Nashbul Imamah Hanya Ada dalam Sistem Khilafah

Oleh : Kholishoh Dzikri

Suaramubalighah.com, Ta’bir Afkar-“Khilafah tidak wajib dan yang wajib adalah nashbul imamah yaitu menegakkan kepemimpinan nasional bisa dalam bentuk kerajaan, demokrasi liberal, demokrasi pancasila, sosialis-komunis, dll jika sejalan dengan nilai-nilai agama Islam.” Pernyataan ini disampaikan dalam Bimtek Supervisi Pembelajaran berdasarkan Kurikulum KMA dan pembelajaran SKI jenjang MTs  yang diselenggarakan oleh Kemenag pada awal November 2020.

Ini adalah pernyataan yang sesat dan menyesatkan. Sungguh pernyataan  ini telah menyelisihi Syariat Islam dan pendapat ulama dalam berbagai kitab mu’tabar.

Benar bahwa kaum muslimin harus mengangkat pemimpin sebagaimana hadis Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam berikut,

إِذَا كَانَ ثَلاَثَةٌ فِيْ سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَهُمْ

“Jika tiga orang berada dalam suatu perjalanan maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin”.  (HR Abu Dawud).

Adapun Imam Ahmad meriwayatkan hadis senada berturut-turut dari penuturan Hasan, dari Ibn Luhai’ah, dari Abdullah ibn Hubairah, dari Salim al-Jaysyani, dari Abdullah ibn Amru yang bersumber dari Rasulullah saw. yang bersabda:

…وَلاَ يَحِلُّ لِثَلاَثَةِ نَفَرٍ يَكُوْنُوْنَ بِأَرْضِ فَلاَةٍ إِلاَّ أَمَّرُوْا عَلَيْهِمْ أَحَدَهُمْ…

….Tidak halal bagi tiga orang yang berada di padang sahara kecuali mereka mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin atas mereka. (HR Ahmad).

Hadis-hadis tersebut menunjukkan bahwa disyariatkan bagi setiap kelompok yang mencapai tiga orang atau lebih agar mengangkat salah seorang diantara mereka untuk menjadi amir (pemimpin) mereka. Sabda Nabi saw dalam hadis tersebut “di padang sahara” dan “dalam perjalanan”, menunjukkan bahwa mereka berkelompok untuk melakukan urusan bersama. Jika untuk tiga orang yang sedang dalam perjalanan atau berada di padang sahara saja diperintahkan untuk mengangkat amir apalagi bagi kumpulan orang dengan jumlah yang lebih besar atau urusan yang lebih agung maka lebih utama untuk mengangkat amir (pemimpin). Ini merupakan dalil bahwa, “Wajib atas kaum muslim mengangkat seorang imam, nashbul imamah”.

Imamah secara bahasa merupakan bentuk mashdar dari kata kerja”  أمَّ/ amma”, Sedangkan الإمام (al-imam) adalah setiap orang yang diikuti seperti atau lainnya. Ibnu Manzhur menjelaskan, “Al-Imam ialah setiap orang yang diikuti oleh suatu kaum. Jamaknya adalah al-a’imah.

Secara terminologi (istilah), ulama mendefinisikan الإمامة (al-imamah) dengan sejumlah definisi. Al-Mawardi mendefinisikan,”Imamah itu ditetapkan untuk menggantikan tugas kenabian dalam menjaga agama dan menata dunia dengan agama”.  Ibnu Khaldun mendefinisikan, “Imamah adalah membawa (mengatur) seluruh umat berdasarkan pandangan syariat Islam dalam mewujudkan maslahat-maslahat mereka, yang bersifat ukhrawi dan duniawi. Pada hakekatnya, imamah adalah pengganti dari pemilik Syariat dalam menjaga agama dan menata dunia dengan agama”.

Kata al-Imam atau al-Imamah disebutkan beberapa kali dalam Al-Qur’an, diantaranya,

‌ؕ قَالَ لَا يَنَالُ عَهۡدِى الظّٰلِمِيۡنَ ‌ؕ قَالَ وَمِنۡ ذُرِّيَّتِىۡ قَالَ اِنِّىۡ جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ اِمَامًا

“Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, “Dan (juga) dari anak cucuku?” Allah berfirman, “(Benar, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zhalim.” (QS.al-Baqarah ; 124).

