Tarikh dan Sirah, Bagaimana Posisinya dalam Islam ?

Oleh : Najmah Saiidah

Suaramubalighah.com, Ta’bir Afkar- Beberapa waktu belakangan ini, banyak diperdebatkan tentang posisi  sejarah, di satu sisi sejarah dinilai sangat urgen bahkan dijadikan patokan, tapi di sisi lain kadang diabaikan.  Masih segar dalam ingatan kita, ketika ada beberapa pihak yang menilai bahwa khilafah ahistoris atau bahasa gampangnya tidak ada sejarahnya, padahal telah sangat jelas adanya bukti-bukti yang bisa dipertanggungjawabkan, semisal makam-makam para sultan, koin-koin mata uang di masa kekhilafahan,  dokumen-dokumen bahkan semacam prasasti tertulis yang tegas-tegas menjelaskan ada hubungan dengan kekhilafahan Abbasiyah atau Utsmani.  Tapi di sisi yang lain mereka mengelu-elukan sejarah, dengan mengatakan bahwa NKRI harga mati karena diperoleh berdasarkan kesepakatan, sebaliknya menilai khilafah melanggar kesepakatan.  Padahal kesepakatan bukan dalil.  Nampak jelas bahwa mereka menjadikan sejarah itu memiliki nilai ketika sesuai dengan apa yang mereka inginkan, sebaliknya mereka akan menafikan sejarah ketika tidak sesuai.

Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini sejarah  tidak menjadi hal menarik bagi sebagian besar umat Islam saat ini untuk dipelajari, demikian halnya sirah Rasulullaah SAW. Bahkan sirah bisa jadi baru didengar, karena memang jarang dibahas.  Bahkan tidak sedikit  yang menyamakan sirah dengan sejarah.  Padahal sirah Rasulullah dan sejarah atau tarikh memiliki perbedaan yang seharusnya dipahami oleh kaum muslimin.

Tarikh dan posisinya dalam Islam

Istilah tarikh digunakan untuk membatasi peristiwa-peristiwa pada suatu masa dari aspek penentuan dan waktu terjadinya. Kata tarikh lebih umum penggunaannya dibandingkan dengan kata sirah; kata sirah lebih sering digunakan untuk menjelaskan kehidupan Rasul SAW. mulai dari kelahirannya sampai beliau wafat.Adapun kata tarikh, cakupan kajiannya lebih luas; adakalanya ia digunakan untuk membahas Tarikh Tasyri’ Islam (sejarah kodifikasi hukum Islam), Tarikh Fikih Islam (sejarah fikih Islam), atau Tarikh Madzahib Islamiyyah (Sejarah Mazhab-mazhab dalam Islam), Tarikh Khulafa’ (Sejarah Para Khalifah) dan lain-lain (Syekh Taqiyyudin an-Nabhani  Asy-Syakhsiyyah al-Islamiyyah)

Tarikh, sebagian ada yang ditulis dengan mencantumkan sanadnya seperti Tarikh al-Khulafa’ yang dikarang oleh Imam as-Suyuti atau Tarikh Tasyri’ Islam (sejarah kodifikasi hukum dalam Islam). Pengarang kitab-kitab ini menyebutkan nama perawinya sehingga dimungkinkan diteliti otentitas berita yang diriwayatkannya, sebagaimana dilakukan dalam kitab hadis dan kitab sirah. Ada pula kitab tarikh yang tidak mencantumkan sanadnya seperti Tarikh Umam wa al-Mulk (Sejarah Bangsa-bangsa dan Para Raja), Tarikh Fiqh al-Islam (Sejarah Fikh Islam), atau Tarikh Falsafi Islam (Sejarah Filsafat Islam), dan lain-lain.Pada umumnya, mereka hanya menyebut peristiwa dan kejadian tanpa menyebut sanad dan perawinya sehingga kitab-kitab mereka tidak dapat dijadikan sebagai sandaran sirah, kecuali jika seorang pengarang melakukan tahqiq (penelitian) ketika menulis berita sirah dan ia termasuk perawi yang terpercaya. Jika tidak demikian, perkataannya atau apa yang ia informasikan tidak dapat dijadikan sebagai bukti (An-Nabhani, Asy-Syakhsiyyah al-Islamiyyah, Juz. 1).

