Jihad Tanggung Jawab Negara

Tag:

Oleh : Kholishoh Dzikri

Suaramubalighah.com, Ta’bir Afkar-Perbincangan mengenai jihad mengemuka setelah beredar video seruan jihad “hayya ‘ala al jihad” menggantikan kalimat ‘ hayya ‘ala ash-shalat” dalam azan yang dilakukan sekelompok orang.  Dalam tulisan ini tidak akan membahas hukum tentang mengganti atau menambahkan kalimat ajakan jihad dalam azan shalat namun akan memaparkan bagaimana jihad dalam pandangan Islam dan siapa yang berhak menyerukan jihad.

Jihad adalah kewajiban agung yang disyariatkan Allah Subhanaallahu Wa ta’ala dalam banyak ayat di dalam Al-Qur’an. Diantaranya ayat berikut,

إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا۟ وَجَٰهَدُوا۟ بِأَمْوَٰلِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلصَّٰدِقُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar” (QS. Hujurat : 15).

Rasulullah Shalaallahu Alaihi Wassalam juga telah menegaskan kewajiban dan keutamaan jihad dalam banyak hadis, diantaranya hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Daud dari Anas, dia berkata Rasulullah Shalaallahu Alaihi Wassalam bersabda, “Jihad berlaku sejak Allah mengutusku sampai umat terakhirku memerangani Dajjal. Jihad tidak bisa dibatalkan oleh kelaliman orang yang lalim, dan tidak pula oleh keadilan orang yang adil”.

Dari ayat dan hadis yang telah disebutkan diatas dan masih banyak lagi ayat dan hadis yang menjelaskan tentang jihad, dipahami bahwa jihad adalah kewajiban yang telah disyariatkan oleh Allah Subhanaallahu Wa Ta’ala. Karena itu siapa saja yang mengingkari jihad dan bahkan memberikan stigma negatif tentang jihad maka ia telah mengingkari salah satu Syariat Islam dan menikam ajaran Islam.

JIHAD ADALAH PERANG

Dalam kitab An-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits (I/319), karya Ibnul Atsir, jihad secara syar’i didefinisikan sebagai berikut, “Jihad adalah memerangi orang kafir, yaitu berusaha dengan sungguh-sungguh mencurahkan kekuatan dan kemampuan, baik berupa perkataan atau perbuatan”.
Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kitab Mufradaat Alfaazhil Qur-aan, hlm. 208 mengatakan,  “Jihad artinya mencurahkan segala kemampuan untuk memerangi musuh.”

Dalam kitab Al – Syakhshiyah Al-Islamiyah juz II, Asy-Syaikh Taiyuddin An-Nabhani, menerangkan, “ jihad adalah mencurahkan kemampuan untuk berperang di jalan Allah secara langsung, atau dengan bantuan harta, pemikiran, memperbanyak perbekalan, dan lain sebagainya. Jihad adalah berperang untuk meninggikan kalimat Allah Subhanaallahu Wa Ta’ala”.

Yang dimaksud berjihad dengan harta, adalah infaq harta yang terkait dengan perang secara langsung (mubaasyarah), misanya memberikan dana, pakaian, obat-obatan, kepada para mujahidin di medan perang. Jika infaq harta tidak terkait degan perang secara langsung, misalnya menyantuni fakir miskin dan anak yatim, membantu korban bencana alam, membangun lembaga keuangan syariah, memberi beasiswa, dan sebagainya, tidak dapat disebut jihad menurut pengertian syariah.  Demikian juga menuntut ilmu, mengembangkan ekonomi masyarakat, perjuangan politik, dan melawan hawa nafsu tidak dinamakan dengan jihad menurut pengertian syariah dan tidak termasuk dalam pembahasan jihad.

Jadi makna jihad secara syar’i digunakan khusus untuk peperangan (al-qital) dan segala sesuatu yang berkaitan langsung dengan peperangan. (al-qitaal wa kullu maa yata’allaqu bil qitaali mubaasyaratan). (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, 2/145).

Jihad pada pokoknya adalah perang (al-qitaal), yaitu perang yang dilakukan oleh kaum muslimin melawan kaum kafir yang tidak mempunyai ikatan perjanjian dengan kaum muslimin (kafir ghairu dzi ‘ahdin, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 16/124).

