Oleh : Nabila Asy-Syafi’i
Suaramubalighah.com, Hadis- Di dalam hadits dari Abu HurairahRadhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
إِنَّمَابُعِثْتُلأُتَمِّمَمَكَارِمَالأَخْلاقِ
Artinya: “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan keshalihan akhlak.” (HR. Al-Baihaqi).
Kita sering mendengar para penceramah menukilkan hadis diatas, dan menjelaskan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam diutus Allah Subhanallahu Wa Ta’ala semata untuk memperbaiki dan menyempurnakan akhlak. Akhlak dipandang sebagai dasar dan pondasi menuju perbaikan.
Perubahan akan terjadi jika ada perubahan akhlak. Banyaknya pejabat yang korupsi, para pemimpin yang abai pada rakyatnya, maraknya riswah bahkan telah membudaya. kemaksiatan dan kejahatan terjadi dimana-mana, diklaim karena kerusakan akhlak. Maka untuk perbaikan harus fokus pada memperbaiki akhlak. Tepatkah yang demikian itu?
Faktanya memfokuskan hanya pada perbaikan akhlak, dengan makna akhlak adalah perilaku, adab, sopan santun, kejujuran, amanah, menepati janji, maka hal ini tidak mengantarkan pada perubahan yang hakiki. Suatu contoh pegawai bank, meskipun akhlaknya baik, ia tidak bisa mengubah untuk menghilangkan transaksi riba yang telah jelas keharamannya. Lantas apa yang dimaksud dengan hadis diatas?
MEMAKNAI HADITS
Untuk memahami makna akhlak yang terdapat dalam hadits
إِنَّمَابُعِثْتُلأُتَمِّمَمَكَارِمَالأَخْلاق
Kita akan merujuk kepada pemahaman para ulama yang berkompeten untuk menjelaskannya.
Kata al-makârim itu sendiri adalah jamak dari kata al-makrumah.
Menurut dalam Lisânal-‘Arab (Ibnu Manzhur) makna Al makarim adalah perbuatan mulia (fi’lal-karam).
Adapun Akhlak (الأخلاق) adalah jamak dari khuluq (الخُلُقُ). Khuluq menurut Al-Azhari adalah “Al-Khuluq: din, dan al-khuluq: muru’ah.” (Muhammad bin Ahmad al-Azhariy ). Sedangkan Al-Qadhi ‘Iyadh menukil perkataan Ibnu al-‘Arabi: “Ibnu al-‘Arabi menuturkan: al-khuluq yakni tabiat, al-khuluq yakni al-dîn, al-khuluq yakni muru’ah.” (‘Iyadh bin Musa bin ‘Iyadh, Masyâriqal-Anwâr ‘AlâShihâhal-Âtsâr). Ibn Manzhur dalam Lisânal-‘Arab pun menjelaskan:”Al-Khuluq: yakni din (agama), tabi’at dan watak alami”
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa makna akhlak adalah addinul Islam.
Oleh karena itu tidak boleh memakai hadits bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam fokus dakwahnya hanya pada akhlak mulia dan mengabaikan dakwah menyeru pada penerapan Islam kaffah dalam naungan khilafah Rasyidah. Karena faktanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyeru pada masyarakat Arab kepada aqidah Islam dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membangun Daulah Islam Madinah berlandaskan aqidah Islam. Dengan aqidah Islam masyarakat Islam yang berakhlak karimah terbentuk.
