Konsep Kebebasan Beragama dalam Islam

Oleh : Kholishoh Dzikri

Suaramubalighah.com, Ta’bir Afkar- Demokrasi adalah sistem kehidupan yang lahir dari akidah Sekularisme. Pemisahan agama dalam pengaturan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara menjadi suatu keharusan. Sebaliknya manusia diberi keistimewaan untuk membuat aturan sebagai perwujudan dari kedaulatan di tangan rakyat.

Demokrasi tidak bisa dilepaskan dari ide kebebasan (liberalisme). Sebab kebebasan merupakan prasyarat agar manusia dapat melaksanakan kedudukannya sebagai sumber kedaulatan. Dengan ide kebebasan,  mereka dapat melaksanakan kedaulatan dan hak dengan sebebas-bebasnya tanpa ada tekanan atau paksaan termasuk dari Tuhanya. Kebebasan ini tidak boleh dilanggar dan harus dijamin keberadaan dan pengekspresiannya. Akibatnya lahirlah peraturan dan kebijakan yang bersifat permisif.

Ada empat kebebasan yang sangat diagungkan dalam demokrasi yaitu pertama, kebebasan beragama (freedom of religion). Kedua, kebebasan kepemilikan (freedom of ownership). Ketiga, kebebasan berpendapat ( freedom of speech), keempat, kebebasan bertingkah laku (personal freedom). Ide kebebasan ini telah membawa bencana paling mengerikan yang menimpa seluruh umat manusia. Ide ini telah mengakibatkan berbagai malapetaka global serta memerosotkan harkat dan martabat masyarakat di negara-negara penganut demokrasi sampai ke derajat yang lebih hina daripada derajat segerombolan binatang.

Dalam demokrasi, seseorang bebas untuk beragama ataupun tidak beragama (atheis). Mereka juga bebas untuk berpindah-pindah agama (baca : murtad), bahkan siapa saja berhak membuat agama baru atau ajaran sesat yang mengatasnamakan Islam seperti Syiah dan Ahmadiyah.

Kebebasan beragama dalam sistem demokrasi menyuburkan tumbuhnya ajaran sesat dan toleransi yang tanpa batas. Tentu hal semacam ini adalah kebebasan yang kebablasan. Akidah atau agama menjadi sesuatu yang tidak prinsip sehingga seolah-olah menjadi permainan. Ini terjadi karena dalam demokrasi bahwa semua agama itu dianggap sama sehingga manusia tidak boleh dibeda-bedakan atas dasar agamanya.

Dengan pandangan yang rusak ini, mengakibatkan perilaku yang menyimpang bagi sebagian kaum muslim, misalnya wanita muslimah tidak merasa berdosa ketika menikah dengan laki-laki kafir. Sebagian umat Islam tidak canggung lagi mengucapkan selamat hari raya agama lain bahkan hadir dan merayakan di tempat ibadah mereka. Dan yang lebih parah lagi, sebagian kaum muslimin termasuk pemerintah melindungi ajaran sesat Syiah dan Ahmadiyah atas nama kebebasan beragama. Sebagaimana pernyataan menteri agama RI, Yaqut Cholil Qoumas yang akan mengafirmasi (mengakui) hak beragama warga Ahmadiyah dan Syiah. Padahal mayoritas masyarakat Muslim paham bahwa Ahmadiyah dan Syiah adalah ajaran sesat yang ditolak di hampir semua negara. Namun atas nama kebebasan beragama, kelompok sesat tersebut akan diberi perlindungan.

KEBEBASAN BERAGAMA HANYA UNTUK AHLU DZIMMAH

Demokrasi berbeda dengan Khilafah. Demokrasi memisahkan agama dari pengaturan kehidupan dunia, sebaliknya Khilafah adalah sistem pemerintahan yang menjadikan akidah Islam sebagai asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Syariat Islam menjadi hukum positif yang diberlakukan di seluruh wilayah kekuasaannya.

Khilafah tidak mengenal kebebasan sebagaimana yang diagungkan dalam demokrasi. Islam menetapkan bahwa setiap muslim wajib tunduk kepada ketentuan syariat. Sebagaimana hadis Nabi Muhammad SAW berikut,

لا يؤمنُ أحدُكم حتَّى يكونَ هواه تبعًا لما جئتُ به

“Tidak beriman seseorang sampai hawa nafsunya ia tundukkan demi mengikuti apa yang aku bawa” (HR. Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir)

Sebagai konsekuensi keimanan, seorang muslim wajib terikat terhadap seluruh Syariat Islam tanpa pilih dan pilah, baik dalam perkara akidah, ibadah mahzhah seperti shalat, zakat, puasa, haji, maupun hukum muamalah seperti ekonomi, pendidikan, sosial kemasyarakatan, pemerintahan, bahkan dalam urusan politik luar negari. Dalam hukum sanksi seperti hukum-hukum uqubat dan jinayat juga tidak boleh menyelisihi ketentuan Syariat Islam. Allah SWT telah memerintahkan setiap Muslim untuk masuk Islam secara kaffah sebagaimana ayat berikut,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةً ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu” (QS.al-Baqarah ; 208).

Setiap Muslim wajib mengikatkan diri dengan Syariat Islam secara kaffah karena Ia akan mempertanggungjawabkan semua amal perbuatannya di dunia kelak di akhirat. Allah SWT telah memberitahukan hal ini dalam firmanNya berikut,

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (QS. Al-isra; 36).

Jadi, jelas bahwa Islam tidak mengenal kebebasan, apalagi kebebasan beragama bagi seorang Muslim.

