Liberalisasi Berkedok Maqashid asy-Syari’ah

Oleh : Kholishoh Dzikri

Istilah maqâshid asy-syarî‘ah sering dilontarkan oleh para cendekiawan Muslim akhir-akhir ini untuk menjadi pijakan dalam menentukan status hukum tertentu. Istilah ini sebetulnya merupakan istilah lama yang digagas oleh Imam Asy-Syatibi, ulama ushul fiqh yang hidup pada abad ke -8 Hijriah yang kemudian kembali dipopulerkan. Yang menjadi persoalan istilah tersebut tidak hanya sekadar dipopulerkan kembali, tetapi juga diberi muatan makna baru yang berbeda sama sekali dengan apa yang dimaksud oleh Imam Asy-Syatibi.

Dalam kitabnya Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, Imam Asy-Syatibi mengatakan bahwa sesungguhnya syari’at itu ditetapkan tidak lain untuk kemaslahatan manusia (mashalih al-ibad) di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan dalam pandangan Asy-Syatibi, menjadi maqâshid asy-syarî‘ah (tujuan-tujuan syariat). Dengan kata lain, penetapan syariat—baik secara keseluruhan (jumlatan) maupun secara rinci (tafshilan)—didasarkan pada pada suatu ‘illat (motif penetapan hukum), yaitu mewujudkan kemaslahatan hamba (Asy-Syatibi, Al-Muwâfaqât, II/2-3).

Imam Asy-Syatibi membagi maqâshid menjadi tiga bagian, yaitu: dharûriyâthâjiyat, dan tahsînâtDharûriyât artinya harus ada demi kemaslahatan hamba, yang jika tidak ada, akan menimbulkan kerusakan. Dharûriyât  beliau jelaskan lebih rinci mencakup lima tujuan, yaitu : (1) menjaga agama (hifzh ad-dîn); (2) menjaga jiwa (hifzh an-nafs); (3) menjaga akal (hifzh al-‘aql); (4) menjaga keturunan (hifzh an-nasl); (5) menjaga harta (hizh al-mâl). Hâjiyât maksudnya sesuatu yang dibutuhkan untuk menghilangkan kesempitan, seperti rukhsah (keringanan) tidak berpuasa bagi orang sakit. Tahsînât artinya sesuatu yang diambil untuk kebaikan kehidupan dan menghindarkan keburukan, semisal akhlak yang mulia, menghilangkan najis, dan menutup aurat.

Namun dalam perkembangannya, kemaslahatan dalam konsep maqâshid asy-syarî‘ah menjadi sandaran yang digunakan untuk melegitimasi kebijakan sesuai kepentingan atau kemaslahatan pihak-pihak tertentu dan yang lebih memprihatinkan lagi konsep maqashid asy-syariah ini dibelokkan untuk mengemas ide-ide Barat sekular agar nampak sesuai syariat, Contoh, tujuan menjaga agama (hifzh ad-dîn) ditafsirkan sebagai “perlindungan terhadap kebebasan beragama. Tujuan menjaga akal (hifzh al-‘aql) dimaknai sebagai “perlindungan terhadap kebebasan berpikir. Jadi, konsep maqâshid asy-syarî‘ah telah dijadikan sekadar instrumen untuk menyusupkan ide-ide liberal ke dalam hukum Islam.

Maslahat: Hikmah Penerapan Syariat

Dalam Al-Qur’an surat al-Anbiya’ ayat 107, Allah SWT telah berfirman,

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ

“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam”.

Ayat ini tidak mengandung shighat ta‘lîl (bentuk kata yang menunjukkan ‘illat), misalnya dengan adanya lam ta’lîl, sehingga dipahami bahwa hasil (an-nâtijah) diutusnya Nabi Muhammad saw adalah akan menjadi rahmat bagi umat manusia. Artinya, adanya rahmat (maslahat) merupakan hasil pelaksanaan syariat, bukan ‘illat atau alasan/motif dari penetapan syariat. (Taqiyuddin An-Nabhani, Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, Juz III, halaman 359-366).

Pandangan Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani ini sejalan dengan pendapat ulama Asy‘ariyah dan Azh-Zhahiriyah. Yaitu menolak bahwa syariat didasarkan pada ‘illat maslahat. Dengan ungkapan lain, maslahat bukanlah ‘illat (motif/alasan) penetapan suatu hukum syariat. Pandangan ini berbeda dengan pandangan Imam Asy-Syatibi yang meletakkan posisi maslahat sebagai ‘illat hukum atau alasan pensyariatan hukum Islam.