Jadi, tarikh atau sejarah adalah kisah-kisah atau kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu yang berhubungan dengan manusia.  Syekh Taqiyyuddin An-Nabhani  menjelaskan bahwa kisah-kisah  yang terdapat dalam Al-Qur’an tentu saja terpercaya, demikian pula  hadits Rasul selama periwayatannya diterima maka termasuk sumber tasyri’, sedangkan  tarikh  shahabat maka ia termasuk salah satu materi tasyri’.  Jika merupakan ijma’, maka ia merupakan dalil. “Sesuatu yang terjadi di kalangan shahabat merupakan obyek pembahasan, karena ijma’ shahabat merupakan dalil syara’, disamping dijumpainya banyak hukum baru yang muncul karena adanya perkembangan kehidupan, kemudian problem-problem yang ada diselesaikan oleh shahabat, sehingga harus diketahui dari sisi tasyri’. Jadi, tarikh shahabat merupakan salah satu materi tasyri’. Adapun jika merupakan pendapat individu shahabat, maka ini merupakan ijtihad shahabat, dan hasil ijtihad adalah hukum syara’.“Selain itu apa yang dilakukan oleh seorang shahabat secara pribadi dianggap sebagai hukum syara’ bagi seorang mujtahid, karena menerima apa yang diambil oleh para shahabat, (AlSyakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 355)

Adapun selain para sahabat, maka tidak mengapa untuk diketahui sebagai berita dan informasi, tapi bukan untuk diikuti dan bukan dijadikan sebagai rujukan.  Memang benar bahwa Al-Qur’an telah mengisahkan kepada kita tarikh sebagian para Nabi dan umat-umat lain untuk dijadikan pelajaran yang berkaitan dengan keimanan dan ketaatan kepada Allah serta penjelasan akibat orang-orang maksiat kepadaNya.  Tapi tidak boleh dijadikan landasan,  apalagi menilai jika tarikh memiliki  peran dalam kebangkitan umat.

Dari penjelasan ini, bisa kita pahami bahwa tarikh tidak boleh kita jadikan sebagai pijakan atau landasan.  Dengan kata lain, sejarah tidak boleh dijadikan sebagai mashdarul hukmi wa mashdarul fikri (sumber hukum dan sumber berfikir), tapi hanya sebagai obyek berfikir dan obyek hukum.  Artinya, sejarah hanya sebagai pelengkap yang memperkuat pemahaman yang sudah kita miliki, misalnya khilafah adalah ajaran Islam dan karenanya wajib bagi umat Islam untuk mewujudkannya.

Sirah dan Posisinya Dalam Islam

Sirah secara bahasa berarti jalan (ath-tharîq). Sirah berasal dari kata saraya (kata kerja) yang berarti melakukan perjalanan atau yang dimaksud dalam hal ini adalah perjalanan hidup. Ibnu Mandzur dalam kitab Lisanul Arab menyatakan arti al-sirah (kata benda) menurut bahasa adalah kebiasaan, jalan, cara, dan tingkah laku. Menurut istilah umum, artinya adalah perincian hidup seseorang atau sejarah hidup seseorang.Menurut Sa’d al-Murshifi, sirah adalah “perjalanan hidup Nabi Saw. sejak munculnya berbagai irhas (kejadian luar biasa sebelum kenabian) yang melapangkan jalan bagi kenabiannya, sesuatu yang terjadi sebelum kelahiran, saat kelahiran, pertumbuhan, sampai diangkat menjadi Nabi, lalu menjalankan dakwahnya, hingga akhirnya meninggal dunia.” (Sa’d al-Murshifi, al-Jami’ al-Shahih Li al-Sirah al-Nabawiyah).

