafah. Padahal menghina sesama muslim telah diharamkan Islam (QS Al Hujuraat [49] : 11). Wallahu a’lam.

 Sumber: https://tsaqofah.id/hukum-melecehkan-kewajiban-khilafah/