Demokrasi Lahir dari Sekularisme, Haram Mengambil dan Menerapkannya

Oleh : Kholishoh Dzikri

Suaramubalighah.com, Ta’bir Afkar – Tidak ada satu negarapun di dunia saat ini yang tidak menerapkan dan mengusung demokrasi, tidak terkecuali negeri-negeri muslim. Demokrasi menjadi satu ajaran yang diyakini kebenarannya dan diagungkan sebagai satu-satunya tatanan yang mengatur kehidupan. Bahkan tidak boleh ada ajaran lain yang digunakan untuk mengatur kehidupan. Sampai-sampai Islam sebagai agama yang diyakini mayoritas manusia di dunia tidak diberi ruang untuk mengatur kehidupan.

Namun tidak bisa dipungkiri sejak demokrasi diterapkan, kehidupan dunia menjadi penuh persoalan. Kemiskinan, rapuhnya keluarga, rusaknya generasi, carut-marutnya kehidupan politik, rusaknya lingkungan hidup, nyawa manusia tidak dihargai karena begitu mudahnya darah ditumpahkan, agama Islam dipilih dan dipilah, yang sesuai kepentingan dan tidak mengganggu akan diberi ruang sedangkan yang dirasa mengancam dan mengganggu akan disingkirkan, pelecehan simbol-simbol Islam dan persekusi ulama’ pun tidak ketinggalan, bahkan Nabi Muhammad saw junjungan umat Islam seluruh dunia juga dinistakan, nauzubillah min dzalik.

Demokrasi memiliki daya rusak (destruktif) yang luar biasa, namun sebagian umat Islam masih meyakininya bahkan mempertahankannya. Karenanya, demokrasi perlu dikuak jati dirinya hingga terbongkar topeng kepalsuannya.

DEMOKRASI LAHIR DARI AKIDAH SEKULARISME

Demokrasi Secara historis berasal dari Yunani kuno yang lahir pada abad ke 5 M yang diprakarsai oleh Cleisthenes. Istilah demokrasi berasal dari kata demos (rakyat) dan kratos (power). Artinya suatu bentuk pemerintahan dengan rakyat sebagai pemegang kedaulatannya.

Mantan presiden Amerika Abraham Lincoln mendefinisikan demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, yang dijalankan oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyat (government of the people, by the people, and for the people).

Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), Demokrasi diartikan sebagai sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantara wakilnya.

Demokrasi lahir sebagai solusi atas dominasi gereja yang otoriter dan kekuasaan mutlak sepanjang abad pertengahan. Dominasi gereja yang berkolaborasi dengan para raja Eropa menghendaki tunduknya seluruh urusan kehidupan (politik, ekonomi, seni, sosial, dll)  pada aturan-aturan gereja. Dominasi gereja ini ditentang oleh para filosof dan cenekiawan yang menolak secara mutlak peran gereja (Katolik) dalam kehidupan.

Perseteruan panjang antara gerejawan yang berkolaborasi dengan para raja mengantarkan pada sebuah kesepakatan untuk mereformasi peran gereja hanya pada urusan agama saja. Kesepakatan ini menjadi titik tolak awal untuk meruntuhkan dominasi agama (gereja) atas pengaturan kehidupan dunia. Adapun pengaturan kehidupan dunia (poitik, ekonomi, Sosial kemasyarakatan, dll) diserahkan pengaturannya kepada manusia (rakyat) tanpa campur tangan agama (gereja). Kesepakatan ini dirumuskan dalam paham sekularisme yaitu pemisahan agama dari kehidupan.

Dalam paham sekularisme, agama tidak diingkari secara total, tetapi masih diakui secara terbatas, yaitu hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan saja. Agama tidak boleh digunakan untuk mengatur kehidupan, termasuk tidak boleh mengatur negara.

Dari latar belakang kelahirannya, terkuak bahwa demokrasi lahir dari paham sekularisme yang menyingkirkan peran agama dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Demokrasi dan sekularisme selamanya tidak akan terpisahkan laksana seorang anak yang tidak bisa dipisahkan dari ibu yang melahirkannya. Negara mana saja yang menerapkan demokrasi dalam sistem kehidupannya maka dipastikan agama akan dijauhkan kecuali dalam masalah ibadah ritual (ubudiyah) saja. Walhasil, Sekularisme pada hakekatnya adalah akidah dalam sistem demokrasi.