Kata al-Imam juga banyak disebutkan dalam hadis, diantaranya sabda Nabi saw berikut,

“Imam terbesar (al-Imam al-A’dham) yang memimpin rakyat, dan Ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang rakyatnya”.( HR.Al-Bukhari)

Imamah dalam pembicaraan ulama muktabar bukan sembarang kepemimpinan namun yang mereka maksudkan adalah kepemimpinan umum untuk seluruh kaum muslimin di dunia. Artinya, gelar imam dan lembaga imamah tidak digunakan kecuali dalam konteks pemerintahan yang tertinggi ini. Maka dari itu tidak sembarang pemerintahan layak disebut imamah dan tidak semua pemimpin negara relevan dengan konsep imam yang dibicarakan oleh para ulama. Hanya pemerintahan yang menerapkan syariat Islam saja yang disebut sebagai imamah dan pemimpin negara yang menerapkan syariat Islam saja yang diberi gelar imam.

Konsep tersebut tergambar dalam definisi yang dikemukakan oleh Al-Iji, bahwa imamah adalah: “pengganti kedudukan Rasul saw. (khilafatur Rasul) dalam hal menegakkan agama sehingga wajib bagi seluruh umat (kaaffatul ummah) untuk mentaatinya”. [An Nasafi, Bahrul kalam, Damaskus: Maktabah Dar al-Farfur, 2000.]

Kata kaaffatul ummah menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan imamah tersebut adalah kepemimpinan bagi seluruh umat Islam di seluruh dunia.

IMAMAH ADALAH KHILAFAH.

Imam al-Qalqasandi Ma’atsirul Inafah fii Ma’alim al-Khilafah, juz I hal 8 menyatakan, “Bahwa sesungguhnya khilafah itu adalah masdar dari khalafa, dikatakan bahwa dia menggantikannya pada kaumnya, (artinya) dia menggantikannya sebagai khilafah. Maka dia itu adalah khalifah. Pengertian yang semacam itu antara lain dalam firman-Nya Ta’ala:

وَقَالَ مُوسَىٰ لِأَخِيهِ هَٰرُونَ ٱخْلُفْنِى فِى قَوْمِى

“Dan Berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun: “Gantikanlah Aku dalam (memimpin) kaumku…” (TQS Al-a’raf: 142).

Imam Al-hafidz Ibn Jarir Ath-thabari berkata : “Sulthanul a’dzam (penguasa yang agung) disebut khalifah, karena dia menggantikan yang sebelumnya. Dia menempati posisi (yang sebelumnya) dalam memegang pemerintahan. Maka dia itu baginya adalah pengganti. Juga dikatakan: dia menggantikan khalifah, dia menggantikannya sebagai khilafah dan khalifah” (Imam Al-hafidz Ibnu Jarir Ath-thabari, Jami’ul Bayan fii Ta’wilil Qur’an, juz I hal 199).

Tentang Imamah, Imam Al-mawardi Asy-syafi’I menyatakan: “Imamah itu obyeknya adalah khilafah nubuwwah dalam menjaga agama serta politik yang sifatnya duniawi” (Imam Al-mawardi, Ali bin Muhammad, Al-ahkam As-sulthaniyyah, hal 5)

Adapun tentang khilafah, Imam Ar-ramli menyatakan : “Khalifah itu adalah imam yang agung, yang tegak dalam khilafah nubuwwah dalam melindungi agama serta politik yang sifatnya duniawi” (Imam Ar-ramli, Muhammad bin Ahmad bin hamzah, Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj fil Fiqhi ‘ala Madzhab Al-imam Asy-syafi’i, Juz 7 hal 289).

Dari sebagaian pendapat ulama tersebut tampak bahwa imamah dan khilafah adalah kata yang memiliki kesamaan makna. Imam an-Nawawi dalam kitab Raudlathuth Thalibin jilid X/49 menjelaskan, “Seorang imam boleh disebut khalifah, imam, dan amirul mukminin. Sementara itu Ibnu Khaldun dalam kitab al-Muqaddimah hal 190 menyatakan, “Ketika hakekat kedudukan ini sudah kami jelaskan sebelumnya, bahwa ia (imamah) adalah wakil dari Pemilik Syariat dalam menjaga agama dan mengatur dunia dengannya, maka ia disebut khilafah dan imamah. Sedangkan orang yang melaksanakannya disebut dengan khalifah dan imam”. Sedangkan Ibnu Manzhur dalam lisanul Arab IX/83 mendefinisikan khilafah sebagai imarah (pemerintahan)”.