Menjadikan maslahat sebagai alasan (‘illat) penetapan syariat akan berdampak pada syariat (hukum) berubah-ubah sesuai kemaslahatan atau kepentingan yang ingin diraih manusia. Dengan kata lain manusia sebagai penentu ada atau tidak adanya syariat. Pemahaman ini tentu bertentangan dengan nash yang qathi bahwa hak pembuat hukum (syariat) hanya Allah SWT.

Fakta ketika maslahat dijadikan sebagai alasan penetapan hukum maka lahir hukum baru yang bertentangan dengan syariat Islam seperti wakaf uang tunai untuk pembangunan infrastruktur, investasi industri miras, doa bersama antar umat beragama, menghalalkan riba dengan sebutan bunga bank, vaksin mengandung babi dihukumi mubah padahal syariat memakruhkannya, shalat jum’at virtual, tuntutan kesetaraan gender padahal Islam menetapkan ada posisi dimana perempuan tidak boleh disamakan dengan laki-laki, khilafah ajaran Islam yang mulia dituding sebagai ajaran sesat yang membahayakan, dan masih banyak lagi hukum-hukum baru yang ditetapkan dengan alasan untuk mendapatkan kemaslahatan padahal sejatinya bertentangan dengan syariat Islam yang sesungguhnya.

Oleh sebab itu menjadikan maslahat sebagai alasan (‘illat) penetapan hukum sangat berbahaya karena hukum akan berubah yang halal menjadi haram atau sebaliknya yang haram menjadi halal hanya karena dalam pandangan akal manusia ada kemanfaatan yang hendak diraih.

Jadi disimpulkan bahwa maslahat bukanlah alasan atau motif (‘illat) penetapan syariat bahkan tidak boleh dijadikan alasan (‘illat) dalam menetapkan hukum. Namun ia adalah hasil (aqibah) atau hikmah dari penerapan syariat Islam.

Maqâshid asy-Syarî‘ah : Tujuan Syariat Keseluruhan

Maqâshid asy-syarî‘ah ( mewujudkan kemaslahatan) merupakan hasil dari penerapan Syariat Islam secara keseluruhan bukan hasil penerapan dari masing-masing hukum (li kulli hukmin bi ‘aynihi).

Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, Juz III, halaman 359-366, menjelaskan ketika Asy-Syâri‘ yakni Allah SWT menerangkan maqâshid asy-syarî‘ah  dari syariah sebagai keseluruhan, Dia juga menerangkan tujuan dari masing-masing hukum yang bersifat khusus, yang hanya bisa diketahui melalui dalil dari topik yang bersangkutan. Misalnya, tujuan pensyariatan haji adalah agar manusia menyaksikan manfaat-manfaat bagi mereka (QS al-Hajj: 28), tujuan pengharaman khamr dan judi adalah agar tidak terjadi permusuhan dan kebencian antar manusia (QS al-Maidah : 91), tujuan shalat adalah mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar (QS al-Ankabut : 45), dan seterusnya. Dari sini, jelas bahwa dihasilkannya rahmat (maslahat) hanya dihasilkan dari syariat aIslam secara keseluruhan, bukan dari satu demi satu hukum. Dengan kata lain, tidak tepat dikatakan bahwa tujuan setiap nash syariat adalah mencapai kemaslahatan, karena kadang nash-nash syariat menjelaskan tujuan (hikmah)-nya secara khusus, seperti telah dicontohkan di atas. Jika kita mengatakan bahwa tujuan setiap hukum (satu-persatu) adalah untuk memperoleh maslahat, maka ini hanya ditunjukkan oleh dalil aqli, bukan oleh dalil syara’. Padahal, berbicara tentang hukum syariat haruslah didasarkan pada dalil syara’, bukan dalil aqli.

Hikmah Tidak Selalu Terwujud

Hikmah (akibat) penerapan syariat kadang terwujud dan dirasakan kadang tidak terwujud dan tidak dirasakan. Ketika Allah SWT menerangkan bahwa tujuan pensyariatan suatu hukum adalah begini, maksudnya Allah SWT memberitahukan bahwa hikmahnya begini. Tidak berarti Allah SWT mengatakan tujuannya pasti  terwujud begini. Misalnya, menyaksikan manfaat adalah hikmah ibadah haji yang dijelaskan dalam Al-Qur’an suart al-Hajj : 28 berikut ini ;

لِّيَشْهَدُوا۟ مَنَٰفِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا۟ ٱسْمَ ٱللَّهِ فِىٓ أَيَّامٍ مَّعْلُومَٰتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّنۢ بَهِيمَةِ ٱلْأَنْعَٰمِ ۖ فَكُلُوا۟ مِنْهَا وَأَطْعِمُوا۟ ٱلْبَآئِسَ ٱلْفَقِيرَ

“Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan agar mere-ka menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan atas rezeki yang diberikan Dia kepada mereka berupa hewan ternak. Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir”

Namun kenyataannya, jutaan orang berhaji tidak menyaksikan manfaat bagi mereka.