Demokrasi lahir dari akal yang diliputi hawa nafsu manusia. Ini jelas bertentangan dengan Islam. Islam adalah agama sempurna yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah secara langsung berupa akidah dan ibadah mahdhah seperti shalat, zakat, puasa, haji, dll. Islam juga diturunkan dengan seperangkat aturan untuk mengatur manusia dalam hubungannya dengan dirinya sendiri berupa hukum akhlak, hukum tentang makanan, minuman, dan pakaian. Islam juga mengatur manusia dalam hubungannya dengan manusia yang lain berupa hukum – hukum muamalah seperti hukum tentang perekonomian, sosial kemasyaratan, pendidikan, pemerintahan, politik luar negeri, dan hukum tentang hudud dan jinayat (sanksi). Allah SWT telah berfirman,

نَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ

“…Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu …” (QS. An-Nahl : 89).

Islam memerintahkan manusia untuk masuk Islam secara kaffah, tidak boleh pilih dan pilah. Islam melarang pemisahan agama dalam pengaturan kehidupan dunia. Sementara demokrasi mengajarkan pemisahan agama dari pengaturan kehidupan dunia, dan mengharuskan adanya pemilahan dalam penerimaan terhadap syariat Islam. Padahal Allah SWT telah berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱدْخُلُوا۟ فِى ٱلسِّلْمِ كَآفَّةً

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan,..”(QS. Al-Baqarah ; 208).

Dari sini jelas bahwa Demokrasi bertentangan dengan Islam dan sangat membahayakan akidah umat. Oleh karena itu sudah menjadi keharusan umat Islam menjauhi akidah sekularisme dan sistem demokrasi.

DEMOKRASI MELAHIRKAN KEBEBASAN TANPA BATAS.

Demokrasi yang lahir dari rahim sekularisme memberikan kepada manusia dua hal. Pertama, hak membuat hukum (legislasi) sebagai wujud dari prinsip kedaulatan rakyat (as-siyadah li al-syar’i). Yakni manusia diberi hak membuat hukum sesuai kepentingan dan kemauannya. Hak membuat hukum direpresentasikan dengan lembaga legislatif yaitu DPR/DPRD. Kedua, hak memilih penguasa sebagai wujud dari prinsip kekuasaan di tangan rakyat (as-sulthan li al-ummah). Penguasa dipilih dan digaji untuk menjalankan undang-undang yang dibuat oleh wakil rakyat. Jika kepala negara sudah tidak sesuai dengan harapan rakyat selama memimpin, maka rakyat berhak untuk mencabut kekuasaan dan menggantinya dengan pemimpin yang baru. Hal ini dikarenakan penguasa dalam sistem demokrasi adalah pekerja (Ajir) yang diangkat dengan akad ijarah (akad kerja).

Dalam demokrasi ada empat pilar kebebasan (al-hurriyat) yang diagungkan. Dan empat pilar ini terbukti telah melahirkan berbagai kerusakan dan kezhaliman yang dilakukan penguasa kepada rakyatnya. Pertama, Kebebasan dalam beragama. Seseorang bebas berganti agama tanpa ada sanksi, agama baru pun bermunculan; Ahmadiyah, Kerajaan Lia Eden, Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar), dan yang terbaru agama kerajaan ubur-ubur. Kedua, adanya jaminan kebebasan berpendapat. Penghinaan terhadap Nabi Muhammad saw dan ajaran Islam menjadi sah dalam demokrasi. Persekusi terhadap ulama hanya karena dakwahnya mengancam kepentingan penguasa. Dan munculnya berbagai penafsiran agama sesuai kepentingan seperti Islam nusantara dan Islam moderat. Ketiga, kebebasan dalam kepemilikan. Siapa saja memiliki modal dan kekuasaan maka ia bisa menguasai sebanyak-banyaknya kekayaan alam. Kebebasan kepemilikan melahirkan para kapital dan kapitalisme Ia bebas melakukan apa saja untuk mendapatkan kekayaan. Berbagai produk undang-undang dibuat untuk melegalkan penguasaan mereka atas kekayaan milik rakyat bahkan mereka jual kepada asing. UU SDA, UU Migas, UU Minerba, UU Kelistrikan, UU BPJS, UU SJSN, dsb adalah buktinya. Keempat, jaminan kebebasan bertingkah laku. Pergaulan bebas yang mengakibatkan aborsi, pembuangan dan pembunuhan bayi, mengumbar aurat, LGBT, narkoba dan berbagai maksiat lainnya.

Empat kebebasan ini sangat diagung-agungkan bahkan dianggap sebagai hak asasi manusia yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun meski dalam prakteknya kebebasan tersebut justru mengganggu kebebasan orang lain. Inilah kebebasan tanpa batas yang lahir dari sistem demokrasi.

