Fakta Sejarah Bukan Sumber Hukum (Menjawab Narasi “Khilafah Tidak Mungkin Tegak Kembali”)

Oleh : Kholishoh Dzikri

 Suaramubalighah.com,Takbir Afkar – Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Syafiq Mughni menjawab pertanyaan, “mungkinkah khilafah akan kembali bangkit?” yang disampaikan seorang jama’ah dalam pengajian Tarjih edisi ke-135, “Kita melihat secara rasional berdasarkan pengalaman sejarah, perhitungan potensi dan tantangan yang dihadapi, saya cenderung berpendapat bahwa Khilafah Islamiyah seperti apa yang terjadi pada zaman Khulafaur Rasyidin atau Abbasiyah, tidak akan terwujud dalam dunia sekarang ini,” ungkap Prof. Syafiq Mughni pada Rabu (12/08)

Dari pernyataan tersebut sang profesor telah menjadikan fakta sejarah untuk menghukumi bahwa khilafah tidak mungkin tegak kembali dan bahkan membangkitkan kembali tegaknya khilafah merupakan sesuatu yang tidak visibel.

Prof. Syafiq Mughni tidak menyandarkan pernyataannya tersebut  kepada nash-nash syara’ sedikitpun, padahal khilafah adalah ajaran Islam yang dibangun berdasarkan dalil-dalil syara’ yang rajih. Al-Qur’an dan as-Sunah telah menetapkan kewajibannya bahkan semua ulama ahlu sunah wal jama’ah pun telah menyepakati kewajibannya.

Di dalam Al-Qur’an, Allah Subhanaallahu Wa Ta’ala  telah berfirman:

وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ ِانِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً ۗ

 Dan Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sungguh Aku akan menjadikan di muka bumi Khalifah…” [QS al-Baqarah [2]: 30].

Imam al-Qurthubi, ahli tafsir menjelaskan, “Ayat ini merupakan hukum asal tentang wajibnya mengangkat khalifah.” Bahkan, dia kemudian menegaskan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban (mengangkat khalifah) ini di kalangan umat dan para imam mazhab, kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-‘Asham (yang tuli tentang syariah) dan siapa saja yang berpendapat dengan pendapatnya serta mengikuti pendapat dan mazhabnya.” [Lihat, Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz I/264].

Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam juga telah menegaskan tentang kewajiban menegakkan khilafah pasca wafatnya Beliau.  Di antaranya hadis berikut,

“Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada imam/khalifah), maka ia mati jahiliah.” [HR Muslim].

Berdasarkan hadis di atas, menurut Syeikh ad-Dumaiji, mengangkat seorang imam (khalifah) hukumnya wajib [Lihat, Ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hal. 49].

Ulama ahlu sunnah pun sepakat mengangkat seorang khalifah adalah kewajiban.  Imam an Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (12/205) menuliskan bahwa “Dan mereka (kaum muslimin) sepakat bahwa sesungguhnya wajib bagi kaum muslimin mengangkat Khalifah, dan kewajiban (mengangkat khalifah ini) ditetapkan dengan syara’ bukan dengan akal”.

Bahkan Ibnu Hajar Al Haytami Al Makki Asy Syafi’I, dalam kitabnya, as Shawâiq al Muhriqah juz 1 hal 25 menyebut bahwa penegakan khilafah adalah kewajiban terpenting, “ketahuilah juga bahwa sesungguhnya para shahabat r.a telah ber ijma’ (sepakat) bahwa mengangkat imam (khalifah) setelah zaman kenabian adalah kewajiban, bahkan mereka menjadikannya sebagai kewajiban yang terpenting”.

Dan masih banyak lagi penegasan dari ulama-ulama ahlu sunah yang muktabar bahwa khilafah adalah kewajiban yang harus ditegakkan.

Dari sini diketahui dengan jelas bahwa pernyataan Prof. Syafiq tidak bisa diterima karena telah menyelisihi kewajiban menegakkan kembali khilafah yang ditetapkan nash syar’i

FAKTA SEJARAH BUKAN SUMBER HUKUM

Sumber hukum (mashadir al-ahkam), oleh ulama ushul fikih kadang juga disebut dalil hukum (adillatu al-ahkam) dan akar hukum (ushul al-ahkam), yaitu sumber yang dijadikan dasar untuk menarik kesimpulan hukum (istidlal) maupun menggali hukum (istinbat).