Adapun perang, tidak selalu dapat dikategorikan jihad. Perang dapat dikategorikan jihad, jika yang menjadi sasaran perang adalah kaum kafir seperti kaum Yahudi atau Nasrani sebagaimana disebutkan dalam QS. At-Taubah  : 29,

قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّىٰ يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk”

Adapun jika yang menjadi sasaran perang adalah sesama kaum muslimin, misalnya perang yang dilakukan Imam (Khalifah) melawan kelompok separatis (bughat) yang memberontak dengan senjata kepada Khalifah yang sah, tidak dapat disebut jihad, melainkan disebut perang (al-qital) saja. Sebab kaum bughat itu masih muslim, bukan kaum kafir sebagamana dijelaskan dalam QS Al-Hujuraat : 9,

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا ۖ فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّىٰ تَفِيءَ إِلَىٰ أَمْرِ اللَّهِ ۚ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا ۖ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

”Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”

Dari sini maka definisi jihad tidak dapat diterapkan untuk aktivitas memerangi kaum bughat (kelompok separatis muslim). (Muhammad Khair Haikal, Al-Jihad wa Al-Qital fi As-Siyasah Al-Syar’iyyah, 1/66).

Jihad dengan makna perang sejalan dengan pendapat Imam empat madzhab (al-madzahib al-arba’ah) yang menjadi panutan kaum muslimin secara umum termasuk kaum muslimin di Indonesia.

Dalam mazhab Hanafi, Imam Al-Kasani dalam kitabnya Bada`i’u Al-Shana`i’ menjelaskan ,“Dalam urf syariah, [jihad] itu digunakan dalam pengertian mengerahkan kemampuan dan kesanggupan dalam perang di jalan Allah Azza wa Jalla dengan jiwa, harta, lisan, atau yang lainnya.” (Imam Al-Kasani, Bada`i’u Al-Shana`i’ fi Tartib Al-Syara`i’, 7/97).

Dalam mazhab Maliki, Syaikh Muhammad Ilyas dalam kitabnya Manhul Jalil berkata,“Jihad, artinya adalah perang oleh seorang muslim terhadap orang kafir yang tak mempunyai ikatan perjanjian, untuk meninggikan kalimat Allah.”  (Syaikh Muhammad Ilyas, Manhul Jalil Mukhtashar Sayyidi Khalil, 3/135).

Dalam mazhab Syafi’i, Imam As-Syairazi dalam kitabnya Al-Muhadzdzab berkata, “Sesungguhnya jihad itu tiada lain adalah perang.” (Imam As-Syairazi, Al-Muhadzdzab, 2/227).

Dalam mazhab Hambali, Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni juga menjelaskan pengertian jihad yang semakna dengan mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i, yaitu perang di jalan Allah. (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 10/375).

JIHAD DEFENSIF DAN OFENSIF

Jihad hukumnya fardhu berdasarkan nash-nash Al-Qur`an dan Al-Hadis. Membedakan hukum jihad sebagai fardhu kifayah atau fardhu ‘ain dilihat dari  jenisnya jihad. Jihad memerangi orang kafir terbagi menjadi dua, yaitu jihad karena bertahan dari serangan musuh (Difa’i) hukumnya fardhu ‘ain, dan memulai perang (jihad ibtidaa`an) meski musuh tidak menyerang kaum muslimin hukumnya fardhu kifayah.

Islam memerintahkan berperang melawan kaum kafir yang memerangi kaum muslimin dan merebut hak kaum muslimin seperti apa yang dilakukan Israel terhadap negeri muslim, Palestina. Maka kaum muslimin wajib ‘ain berperang melawan zionis Israel,seperti yang diperintahkan Allah Subhanaallahu Wa Ta’ala,

وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas”. (QS Al Baqarah: 190).

Jihad defensif (Difa’i) berlaku kapan saja selama ada serangan kaum kafir terhadap kaum muslimin baik sistem pemerintahan Islam, Khilafah Islamiyah telah tegak atau belum.

