Cinta Hakiki Kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

  • Hadis

Oleh : Kholishoh Dzikri.

Pada suatu hari Umar bin Khattab berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam“Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali dari diriku sendiri.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, “Tidak, demi Allah, hingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Maka berkatalah Umar, “Demi Allah, sekarang engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri!” (HR. Al-Bukhari)

Di lain kesempatan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Demi Allah, salah seorang dari kalian tidak akan dianggap beriman hingga diriku lebih dia cintai dari pada orang tua, anaknya dan seluruh manusia.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [I/58] no: 15, dan Muslim dalam Shahih-nya [I/67 no: 69])

Banyak sekali hadits-hadits yang senada dengan dua hadits di atas, yang menekankan wajibnya mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena hal itu merupakan salah satu inti agama, hingga keimanan seseorang tidak dianggap sempurna hingga dia merealisasikan cinta tersebut. Bahkan seorang muslim tidak mencukupkan diri dengan hanya memiliki rasa cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, akan tetapi dia dituntut untuk mengedepankan kecintaannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -tentunya setelah kecintaan kepada Allah Subhanaallahu wa ta’ala – atas kecintaan dia kepada dirinya sendiri, orang tua, anak dan seluruh manusia.

Bicara masalah cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa diragukan lagi menjadi yang terdepan dalam perealisasian kecintaan mereka kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengapa? Sebab cinta dan kasih sayang merupakan buah dari perkenalan, dan para sahabat merupakan orang yang paling mengenal dan paling mengetahui kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak mengherankan jika cinta mereka kepada Beliau jauh lebih besar dan lebih mendalam dibandingkan kecintaan orang-orang yang datang sesudah mereka.

Di antara bukti pernyataan tersebut adalah suatu kejadian yang terekam dalam sejarah yaitu perbincangan yang terjadi antara Abu Sufyan bin Harb -sebelum ia masuk Islam- dengan sahabat Zaid bin ad-Datsinah rodhiallahu ‘anhu ketika beliau tertawan oleh kaum musyrikin lantas dikeluarkan oleh penduduk Mekkah dari tanah haram untuk dibunuh. Abu Sufyan berkata, “Ya Zaid, maukah posisi kamu sekarang digantikan oleh Muhammad dan kami penggal lehernya, kemudian engkau kami bebaskan kembali ke keluargamu?” Serta merta Zaid menimpali, “Demi Allah, aku sama sekali tidak rela jika Muhammad sekarang berada di rumahnya tertusuk sebuah duri, dalam keadaan aku berada di rumahku bersama keluargaku!!!” Maka Abu Sufyan pun berkata, “Tidak pernah aku mendapatkan seseorang mencintai orang lain seperti cintanya para sahabat Muhammad kepada Muhammad!” (Al-Bidayah wa an-Nihayah, karya Ibnu Katsir [V/505], dan kisah ini diriwayatkan pula oleh al-Baihaqy dalam Dalail an-Nubuwwah [III/326]).

Demikian sebagian kecil kisah bukti kecintaan sahabat kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Cinta Hakiki kepada Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallam.

Cinta hakiki kepada Rasulullah saw. tentu tidak sekadar ucapan di lisan dengan membaca shalawat kepada Baginda Nabi. Cinta kepada beliau harus dibuktikan dengan ketaatan pada risalah yang beliau bawa, yakni syariah Islam. Allah SWT berfirman:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Katakanlah, “Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (TQS Ali Imran [3]: 31).

Imam Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini dengan menyatakan, “Ayat yang mulia ini menetapkan bahwa siapa saja yang mengakui cinta kepada Allah, sedangkan ia tidak berada di jalan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. (tharîqah al-Muhammadiyyah), maka ia berdusta sampai ia mengikuti syariah Muhammad secara keseluruhan”.

Uraian Ibnu Katsir semestinya menyadarkan kita bahwa pernyataan cinta kepada Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. akan bertolak belakang jika kita mengambil jalan hidup selain Islam. Sungguh tidak patut seorang Muslim yang mengaku mahabbah (cinta) kepada Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menentang dan bahkan mencampakkan syariah Islam yang Beliau bawa. Padahal ketaatan pada syariah Islam adalah bukti hakiki cinta kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hasan al-Waraq berkata, “Engkau bermaksiat kepada Allah, sementara engkau mengklaim cinta kepada-Nya. Sungguh orang yang mencinta itu sangat taat kepada yang dicinta”.

Cinta kepada Allah Subhanaallahu Wa Ta’ala harus dibuktikan secara nyata dengan mengikuti dan meneladani Rasulullah Saw., yakni dengan menjalankan risalah yang beliau bawa. Allah Subhanallahu wa ta’ala telah berfirman,

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Katakanlah, “Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (TQS Ali Imran [3]: 31)

Imam Ibnu Katsir (w. 774 H) di dalam Tafsîr al-Qurân al-Azhîm menjelaskan ayat ini dengan menyatakan, “Ayat yang mulia ini menetapkan bahwa siapa saja yang mengklaim cinta kepada Allah, sedangkan ia tidak berada di jalan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia berdusta sampai ia mengikuti syariat Islam yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam secara keseluruhan.”.

Mencintai Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti menerapkan Syariat Islam Kaffah tanpa pilih dan pilah sesuai hawa nafsunya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerapkan seluruh Syariat Islam dalam segala bidang kehidupan baik dalam kehidupan pribadi bersama keluarga, kehidupan bermuamalah bersama masyarakatnya, beliau juga menerapkan Syariat Islam dalam bernegara. Bahkan Beliau mendirikan negara Islam Madinah sebagai institusi pemerintahan yang secara formal menerapkan seluruh Syariat Islam. Negara Islam Madinah ini telah menjadi cikal bakal lahirnya Khilafah Islamiyah yang kekuasaannya meluas hingga meliputi 2/3 belahan dunia bahkan hingga ke nusantara. Khilafah Islamiyah mampu melahirkan peradaban agung yang menebarkan kesejahteraan dan rahmat ke seluruh penjuru alam.

Namun sayang Khilafah Islamiyah warisan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dibubarkan oleh Mustafa Kemal Attaturk laknatullah ‘alaih dan kini musuh-musuh Islam dari kalangan kafir Barat, AS dan sekutunya dengan leluasa menghina Baginda Nabi, mereka melecehkan syariat Islam, mereka menghinakan kaum muslimin dan merampok kekayaan alamnya. Bahkan melalui antek-anteknya dari kalangan orang-orang fasik mereka menghadang tegaknya Islam kaffah dan terus berupaya dengan berbagai cara untuk menghalangi tegaknya kembali khilafah Islamiyah. Oleh karena itu bagi siapa saja yang mengaku mencintai Nabi Muhammad tentu tidak akan berdiam diri dengan kezholiman ini. Umat Islam harus bergerak dan berjuang melawan kezholiman, berjuang menegakkan kembali Khilafah Islamiyah, sistem pemerintahan warisan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan tegaknya khilafah Islamiyah, Syariat Islam akan diterapkan secara keseluruhan, umat Islam akan sejahtera dan mulia, peradaban Islam akan kembali memimpin dunia. Insyaallah.