Oleh : Kholishoh Dzikri
Suaramubalighah.com, Opini – Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menjadi sorotan publik karena mengucapkan selamat hari raya Naw-Ruz 178 EB ke komunitas Baha’i. Tindakan Menag ini didukung oleh koalisi Advokasi untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang terdiri dari YLBHI, Paritas Institute, LBH Jakarta, Yayasan Inklusif, HRWG, CRCS UGM, Ulil Abshar Abdalla, dan Ahmad Suaedy. Koalisi ini berharap pemerintah dapat melindungi dan memenuhi hak-hak kelompok minoritas sebagai warga negara yang sama. Diantara dukungan mereka adalah pernyataan berikut, “Saya sedikit optimis moderasi agama yang sedang digadang-gadang oleh Kementerian Agama semoga tidak jadi slogan kosong dengan munculnya pernyataan dari Kementerian Agama ini” kata peneliti dari Paritas Institute, Penrad Siagian, dalam konferensi virtual bertema ‘Perlindungan dan Pengakuan Negara terhadap Agama dan Keyakinan’, Jumat (30/7/2021).
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati juga menunjukkan dukungannya dengan menjelaskan bahwa semua penganut agama di Indonesia mendapat pengakuan dan jaminan perlindungan yang sama. Ia melandaskan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU PNPS) dijelaskan bahwa agama atau kepercayaan lain selain yang disebut dalam Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945 juga mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan dari negara.
Masih banyak dukungan-dukungan lain yang menguatkan pandangan Menag dengan dalih kebebasan beragama, toleransi, dan moderasi beragama.
MODERASI BERAGAMA MELEGITIMASI KEBEBASAN BERAGAMA
Pengarusutamaan moderasi beragama dengan jargon menghilangkan intoleransi dan kekerasan akan melegitimasi segala bentuk aliran-aliran baru dalam beragama.
Moderasi beragama, dinilai sebagai program untuk mengurangi kekerasan, atau menghindari keesktreman dalam cara pandang, sikap, dan praktik beragama. Moderasi beragama juga dianggap menjadi solusi untuk menciptakan kerukunan, harmoni sosial, sekaligus menjaga kebebasan dalam menjalankan kehidupan beragama, menghargai keragaman tafsir dan perbedaan pandangan, serta tidak terjebak pada ekstremisme, intoleransi, dan kekerasan atas nama agama.
Paham moderasi beragama ini sejalan dengan sistem Demokrasi yang lahir dari sekularisme yang telah melahirkan kebebasan beragama. Dalam demokrasi, agama dan keparcayaan apapun harus diberi ruang untuk berkembang dan mendapat perlindungan, penganutnya pun berhak mengekspresikan keyakinannya. Pelarangan terhadap kemunculan agama dan kepercayaan serta pengekspresiannya dianggap melanggar HAM.
Ucapan selamat hari raya dari Menag kepada penganut Baha’I adalah konsekuensi dari kebebasan beragama dalam sistem Demokrasi.
Kebebasan beragama dalam sistem demokrasi tidak hanya mengakui dan memberikan perlindungan kepada Baha’i saja bahkan banyak agama dan aliran-aliran sesat dibiarkan tumbuh dan berkembang tanpa ada larangan. Bahkan tak segan membuat aturan perundangan untuk melegalkan agar mendapat pengakuan dan perlindungan. Dan yang lebih parah dilegitimasi atas nama Moderasi.
Karena itu menjadi hal yang tidak aneh jika agama dan aliran yang sudah nyata-nyata sesat pun mendapat apresiasi dari negara.
BAHA’I ADALAH ALIRAN SESAT.
Sekte Baha’iyyah (atau Baabiyyah) berasal dari Iran dan didirikan oleh Mirza Husain Ali Al Mazindani (atau Baha’uddin) pada Kamis 23 Maret 1844 M. Sekte Baha’i ini masuk Indonesia tahun 1878 dengan jumlah pengikut sekitar 5000 orang dan difatwakan sebagai sesat oleh MUI Jawa Barat pada 2014 dengan alasan antara lain karena memiliki ritual yang mirip dengan ajaran Islam, seperti shalat dan puasa.
Secara akidah, Baha’uddin mengaku sebagai rasul, mengaku bahwa karya-karya tulisnya adalah wahyu dari Allah dan mengajak manusia semua untuk beriman kepada risalah yang diembannya.