Adapun bagi warga negara non muslim, mereka tidak dipaksa untuk berpindah agama menjadi muslim. Allah SWT telah menetapkan hal demikian sebagaimana dalam ayat berikut,

لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam),  sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.” (QS. Al Baqarah: 256).

Warga negara non muslim atau disebut dengan ahlu dzimmah adalah setiap orang yang beragama bukan Islam dan menjadi rakyat negara Khilafah. Ibn Qayyim al-Jawziyah, menuliskan dalam kitab Ahkam Ahl adz Dzimmah bahwa ahl adz-dzimmah tidak boleh dipaksa meninggalkan agama mereka guna masuk Islam. Rasulullah saw. telah menulis surat untuk penduduk Yaman, “Siapa saja yang beragama Yahudi atau Nashara, dia tidak boleh dipaksa meninggalkannya, dan wajib atasnya jizyah. (HR Abu Ubaid). Hukum ini juga berlaku untuk kafir pada umumnya, yang non Yahudi dan non-Nashara. Dengan demikian, ahl adz-dzimmah dibebaskan menganut akidah mereka dan menjalankan ibadah menurut keyakinan mereka.

Hanya saja, karena mereka hidup di negara khilafah, yaitu negara yang berdasarkan akidah Islam, serta menjalankan syariat Islam, maka harus tunduk terhadap kebijakan khilafah yakni tidak boleh ada agama lain yang menonjol dan menunjukkan syiarnya, baik dari simbol maupun atribut yang nampak di permukaan. Karena Nabi Muhammad SAW menegaskan, “al-Islamu ya’lu wa la yu’la ‘alaihi” (Islam itu tinggi, dan tidak ada yang menandingi ketinggian Islam). Karena itu, di masa Khilafah Islam, warga non Muslim yang hidup di dalam wilayah Negara Khilafah menyadari betul posisi dan kedudukan mereka. Hal ini karena ketika hendak menjadi dzimmah (warga negara) mereka harus membuat pengajuan yang membuat khalifah berkenan menerima dzimmah mereka. Dari pengajuan permohonan tersebut sejak awal mereka sudah mengetahui dan menerima konsekuensi menjadi dzimmah yakni tidak boleh menampakkan syiar, simbol, maupun atribut agamanya. Ketika dalam perjalanannya menjadi dzimmah, mereka melakukan pelanggaran dengan menyebarkan, melakukan syiar, menampakkan simbol atau atribut agamanya, maka mereka akan mendapatkan sanksi tegas berupa dicabut hak kewarganegaraannya (dzimmah) dan diusir dari seluruh wilayah negara Khilafah.

Dari penjelasan tersebut, jelas bahwa kebebasan beragama dalam Khilafah hanya diberlakukan kepada ahlu dzimmah untuk tetap dalam agama asal mereka sebelum menjadi dzimmah, atau memilih masuk ke dalam agama Islam. Hanya sebatas dalam memilih agama dan menjalankan ibadah sesuai keyakinannya saja yang diberi kebebasan bagi ahlu dzimmah, selebihnya mereka tetap terikat dengan hukum yang diberlakukan di seluruh wilayah kekuasaan Khilafah Islamiyah.

KHILAFAH MELARANG TEGAS ALIRAN SESAT

 Seluruh bentuk aliran sesat yang mengatasnamakan Islam merupakan bentuk penodaan dan penghinaan terhadap agama Islam. Karena itu negara Khilafah tidak akan memberi ruang sedikitpun bagi tumbuh dan eksistensi aliran sesat seperti Syiah dan Ahmadiyah.

Khilafah akan menghentikan pelaku penistaan terhadap Islam dan penyebar aliran sesat sehingga mereka kembali pada kebenaran dan jera tidak akan melakukan lagi. Para ulama dan fuqaha sepakat bahwa hukuman bagi penghina Islam adalah hukuman mati jika dia tidak mau bertobat. Jika dia bertobat maka dia tak dihukum mati, tetapi tetap bisa dijatuhi sanksi sebagai ‘pelajaran’ sesuai dengan ketetapan Khalifah, dengan memperhatikan tingkat penghinaannya. Hukuman yang tegas itu akan bisa memberi efek jera kepada pelakunya dan akan mencegah orang lain untuk melakukan hal yang sama.

Penyimpangan terhadap ajaran Islam bisa menyebabkan pelakunya keluar dari Islam. Misalnya, dengan menolak kewajiban shalat lima waktu, puasa, haji, dsb; meyakini ada nabi setelah nabi Muhammad SAW,  meyakini masih ada wahyu setelah al-Quran dan sebagainya. Pelakunya – jika tidak mau bertobat kembali pada Islam dan meninggalkan keyakinan itu – dihukum mati. Rasul SAW. bersabda:

 “Siapa yang mengganti agamanya (murtad) maka bunuhlah”  (HR al-Bukhari, an-Nasai, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).

Ketegasan Khilafah dalam menyikapi aliran sesat secara pasti akan menjaga kemurnian Islam dan menjaga akidah umat dari segala bentuk penyimpangan, pendangkalan, kekaburan, serta penodaan.

Ini jelas berbeda dengan demokrasi yang justru menumbuhsuburkan aliran sesat atas nama kebebasan beragama.

Oleh karena itu sudah seharusnya umat Islam menjauhi Demokrasi dan mengganti dengan sistem Khilafah yang dengannya akidah Umat Islam akan terjaga dan kemurnian ajaran Islam tetap terpelihara. Wallahu a’lam bish-shawabi