Hampir seluruh sirah ditulis dengan mencantumkan sanad-nya (yaitu matarantai perawi hingga ke matan-nya). Hal ini bermula ketika pada Abad 2 Hijriyah sejumlah ulama mengumpulkan khabar tentang sirah Rasul SAW, sebagian digabungkan dengan sebagian yang lain.Pembukuan dilakukan dengan metode periwayatan, dengan menyebut nama perawi dan orang yang meriwayatkan, persis sebagaimana periwayatan  dalam hadits. Oleh karena itu, ulama hadits dan para penelitinya dapat mengetahui berita sirah yang sahih, yang dhaif atau  mardud (tertolak), melalui penelitian mereka atas para perawi dan sanadnya.Walhasil, riwayat tentang kehidupan dan diri Nabi SAW yang terbukti sahih-lah yang dapat dijadikan sebagai rujukan. Sebab, sirah adalah bagian dari as-Sunnah, yang tidak boleh diambil kecuali jika ia terbukti merupakan riwayat yang sahih.

Syekh Taqiyyuddin al-Nabhani dalam  al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz I menyatakan bahwa “Sirah dianggap sebagai perkara terpenting yang harus diperhatikan oleh kaum Muslim, karena mencakup pemberitaan tentang perbuatan, perkataan, diam, serta sifat-sifat Rasul. Semuanya merupakan tasyri’ sebagaimana Alquran. Sirah merupakan salah satu materi tasyri’. Sirah merupakan bagian dari hadits, dan apa saja yang shahih dalam sirah Nabi, baik secara riwayah ataupun dirayah dianggap sebagai dalil syara’, karena termasuk bagian dari Sunnah/hadits.  Jadi, sirah adalah sumber hukum syariah sebagaimana Alquran. Karena faktanya objek yang dikabarkan dalam sirah adalah objek tasyri’. Pada konteks inilah Sirah Nabawiyyah adalah dalil syariah. Selain itu, merujuk kepada sirah juga sebagai bentuk implementasi dan ketundukan pada perintah Allah SWT untuk menjadikan Rasulullah sebagai teladan.  Allah berfirman: ‘Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.’ (TQS. al-Ahzab [33]: 21). Dengan demikian memperhatikan sirah dan mengikutinya adalah perkara yang syar’i.

Oleh karena itu, sirah lebih otentik dari pada tarikh, karena adanya sanad. Dengan dicantumkannya sanad, maka dapat diteliti sejauh mana kebenaran informasi yang terkandung dalam kabar atau riwayat tersebut; yakni dengan cara meneliti ketersambungan sanad, keadilan para perawi, serta ada-tidaknya syadz dan ‘illat.

Khatimah

Demikianlah, Sirah dan tarikh, secara bahasa memiliki arti yang hampir serupa, namun tarikh bersifat lebih umum dan sirah lebih khusus. Akan tetapi sesungguhnya sirah dan tarikhmemiliki posisi yang berbeda secara signifikan.    Berbeda dengan  tarikh, sirah merupakan salah satu materi tasyrî‘ (rujukan pengambilan hukum dalam Islam), karena ia merupakan bagian dari as-Sunnah. As-Sunnah sendiri menurut para ulama ushul adalah semua ucapan, perbuatan, dan ketetapan yang berasal dari Nabi SAW (selain al-Quran), yang layak dijadikan dalil bagi hukum syariat. Dengan demikian, memperhatikan sirah dan mengikutinya, terutama yang terkait dengan metode dakwah yang beliau lakukan, adalah perkara yang sifatnya wajib.

Dengan demikian, Sirah Nabawiyyah adalah dalil syariah yang layak dijadikan sebagai hujjah, karena sirah bagian dari hadits yang pengujiannya sama dengan menguji riwayat hadits. Sehingga merujuk metode dakwah kepada Sirah Nabawiyyah adalah sah. Terlebih lagi fragmen-fragmen perjalanan dakwah Nabi juga termaktub pada kitab-kitab hadits yang maqbul. Sirah Ibnu Hisyam yang banyak mengambil dari Ibnu Ishaq merupakan kitab Sirah Nabawiyyah paling terpercaya hingga saat ini. Kitab ini yang paling banyak dirujuk.

Adapun tarikh, kita hanya merujuk pada tarikh yang memiliki sumber periwayatan. Tarikh yang mengabarkan peristiwa pada masa shahabat sesungguhnya mengabarkan materi tasyri’ dan realitas tasyri’, baik berkaitan dengan ijma’ shahabat maupun ijtihad shahabat  merupakan hukum syara’.Wallahu a’lam bishshawwab