DEMOKRASI TAK MAMPU MELAHIRKAN PEMIMPIN ADIL DAN AMANAH.

  • Opini

Oleh : Hj. Mumayyizah

Pengasuh PP Al-Inayah Pamekasan-Madura

Suaramubalighah.com, Opini – Bandara Sukarno Hatta memutih. Kaum muslimin dengan berpakaian putih menyambut kedatangan Habib Rizieq Syihab setelah bertahun lamanya menetap di Mekkah. Banyaknya massa yang menyambut Imam Besar membuat bandara lumpuh dan beberapa penerbangan gagal.

Euforia umat menyambut kedatangan Habib Rizieq Syihab menandakan dua hal, pertama, kerinduan umat terhadap sosok pemimpin yang tegas terhadap kemungkaran, terdepan membela kebenaran, dan pemimpin komitmen memperjuangkan syariah Islam. Kedua, menunjukkan sikap penolakan terhadap rezim  zalim , dan represif terhadap Islam dan kaum muslimin khususnya para ulama.

Hari ini umat sudah jengah dengan pemimpin yang zalim. Terlalu banyak bukti yang bisa dihadirkan mengenai kezaliman penguasa saat ini. UU Cipta kerja, dan carut marutnya penanganan wabah Covid 19  salah satu contohnya. Disamping berbagai kebijaka zalim, kriminalisasi  ulama dan sikap represif terhadap umat Islam yang kritis, membuat umat  rindu hadirnya seorang pemimpin yang taat terhadap agama, adil, berkomitmen menjalankan aturan Islam, dan berpihak pada kepentingan rakyat.

Namun sayangnya harapan untuk menghadirkan pemimpin ideal seperti itu bagai mimpi di siang bolong terwujud saat ini. Sistem politik demokrasi  yang menjadi pijakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tak akan pernah memberi ruang untuk itu. Sistem demokrasi memegang prinsip suara rakyat adalah suara tuhan. Hak membuat hukum ada di tangan manusia melalui legislatif yang konon perwakilan rakyat namun realitasnya mereka mewakili kalangan elit pemilik modal. Alquran dan as-Sunnah tak diberi ruang untuk menjadi sumber hukum. Kefardhuan dalam Islam boleh dilarang atas nama suara rakyat. Pun keharaman boleh diterapkan jika rakyat menginginkannya. Sejak awal disumpah sebagai presiden, perdana menteri, atau lainnya mereka sudah bersumpah untuk menerapkan demokrasi. Dibawah Alquran, mereka bersumpah bukan untuk menerapkan Alquran, tapi hukum manusia. Maka wajar, jika sejak awal memimpin, hukum dan kebijakan yang ditetapkannya bukan untuk meninggikan agama Allah, dan menerapkan hukum yang berdasarkan wahyu.

Padahal apapun hukum dan kebijakan yang tak berlandaskan wahyu, pastinya akan melahirkan kezaliman. Tak akan cocok bagi umat manusia. Apalagi, jika manusia  diberi hak menetapkan hukum, tentu keterbatasan ilmu, akal, dan hawa nafsu berpotensi hukum lahir karena kepentingan.

ISLAM DAN KEPEMIMPINAN

Islam sebagai agama sempurna, memperhatikan betul soal amanah kepemimpinan. Rasulullah Saw telah mengancam pemimpin yang khianat.

مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلاَّ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ

Tidaklah seorang hamba—yang diserahi oleh Allah tugas untuk mengurus rakyat—mati pada hari kematiannya, sementara ia mengkhianati rakyatnya, Allah mengharamkan surga bagi dirinya” (HR Muslim).

Terkait dengan hadis ini, Imam Fudhail bin Iyadh menuturkan, “Hadis ini merupakan ancaman bagi siapa saja yang diserahi Allah SWT untuk mengurus urusan kaum Muslim, baik urusan agama maupun dunia, kemudian ia berkhianat. Jika seseorang berkhianat terhadap suatu urusan yang telah diserahkan kepada dirinya maka ia telah terjatuh pada dosa besar dan akan dijauhkan dari surga. Penelantaran itu bisa berbentuk tidak menjelaskan urusan-urusan agama kepada umat, tidak menjaga syariah Allah SWT dari unsur-unsur yang bisa merusak kesuciannya, mengubah-ubah makna ayat-ayat Allah SWT dan mengabaikan hudûd (hukum-hukum Allah SWT). Penelantaran itu juga bisa berwujud pengabaian terhadap hak-hak umat, tidak menjaga keamanan mereka, tidak berjihad untuk mengusir musuh-musuh mereka dan tidak menegakkan keadilan di tengah-tengah mereka. Setiap orang yang melakukan hal ini dipandang telah mengkhianati umat.” (Imam an-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim).