Para ulama ushul membagi sumber hukum tersebut menjadi dua yaitu dalil syar’i (al-adillah as-syar’iyyah) dan apa yang diduga sebagai dalil, padahal bukan dalil (ma dzanna annahu dalil, wa laysa bi dalil). Suatu yang layak disebut sumber hukum kehujjahannya harus dinyatakan oleh dalil qath’i, dan bukan dalil dzanni. Dalam hal ini, Asy-Syathibi menyatakan, “Dalil-dalil yang dijadikan sandaran dalam ilmu ini (ushul fikih) tidak boleh tidak, kecuali harus qath’i. Karena itu yang layak disebut sebagai sumber hukum hanyalah Alquran, Sunah, Ijma’ Sahabat, dan Qiyas. Adapun yang lain tidak layak dijadikan sebagai dalil, meski tetap bisa disebut sebagai syubhat dalil. Karenanya, hukum yang ditarik atau digali darinya tetap layak disebut sebagai ra’y[un] islami, atau hukum syar’i bagi orang yang menarik dan menggali hukum dari syubhat dalil tersebut.

Adapun menjadikan fakta atau akal manusia menjadi sumber hukum dalam menghukumi sesuatu maka mazhab Ahlussunnah, dan jumhur ulama kaum Muslim menyatakan bahwa tidak oleh menjadikan fakta atau akal manusia sebagai sumber hukum.  Satu-satunya yang harus dijadikan pemutus adalah syariah.  (Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Dâr al-Ummah, Beirut, cet. V, 1424 H/2003 M, Juz II/23).

MENYIKAPI FAKTA SEJARAH KHILAFAH

Menilai sistem Khilafah tidak bisa merujuk pada sejarah, tetapi harus dilihat dari hukum yang diterapkan di era Khilafah dan keamanan tetap di tangan Kaum Muslimin. Karena itu untuk menilai sistem ini bisa dilihat dari kitab-kitab fikih yang ditulis oleh para ulama pada zaman itu. Inilah satu-satunya dokumen politik yang otentik untuk menjelaskan sistem Khilafah. Memang di dalam kajian fikih itu ada banyak perbedaan, tetapi semuanya mencerminkan kekayaan khazanah intelektual di era itu.

Sebagai contoh, menilai Khilafah ‘Abbasiyah tidak bisa dilihat dari berbagai catatan sejarah pada zamannya. Apalagi dengan membaca sejarah terjadinya berbagai fitnah dan musibah pada zamannya. Ini sebagaimana diceritakan oleh Imam as-Suyuthi, dalam Târîkh al-Khulafâ’ cet. I, 1408 H/1988 M, hal. 422; , mulai dari Fitnah 100 tahun kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam, ketujuh dan kedelapan.

Menilai sIstem Khilafah harus dilihat dari kitab fikih pada zaman itu, misalnya, Al-Ahkâm as-Suthâniyyah, baik karya al-Mawardi (w. 450 H) maupun al-Farra’ (w. 458 H); atau kitab Ar-Raudhah maupun Al-Majmû’, karya Imam an-Nawawi (w. 676 H).

Begitu juga menilai Khilafah ‘Ustmaniyyah harus merujuk pada kitab fiqh yang ditulis pada zamannya, seperti Multaqa al-Abhur, karya Imam Ibrahim bin Muhammad bin Ibrahim al-Halabi (w. 956 H). Bukan merujuk pada kitab sejarah. Apalagi sejarah yang ditulis kaum Kafir Orientalis.

Adapun mengenai fakta getirnya khilafah pada sebagian masa berupa beberapa kasus kesalahan dan penyimpangan dalam menerapkan sistem Khilafah, lebih tepat disebut isâ’ah fi tathbîq (kesalahan implementasi). Karena faktor ketidakmaksuman manusia atau human error. Karena itu kesalahan dalam melaksanakan baiat, seperti mewariskan kekuasaan kepada anak, saudara atau keluarga, sejak zaman Bani Umayyah, ‘Abbasiyah hingga ‘Utsmaniyah, bisa dimasukkan dalam konteks isâ’ah fi tathbîq. Demikian juga kesalahan-kesalahan lain. Itu semua bukan karena kesalahan sistem, tetapi kesalahan manusia dalam melaksanakan sistem.

Demikian juga munculnya kesultanan atau dinasti di beberapa wilayah Khilafah di era ‘Abbasiyah, akibat dari lemahnya kepemimpinan Khalifah, dan kesalahan kebijakan dalam pengelolaan harta dan militer, sehingga menjadikan beberapa wilayah itu seolah-olah menjadi negara-negera merdeka, atau federasi. Ini juga bisa disebut isâ’ah fi tathbîq. Karena itu dalam catatan Imam as-Suyuthi, dalam Târîkh al-Khulafâ’, beberapa kesultanan dan wilayah itu tidak penah diakui sebagai Khalifah dan Khilafah.