Julukan amirul mukminin digunakan sejak masa khilafah Umar bin Khattab. Ibnu Sa’ad menyebutkan dalam at-thabaqat, “Kita adalah orang-orang mukmin dan Umar adalah amir kita”. Umar bin Khattab akhirnya dipanggil dengan sebutan Amirul Mukminin, dialah orang pertama yang dipanggil dengan sebutan ini.

Karena itulah para Ulama’ menjadikan kata Imam, Khalifah, dan Amirul Mukminin sebagai kata yang sinonim yang menunjuk pada pengertian yang sama (mutaradif).)

Dari paparan para ulama’ diatas ada dua hal yang bisa simpulkan. Pertama, para Ulama’ mendifinisikan Imamah dan khilafah dengan berbagai definisi, serta dengan ungkapan yang berbeda antara satu dengan yang lain namun dari sisi maksud kurang lebih sama. Kedua, ketika mereka mendiskripsikan imamah dan khilafah mereka menunjuk pada obyek yang sama, atau dengan kata lain khilafah dan imamah al-udzma adalah sama.

Khilafah dan Imamah memiliki arti yang sama karena nash-nash syariah, khususnya hadis-hadis sahih, telah menggunakan dua kata itu, yaitu  kata “imam” atau “khalifah” secara bergantian namun dengan pengertian yang sama. Sebagai contoh, kadang Rasulullah saw. menggunakan kata “khalifah” seperti sabdanya:

إِذَا بُوْيِعَ لِخَلِيْفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْا الآخِرَ مِنْهُمَا

“Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR al-Bazzar dan ath-Thabrani dalam Al-Awsâth. Lihat Majma’ az-Zawâ’id, V/198). Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim. Lihat: Syarh Muslim oleh Imam Nawawi, XII/242).

Namun, kadang Rasulullah saw. juga menggunakan kata “imam” seperti sabdanya:

مَنْ بَايَعَ إَمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمْرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ مَا اسْتَطَاعَ، فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ اْلآخَرِ

“Siapa saja yang membaiat seorang imam, lalu ia memberikan genggaman tangannya dan buah hatinya kepadanya, hendaklah ia menaati imam itu sekuat kemampuannya. Kemudian jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaan imam itu maka penggallah leher orang lain itu.” (HR Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, an-Nasa’i, dan Ahmad).

Kata “khalifah” dan “imam” dalam kedua hadist di atas mempunyai pengertian yang sama, yaitu pemimpin tertinggi dalam Negara Islam. (Lihat: Rawwas Qal’ah Jie dan Hamid Shadiq Qunaibi, Mu‘jam Lughah al-Fuqahâ, hlm. 64 dan 151). Jika “khalifah” dan “imam” sama pengertiannya maka sistem pemerintahan yang dipimpinnya, yaitu “Khilafah” dan “Imamah”, juga sama maknanya; tidak berbeda.

Dari pemaparan tersebut jelas dan gamblang bahwa yang dikehendaki dengan nashbul imamah adalah nashbul khalifah dalam sistem pemerintahan khilafah yang menerapkan Syariat Islam kaaffah bukan kepemimpinan nasional dalam sistem pemerintahan demokrasi.

HUKUM NASHBUL KHALIFAH ADALAH WAJIB

Tidak ada ikhtilaf di kalangan fuqaha` bahwa mengangkat khalifah (nashbul khalifah) adalah fardhu atas semua kaum muslimin di seluruh penjuru dunia. Melaksanakan pengangkatan khalifah adalah suatu keharusan yang tidak ada pilihan lain dan tidak ada tawar menawar di dalamnya.

Dalil wajibnya nashbul khalifah berdasarkan al-qur’an, as-sunah, dan ijma’ sahabat. Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 30, Allah SWT berfirman:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِى ٱلْأَرْضِ خَلِيفَةً

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sungguh Aku akan menjadikan di muka bumi Khalifah…” [QS al-Baqarah : 30].

Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya al- Jami’ Li Ahkamil Qur’an juz I/264 menjelaskan, “Ayat ini merupakan hukum asal tentang wajibnya mengangkat khalifah.” Bahkan, dia kemudian menegaskan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban (mengangkat khalifah) ini di kalangan umat dan para imam mazhab, kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-‘Asham (yang tuli tentang syariah) dan siapa saja yang berpendapat dengan pendapatnya serta mengikuti pendapat dan mazhabnya.”