Mengenai khamr dan judi, Allah SWT menerangkan keduanya dapat memunculkan kebencian dan permusuhan di antara manusia sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah : 91.

إِنَّمَا يُرِيدُ ٱلشَّيْطَٰنُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ ٱلْعَدَٰوَةَ وَٱلْبَغْضَآءَ فِى ٱلْخَمْرِ وَٱلْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ ٱللَّهِ وَعَنِ ٱلصَّلَوٰةِ ۖ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ

“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”.

Namun faktanya, banyak peminum khamr dan para penjudi rukun-rukun saja, tidak ada permusuhan dan kebencian di antara mereka.

Hikmah-hikmah (tujuan) ini tidak boleh dijadikan sebagai‘illat. Sebab  jika dijadikan ‘illat, maka kewajiban haji akan bergantung pada ada-tidaknya manfaat yang diperoleh jamaah haji. Jika ada manfaatnya, haji hukumnya wajib, dan jika tak ada manfaatnya, haji menjadi tidak wajib. Keharaman khamr dan judi juga akan bergantung pada ada-tidaknya permusuhan dan kebencian di antara pelakunya. Jika ada permusuhan maka khamr dan judi haram, jika harmonis dan rukun-rukun saja maka khamr dan judi menjadi mubah. Tentu ini tidak benar.

Atas dasar itu, semakin menegaskan, bahwa maqâshid asy-syarî‘ah (tujuan syariat) sesungguhnya bukanlah ‘illat atau motif pensyariatan hukum, melainkan hikmah atau hasil (natijah) dari penerapan hukum.

Hikmah Hanya Diketahui Secara Syar‘î   

Hikmah dari penerapan syariat hanya diketahui berdasarkan nash syariat, bukan berdasarkan akal. Sebab, yang menetapkan syariat adalah Allah SWT sehingga hanya Allah SWT saja yang mengetahui tujuan pensyariatannya. Tidaklah mungkin bagi kita, baik secara aqli maupun syar‘î, dapat mengetahui hikmah (tujuan) suatu hukum, kecuali ada nash yang menunjukkannya, baik dari al-Quran maupun as-Sunnah

Jadi, tepat jika kita mengatakan bahwa hikmah puasa adalah untuk membentuk ketakwaan, sebab ini ditunjukkan oleh nash yaitu QS al-Baqarah : 183.  Namun tidak tepat jika dikatakan, hikmah puasa adalah agar kita bisa turut menghayati kehidupan kaum miskin yang sering kelaparan, karena ini hanya perkiraan akal, tidak ada nash yang menunjukkannya.

Kesimpulan

Jadi, tidaklah benar apa yang dikatakan sebagai kaidah fiqh: Aynama takûnu al-maslahah fa tsamma syar‘ullâh (Dimana ada maslahat, disana ada hukum Allah). Kaidah ini, di samping sangat lemah dalilnya, juga berbahaya ketika diterapkan pada masyarakat kapitalistik saat ini yang didominasi paham pragmatisme, yang menjadikan manfaat sebagai standar untuk mengukur salah benarnya perbuatan. Sehingga bunga bank yang sebenarnya termasuk riba yang diharamkan, lalu dianggap mubah hanya karena ada maslahat. Khilafah sebagai kewajiban syar’i karena dianggap membahayakan eksistensi negara demokrasi kemudian dianggap sebagai ajaran radikal yang tidak berdalil.

Maqâshid asy-syarî‘ah (kemaslahatan) haruslah secara disiplin diketahui berdasarkan nash, bukan dari rekayasa akal, apalagi melalui manipulasi akal. Jadi, ketika dikatakan bahwa ‘menjaga agama’ maksudnya adalah ‘menjaga kebebasan beragama’, atau ‘menjaga akal’ artinya ‘menjaga kebebasan berpikir’, jelas ini kesimpulan akal-akalan; tidak ada nilainya dalam pandangan syariat. Di samping itu, pemaknaan tersebut sebenarnya adalah penafsiran sesuka hati tanpa landasan syar’i dan metodologi ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Itu hanya fantasi intelektual murahan, yang dilakukan oleh orang yang tidak malu untuk melakukan kedustaan dan manipulasi kebenaran.

Menjadikan maslahat sebagai alasan ( ‘illat ) penetapan hukum  dengan dalih sesuai dengan maqâshid asy-syarî‘ah  pada akhirnya akan mengantarkan pada liberalisasi dan sekularisasi dikarenakan telah menjauhkan dari syariat yang benar sesuai dengan ketetapan nash-nash syar’i.  Wa’Allahu a’lam bi shawab.