Sekte ini mengingkari bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam adalah penutup para Rasul. Sekte ini juga mengatakan bahwa kitab-kitab yang diturunkan padanya menghapus (menasakh) Al-Qur’an yang mulia. Sekte ini juga berpendapat tentang keyakinan reinkarnasi (tanasukh al arwah).
Dari sisi syariah, sekte ini banyak mengubah dan menggugurkan hukum-hukum fiqh Islam, diantaranya mengubah jumlah bilangan sholat wajib dan waktunya, sholat dilaksanakan sebanyak sembilan rakaat (sehari) dan dilaksanakan masing-masing tiga rakaat yakni pada waktu pagi, sore, dan tergelincirnya matahari. Jumlah hari dalam puasa hanya 19 hari. Mengubah arah kiblat dari Makkah ke Akka (Palestina). Mengharamkan jihad. Menggugurkan hukuman hudud. Dan menyamakan antara pria dan wanita dalam hukum waris serta menghalalkan riba.
Secara politik, hubungan Baha’i dengan Zionis Yahudi sangat kuat. Mereka mendapat bantuan-bantuan Zionis Yahudi untuk mengembangkan agamanya, terutama berkaitan dengan kepentingan penjajahan Yahudi terhadap Palestina.
Baha’i juga memiliki hubungan baik dengan Inggris ketika menjajah Iran. Inggris memanfaatkan mereka untuk memecah belah kaum muslimin, seperti yang dilakukan Inggris di India dengan mendirikan agama boneka Ahmadiyah.
Berdasarkan akidah, ajaran, dan politik banyak ulama yang memberikan fatwa sesat terhadap sekte Baha’i. Salah satunya adalah fatwa Imam Taqiyyudin An Nabhani. Beliau menuturkan status Baha’i adalah agama di luar Islam, yaitu orang-orang penganut Baha’i adalah kaum kafir, bukan muslim.
Jadi jelas bahwa Baha’i adalah aliran sesat yang bertentangan dengan agama Islam yang shahih.
HARAM MENGUCAPKAN SELAMAT HARI RAYA AGAMA LAIN
Telah nyata bahwa Baha’i adalah aliran sesat baik dari sisi akidah maupun syariat. Karena itu seorang muslim yang mengucapkan selamat hari raya agama Baha’i kepada kelompok Baha’i, hukumnya dirinci sebagai berikut,
Pertama, jika seorang muslim mengucapkan selamat disertai pengakuan (iqrar) terhadap ajaran-ajaran Baha’i, maka orang tersebut dihukumi sudah murtad, yaitu sudah keluar dari agama Islam.
Kedua, jika seorang muslim mengucapkan selamat namun tidak disertai pengakuan (iqrar) terhadap ajaran-ajaran Baha’i, maka tidak dihukumi murtad, namun tetap dihukumi melakukan keharaman dan dosa besar.
Memberikan ucapan selamat kepada orang-orang kafir berkaitan dengan perayaan keagamaan mereka hukumnya haram. Ibnul-Qayyim rahimahullah, dalam kitabnya, Ahkâmu Ahli Dzimmah mengatakan: “Mengucapkan selamat dengan syiar-syiar orang kafir yang merupakan kekhususan mereka, hukumnya ialah haram menurut kesepakatan para ulama. Seperti memberikan ucapan selamat kepada mereka berkaitan dengan hari raya mereka, ibadah mereka, dengan mengucapkan “selamat berhari raya”, atau yang sejenisnya. Perbuatan seperti ini, kalaupun si pelaku selamat dari kekufuran, namun ia telah melakukan sesuatu yang diharamkan”.
Karena Allah Azza wa Jalla tidak meridhai kekufuran. Allah Azza wa Jalla berfirman:
إِن تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنكُمْ ۖ وَلَا يَرْضَىٰ لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ ۖ وَإِن تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ
“Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu“.[QS. Az-Zumar/39 : 7].
Dalam ayat yang lain, Allah Azza wa Jalla telah berfirman,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu“.[QS. Al-Mâ`idah/5 : 3].
Dari sini jelas bahwa pengakuan, perlindungan, dan pemberian ucapan selamat kepada aliran sesat Baha’i adalah kekeliruan yang membahayakan akidah umat. Namun sayang, kekeliruan dan kesalahan ini menjadi sah bahkan dilegitimasi atas nama kebebasan beragama, perlindungan hak asasi manusia, dan toleransi dalam jargon moderasi beragama yang pada hakekatnya hanyalah mengokohkan kekufuran sistem demokrasi. Wa’Allahu a’lam.