Sejarah Khilafah dan Khalifah merupakan bagian dari informasi politik, yang pernah terjadi pada masa lalu. Ada bagian dari kebijakan yang bisa digunakan sebagai rujukan dan pedoman, tetapi ada juga yang tidak. Misalnya, kebijakan Khulafaur Rasyidin, dengan Khilafah Rasyidahnya. Ini merupakan informasi politik yang sangat penting. Sebab di sana ada Ijma’ Sahabat yang merupakan sumber hukum. Selain itu juga ada Mazhab Sahabat, yang oleh sebagian fuqaha’ dijadikan sebagai sumber hukum.

Sebagai contoh, apa yang ditulis oleh Abu ‘Ubaid dalam kitabnya, Al-Amwâl, maupun Abu Yusuf dalam kitabnya, Al-Kharâj. Keduanya merupakan referensi penting, khususnya terkait dengan kebijakan tata kelola ekonomi. Termasuk status tanah, baik Kharâj maupun ‘Usyûr, maupun yang lain. Kedua kitab ini merupakan kitab fikih meski lebih pada tatakelola negara dalam bidang ekonomi makro.

Adapun sejarah yang lain cukup dijadikan sebagai informasi biasa. Kedudukannya tidak bisa dijadikan sebagai referensi hukum. Apalagi dalil yang digunakan untuk membuat kebijakan.  Terlebih sejarah yang ditulis oleh orang liberal murid kaum kafir orientalis yang di hatinya diliputi kebencian terhadap Islam disamping tidak memiliki kredibilitas, kejujuran, dan integritas. Oleh karena itu mereka tidak layak dijadikan sebagai rujukan. Terlebih rujukan dalam menentukan wajib tidaknya sistem Khilafah dan kepastian tegaknya kembali sistem Khilafah Islamiyah.

KHILAFAH PASTI TEGAK KEMBALI

Khilafah Islamiyah dengan izin Allah Subhanaallahu Wa Ta’ala pasti tegak kembali. Peradaban emas sebagaimana dulu pernah memimpin dunia pasti akan kembali menggantikan peradaban kapitalis sekular yang kian bobrok dan gagal menata dunia. Keyakinan akan bangkitnya kembali peradaban yang dipimpin oleh kekuatan Khilafah dibangun atas keyakinan dan keniscayaan perubahan peradaban.

Secara  i’tiqâdî  (keyakinan),  seorang Muslim wajib meyakini kembalinya Khilafah. Sebab Khilafah adalah janji Allah Subhanaallahu Wa Ta’ala dan kabar gembira (busyra) dari Rasulullah Shalaallahu Alaihi Wasallam. Dipertanyakan keimanannya jika ragu atau bahkan tidak percaya akan hal ini apalagi jika dengan lantang mengatakan bahwa Khilafah tidak mungkin tegak kembali. Allah Subhanaallahu Wa Ta’ala berfirman:

وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ لَيَسۡتَخۡلِفَنَّهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ كَمَا ٱسۡتَخۡلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمۡ دِينَهُمُ ٱلَّذِي ٱرۡتَضَىٰ لَهُمۡ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّنۢ بَعۡدِ خَوۡفِهِمۡ أَمۡنٗاۚ يَعۡبُدُونَنِي لَا يُشۡرِكُونَ بِي شَيۡ‍ٔٗاۚ وَمَن كَفَرَ بَعۡدَ ذَٰلِكَ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ ٥٥

Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal salih di antara kalian, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa; akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai untuk mereka; juga akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan, menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan apapun dengan-Ku. Siapa saja yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, mereka itulah orang-orang fasik (QS an-Nur  [24]: 55).

Rasulullah Shalaallahu Alaihi Wasallam Pun telah mengabarkan bahwa dunia ini akan kembali pada fase Kekhilafahan di atas manhaj kenabiansetelah fase mulkan jabriyyan (kekuasaan diktator) seperti pada saat ini,

ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ نُبُوَّةٌ

”Kemudian akan datang masa Khilafah ‘ala minhâj an-nubuwwah…” (HR. Ahmad).

Kepastian akan tegaknya kembali Khilafah Islamiyah atas manhaj kenabian berupa nash-nash yang qath’i. Siapa saja yang mengingkarinya dan menyatakan Khilafah tidak mungkin tegak kembali maka dia akan merugi. Waallahu A’lam