Membatasi hanya pada jihad defensif saja (Difa’an) jelas tidak dibenarkan karena ada jihad yang yang bersifat ofensif (ibtida’an) sebagaimana disebutkan dalam QS. At-Taubah ayat 29 yang telah disebutkan di atas. Jihad ini dilakukan oleh negara sebagai metode untuk menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia setelah sebelumnya dilakukan penyampaian dakwah.Apabila dakwah disambut oleh pihak musuh maka jihad tidak akan dikobarkan, namun apabila mereka menolak dan tidak mau tunduk terhadap kekuasaan kaum muslimin maka negara akan melancarkan jihad ofensif untuk melakukan futuhat (penaklukan) terhadap negara tersebut. Rasulullah  Shalaallahu Alaihi Wassalam dan khalifah setelah beliau telah melakukan banyak futuhat hingga kekuasaan Islam keluar jazirah arab bahkan meluas hingga 2/3 wilayah dunia. Jihad ofensif (ibtida’an) fardhu kifayah hukumnya. Pelaksanaannya meniscayakan adanya kekuatan negara Islam, Khilafah Islamiyah.

SERUAN JIHAD TANGGUNG JAWAB NEGARA

Jihad adalah kewajiban yang bersifat mutlak, tidak dibatasi dengan sesuatu pun dan tidak disyaratkan dengan apapun. Kemutlakan ini ditetapkan oleh Allah Subhanaallahu Wa Ta’ala,

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ

“Diwajibkan atas kamu berperang,” (QS. Al-Baqarah ; 216).

Kewajiban jihad berlaku sepanjang masa, baik kaum muslimin berada dalam sistem pemerintahan Islam yakni Khilafah Islamiyah ataupun tidak. Seperti kondisi saat ini dimana kaum muslimin tidak berada dalam sistem Khilafah maka hukum jihad tetap wajib, baik jihad defensif (Difa’an) maupun jihad ofensif (Ibtida’an). Hanya saja ketika kaum muslimin berada dalam sistem Khilafah Islamiyah dan dipimpin seorang Khalifah yang telah dibaiat secara sah maka keputusan untuk berjihad dan seruan berjihad diserahkan kepada Khalifah. Dan kaum muslimin wajib mentaatinya.

Mengemban dakwah ke seluruh penjuru dunia adalah salah satu kewajiban yang harus diemban oleh khilafah dengan methode (thariqah) yang telah ditentukan Syara’ yaitu jihad. Jihad akan terwujud apabila ada pasukan, kekuatan yang dipersiapkan untuk berperang, dan ada peperangan itu sendiri. Oleh karena itu jihad untuk mengemban dakwah ke seluruh penjuru dunia hanya bisa diwujudkan oleh negara (khilafah). Kelompok manapun dari kaum muslimin tidak boleh mengambil alih peran ini.

Memerangi musuh tidak boleh dilakukan sebelum dakwah Islam disampaikan kepada mereka. Yang pertama, dilakukan Khilafah adalah mengajak kaum kafir untuk memeluk Islam. Kedua, jika tidak bersedia maka ditawari tunduk kepada kekuasaan Islam dengan membayar jizyah. Ketiga, jika tidak mau membayar jizyah, maka khilafah akan menyerukan jihad kepada mereka. Rasulullah Shalaallahu Alaihi Wasallam  pernah mengutus Mu’adz bin Jabal kepada penduduk Yaman untuk memberi pengajaran (tentang Islam) kepada mereka, beliau berwasiat kepada Mu’adz dengan wasiat agar melakukan tahapan dakwah sebagaimana disebutkan dalam Shahiih Muslim III/1356, no. 1731, Sunan at-Tirmidzi II/431, no. 1429).

Jihad adalah ajaran Islam yang mulia, yang dengannya kekuasaan kaum muslimin akan meluas dan rahmat Islam akan tersebar ke seluruh penjuru dunia hingga melibas semua kekufuran dan kezaliman kaum kafir. Karena inilah musuh-musuh Islam terus mempropagandakan stigma negatif tentang jihad dan merancang berbagai program deradikalisasi untuk menjauhkan kaum muslimin dari syariat jihad. Karena mereka paham jika jihad ditegakkan maka dominasi mereka atas dunia akan berakhir. Waallahu a’lam.