Empat pilar kebebasan ini tidak dikenal dalam Islam bahkan bertentangan dengan dengan Islam. Islam menjadikan Syariat sebagai standar perbuatan (miqyâs al-‘amal). Setiap muslim wajib terikat dengan standar ini. Maka tak heran jika para ulama merumuskan kaidah syar’iyyah (berdasarkan nash-nash al-Qur’an dan al-Sunnah)

الأَصْلُ فِي اْلأَفْعَالِ التَّقَيُّدُ بِحُكْمِ اللهِ

“Hukum asal perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum Allâh.” 

MUSYAWARAH BUKAN DEMOKRASI

Kafir Barat sangat paham apabila Demokrasi dipasarkan dengan wajah aslinya maka dipastikan tidak akan diterima di negeri-negeri muslim. Karena itu mereka mempropagandakan demokrasi dengan wajah yang disamarkan dengan sebagian ajaran Islam. Yang paling sering kita dengar propaganda bahwa musyawarah (syura) sama dengan demokrasi. Dengan cara ini sebagian umat Islam tertipu dan terperdaya sehingga dengan sukarela mengambil dan memperjuangkan karena seolah-olah demokrasi adalah ajaran Islam.

Realitasnya, konsep musyawarah dalam Islam berbeda dengan demokrasi. Dalam Islam, musyawarah (syura) adalah mengambil pendapat (akhdh ar-ra’yi) (Asy-Syakhsiyah al-Islamiyah juz I, TaqiyudinAn-Nabhani). Jelasnya, syura adalah mencari pendapat dari orang yang diajak bermusyawarah.Istilah lain syura adalah masyura atau at-tasyawwur.

Dalam Islam, pendapat yang diambil dalam musyawarah bergantung pada permasalahan yang dimusyawarahkan. Pertama, dalam penentuan hukum syariah (at-tasyri’) tidak bergantung pada pendapat mayoritas atau minoritas, melainkan pada nash al-Quran dan as-Sunnah. Sebab yang menjadi Pembuat hukum (Musyarri’) hanyalah Allah SWT. bukan umat atau rakyat. Sebagai contoh, dalam membuat UU Minol tidak dipertimbangkan pendapat manusia karena hukum minuman keras (khamr) telah jelas keharamannya. Kedua, dalam masalah yang membutuhkan keahlian, pemikiran dan pertimbangan yang mendalam tidak membutuhkan pendapat mayoritas namun pendapat dikembalikan pada para ahli yang berkompeten. Misalnya, masalah kemiliteran, dikembalikan kepada pakar militer. Masalah fikih dikembalikan kepada para fukaha dan mujtahid. Ketiga: masalah yang bersifat praktis, yang tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan mendalam maka dalam hal ini, yang menjadi patokan adalah suara mayoritas karena mayoritas orang dapat memahaminya dan dapat memberikan pendapatnya degan mudah menurut pertimbangan kemaslahatan yang ada. Sebagai contoh, pemilihan khalifah, rakyat boleh menentukan apakah akan mengangkat si A atau si B.

Dalam demokrasi, semua hal dimusyawarahkan di DPR, jika tidak ada mufakat maka akan diambil suara terbanyak. Dari sini jelas bahwa musyawarah dalam Islam tidak sama dengan demokrasi. Menyamakan keduanya adalah bukti pengaburan makna demokrasi dan merusak konsep musyawarah dalam Islam.

HARAM MENERAPKAN DEMOKRASI.

Telah jelas Demokrasi adalah buatan manusia. Akidahnya memisahkan agama dari kehidupan (sekularisme), bertentangan dengan akidah Islam. Sistemnya juga menyalahi sistem Islam karena tidak bersandar pada wahyu Allah SWT. Demokrasi hanya bersandar pada rakyat meski realitasnya bukan semua rakyat namun kelompok rakyat tertentu dari kalangan kapitalis. Rujukan yang menonjol dari demokrasi adalah suara mayoritas dalam menentukan kebenaran. Allah SWT telah mengecam hal tersebut,

وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَا هُمْ

“Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zhalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikit lah mereka ini”. [QS. Shâd :24].

Dengan demikian demokrasi merupakan sistem kufur haram diambil dan diterapkan. Demokrasi tidak sama dengan Islam dan tidak ada hubungannya dengan Islam sama sekali, baik secara langsung maupun tidak langsung. Demokrasi sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Oleh karena itu, kaum Muslim diharamkan secara mutlak untuk mengambil, menerapkan dan menyebarluaskan demokrasi. Apalagi mengaitkan demokrasi dengan Islam. Waallahu a’lam.