Islam menjelaskan pula, fungsi diangkatnya seorang imam atau khalifah. Imam Al Hafidz An Nawawi menegaskan dalam kitabnya Raudhah at-Thalibin wa Umdah al-Muftin, bahwa keberadaan Imam (penguasa) bagi umat untuk menegakkan agama, menolong as-sunnah, menolong orang-orang yang didzalimi serta menempatkan hak-hak pada tempatnya.

Seorang muslim terlebih jika ia menjadi pemimpin telah diwajibkan untuk masuk Islam secara kaffah sebagaimana firman Allah SWT:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu kepada Islam secara menyeluruh. Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kamu.” (QS al-Baqarah : 208).

Imam Thabariy ketika menafsirkan surat Al Baqarah 208 tersebut menyatakan,

“Ayat di atas merupakan perintah kepada orang-orang beriman untuk menolak selain hukum Islam; perintah untuk menjalankan syari’at Islam secara menyeluruh; dan larangan mengingkari satupun hukum yang merupakan bagian dari hukum Islam.”

Penegakan hukum Allah SWT inilah, yang menjadi alasan seorang pemimpin dalam Islam (imam/khalifah) dibaiat dan diangkat. Maka ketika dia memimpin dipastikan tidak akan menerapkan hukum buatan manusia. Ada berbagai perangkat struktur dan mekanisme syariah yang akan mencegahnya berbuat kezaliman. Jikapun kemudian dia berbuat zalim dengan menjadi fasiq misalnya, maka syarat in’iqadnya gugur dan pemimpin itu dimakzulkan.

Pada masa kepemimpinan Islam dalam sistem khilafah, kita lihat ada banyak figur pemimpin adil dan amanah. Mewujudkan peradaban gemilang.  Jejak sejarah mengisahkan bagaimana Khalifah Abu Bakar begitu mencintai rakyatnya. Dengan hewan tunggangannya beliau sendiri membagikan selimut di musim dingin untuk rakyat. Meski begitu, beliau tegas dalam urusan penegakan hukum Allah SWT. Beliau tak segan mengirim pasukan ke Yamamah untuk memerangi murtaddin. Bahkan Umar bin Khattab yang menjadi qadli (hakim) di masa itu mengundurkan diri setelah setahun bertugas. Tersebab, tak ada kasus perselisihan, ataupun kriminalitas di tengah masyarakat Madinah.

Di masa Umar bin Khattab, beliau mampu menyebarkan Islam hingga ke Syam dan Persia, dua mantan adidaya. Sehingga warga Syam dan Persia bisa hidup dalam kelurusan tauhid dan keberkahan syariah Islam. Di dalam negeri, kesederhanaan, keadilan, dan sifat amanah terhadap rakyat menjadikan nama beliau harum hingga kini. Khalifah Umar bin Abdul Aziz dikenal dengan sifat zuhud dan wara’nya. Beliau menyerahkan hartanya ke Baitul Maal saat menjabat khalifah. Hidup dalam kesederhanaan, namun keberhasilannya mensejahterakan rakyat luar biasa. Di beberapa propinsinya, tak ada yang mau menerima zakat dari baitul maal karena telah sejahtera. Pemimpin yang adil dan amanah seperti banyak ditorehkan sejarah peradaban Islam membuktikan bahwa dalam sistem politik Islam, Khilafah Islamiyah sangat mudah untuk melahirkan pemimpin adil dan amanah. Serta cukup sulit bagi pemimpin untuk berbuat khianat, zalim, apalagi represif terhadap Islam.

Jika demikian, masihkah kita mempertahankan sistem demokrasi yang terbukti tidak mampu melahirkan pemimpin adil dan amanah ?. Setiap muslim yang beriman kepada Allah SWT dan RasulNya serta berakal sehat, bisa membedakan mana yang haq dan mana yang bathil tentu tidak akan mempertahan sistem demokrasi yang rusak dan merusak . Dan tentu pilihan jatuh pada keinginan dan dorongan kuat untuk mewujudkan sistem pemerintahan Islam, Khilafah Islamiyah.  Allahu a’lam