Dan masih banyak ayat-ayat lain yang menegaskan perintah menegakkan khilafah agar perintah dalam ayat-ayat tersebut bisa dilaksanakan. Diantaranya adalah QS an-Nisa’ ayat 59; QS al-Maidah ayat 48; d[Lihat, Ad-Dumaji, Al–Imâmah al–‘Uzhma ‘inda Ahl as–Sunnah wa al–Jamâ’ah, hal. 49].

Adapun  dalil as-sunah di antaranya sabda Rasulullah saw :

مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِى عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

“Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada imam/khalifah), maka ia mati jahiliah.” [HR Muslim].

Berdasarkan hadis di atas, menurut Syeikh ad-Dumaiji, mengangkat seorang imam (khalifah) hukumnya wajib [Lihat, Ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hal. 49].

Nabi saw juga mengisyaratkan, bahwa sepeninggal Beliau harus ada yang menjaga agama ini, dan mengurus urusan dunia, dialah khulafa’, jamak dari khalifah [pengganti Nabi, karena tidak ada Nabi setelah wafatnya Nabi Muhammad saw]. Nabi saw bersabda:

كَانَتْ بَنُوْ إِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَ بَعْدِيْ، وَسَيَكُوْنُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُوْنَ

“Bani Israil dahulu telah diurus urusan mereka oleh para Nabi. Ketika seorang Nabi [Bani Israil] wafat, maka akan digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya, tidak seorang Nabi pun setelahku. Akan ada para Khalifah, sehingga jumlah mereka banyak.” [HR Muslim]

Selain al-Qur’an dan as-sunah, kewajiban tentang imamah atau khilafah juga ditetapkan berdasarkan ijma’ sahabat. Imam Ibnu Hajar Al-Haitami mengatakan, “ketahuilah juga bahwa para sahabat-semoga Allah meridhai mereka-telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib,bahkan mereka menjadikannya sebagai kewajiban paling penting ketika mereka menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan meninggalkan kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah SAW.” (Ibnu Hajar al-Haitami, As-Shawa’iqul Muhriqah, hal 7).

Berdasarkan dalil tersebut, seluruh ulama Ahlussunah wal jama’ah, khususnya imam empat mazhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Hanbali), sepakat bahwa adanya khilafah, dan menegakkannya ketika tidak ada, hukumnya wajib. Syeikh Abdurrahman al-Jaziri (w. 1360 H) menuturkan, “Para imam mazhab (yang empat) telah bersepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah wajib…” [Lihat, Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-Arba’ah, Juz V/416].

Hal senada ditegaskan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, “Para ulama telah sepakat bahwa wajib mengangkat seorang khalifah dan bahwa kewajiban itu adalah berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal.” [Ibn Hajar, Fath al-Bâri, Juz XII/205].

Pendapat para ulama tersebut juga diamini oleh para ulama muta’akhirîn [Lihat, Imam Abu Zahrah, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah, hlm. 88; Dr. Dhiyauddin ar-Rais, Al-Islâm wa al-Khilâfah, hlm. 99; Dr. Abdul Qadir Audah, Al-Islâm wa Awdha’unâ as-Siyâsiyah, hlm. 124; al-‘Allamah al-Qadhi Syeikh Taqiyyuddin an-Nabhani (Pendiri Hizbut Tahrir), Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, 2/15; Dr. Mahmud al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 248].

Ulama Nusantara, Syeikh Sulaiman Rasyid, dalam kitab fikih yang terbilang sederhana namun sangat terkenal berjudul Fiqih Islam, juga mencantumkan bab tentang kewajiban menegakkan khilafah. Bahkan bab tentang khilafah juga pernah menjadi salah satu materi di buku-buku madrasah (MA/MTs) di Tanah Air.

Jelas bahwa nashbul imamah adalah nashbul khalifah yang hanya ada dalam sistem pemerintahan khilafah bukan sistem pemerintahan demokrasi yang memisahkan agama dari pemerintahan. Nashbul khalifah bukan perkara ijtihadi yang boleh berbeda di kalangan kaum muslimin. Ia adalah kewajiban yang ditetapkan berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunah, dan Ijma’ sahabat serta disepakati oleh para ulama ahlussunah wal jama’ah. Wa Allahu a’lam bishawab.