Mengenai makna hadis diatas, Imam Abu Ja’faral-Thahawiy meriwayatkan hadits ini no. 4432 dan menjelaskan maknanya:
“Dan makna hadits ini menurut kami –wallâhua’lam- bahwa Allah ‘Azza wa Jalla mengutusnya –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- untuk menyempurnakan bagi manusia Din mereka, dan Allah menurunkan kepadanya dari apa yang masuk dalam pemaknaan ini, yakni firman-Nya ‘Azza waJalla:
{الْيَوْمَأَكْمَلْتُلَكُمْدِينَكُمْ}
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kamu Din-mu” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 3)
Maka Allah ‘Azza wa Jalla mengutusnya untuk menyempurnakan bagi manusia syariat beragama dari para Nabi sebelumnya berdasarkan informasi dalam firman-Nya:
الْيَوْمَأَكْمَلْتُلَكُمْدِينَكُمْ
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kamu Din-mu” (QS. Al-Mâ’idah : 3)
Oleh karena itu hadits إِنَّمَابُعِثْتُلأُتَمِّمَمَكَارِمَالأَخْلاق tidak bisa serta merta dimaknai dengan akhlak yang bermakna sikap sopan santun, ramah, menepati janji, jujur, dan sifat-sifat terpuji lainnya. Namun dikembalikan pada makna yang yang seharusnya yakni diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menyempurnakan agama dan syariat Nabi dan Rasul yang terdahulu. Dimana Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah penutup para Nabi dan Rasul. Dengan demikian ajaran dan syariat Islam pun telah sempurna.
MAKNA AKHLAK DALAM ISLAM
Al Allamah Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitabnya Nidzam al Islam menjelaskan, ” bahwa Islam adalah agama yang diturunkan Allah Subhanallahu wa Ta’ala kepada junjungan kita Nabi Muhammad shallallâhu ‘alayhiwasallam, untuk mengatur hubungan manusia dengan Khaliq-nya, dirinya, dan dengan sesamanya. Hubungan manusia dengan Khaliq-nya mencakup urusan aqidah dan ibadah. Hubungan manusia dengan dirinya mencakup akhlak, makanan/minuman dan pakaian. Sedangkan hubungan manusia dengan sesamanya mencakup mu’amalat dan uqubat/sanksi.”
Oleh karena itu, akhlak merupakan bagian dari syari’at Islam, berakhlak terikat dengan perintah dan larangan Allah. Oleh karenanya ketika seorang muslim marah dan melaknat para pemghina Rasulullah, bukan berarti ia bersikap berlebihan, namun memang seharusnya begitu, karena syariat menunjukan kepada siapa kaum muslimin bersikap keras dan kepada siapa kaum muslimin harus bersikap lemah lembut.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus Allah Subhanaallahu Wa Ta’ala ke dunia untuk mengemban risalah Islam, dan menuntun manusia kejalan yang benar. Meski, sebelum menerima wahyu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah dikenal sebagai seorang pemuda yang berakhlak mulia, yang jujur dan dapat dipercaya, sehingga beliau digelari al-Amiin.
Namun tatkala beliau berdakwah di tengah-tengah masyarakat Jahiliyyah Quraisy, penolakan, rintangan bahkan ancaman dilakukan oleh orang-orang kafir Quraish khususnya para pembesar Quraish. Mereka berusaha untuk menghentikan dakwah Rasulullah. Karena para pembesar Quraish itu memahami bahwa dakwah Rasulullah bukan sekedar seruan moral, namun akan membawa perubahan besar dalam tatanan masyarakat jahiliyah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berdakwah, menyeru kepada aqidah tauhid dan penegakan Islam kaffah yang mampu mengubah wajah masyarakat kafir Quraish penyembah berhala menjadi masyarakat yang bertauhid. Masyarakat yang merdeka yang hanya menghamba kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala.
Sungguh, masyarakat yang berakhlak mulia hanya bisa terwujud dari masyarakat yang memiliki perasaan dan pemikiran yang islami, dan dengan ditegakkan syari’at Islam kaaffah di tengah-tengah masyarakat. Karena akhlak tidak bisa dipisahkan dari syari’at, akhlak adalah bagian dari syari’at Islam yang mulia.
Maka tatkala sistem kapitalisme demokrasi yang diterapkan. Kemaksiatan dan pelanggaran syariat Islam diberi ruang yang luas, seperti riba dilegalkan , minuman beralkohol bebas diproduksi dan diperjualbelikan, pergaulan bebas hal yang bisa dan sebagainya, maka tak heran jika angka kriminalitas di tengah-tengah masyarakat menjadi sangat tinggi. Dan menghilangkan kemaksiatan dan kriminalitas hanya dengan seruan untuk moralitas saja, rasanya jauh panggang dari api. Waallahua’lam.