Childfree, Paham Merugikan Lahir dari Sekularisme

Oleh : Kholishoh Dzikri

Suaramubalighah.com, Takbir Afkar – Childfree adalah sebuah keputusan atau pilihan hidup untuk tidak memiliki anak, baik itu anak kandung, anak tiri, ataupun anak angkat bukan karena tidak mampu memiliki anak karena faktor kesehatan, dll. Penggunaan istilah Childfree untuk menyebut orang-orang yang memilih untuk tidak memiliki anak ini mulai muncul di akhir abad 20.

St.Augustine (seorang filsuf dan teolog Kristen) percaya bahwa membuat anak adalah suatu sikap tidak bermoral, dan dengan demikian (sesuai sistem kepercayaannya) menjebak jiwa-jiwa dalam tubuh yang tidak kekal. Untuk mencegahnya, mereka mempraktikkan penggunaan kontrasepsi dengan sistem kalender. (Saint, Bishop of Hippo Augustine (1887). St. Augustine dikenal sebagai pengikut kepercayaan Maniisme (Maniisme adalah salah satu aliran keagamaan yang bercirikan Gnostik atau Gnostisisme.

Gnotisisme adalah gerakan keagamaan yang mencampurkan berbagai ajaran agama yang mengajarkan bahwa manusia pada dasarnya adalah jiwa yang terperangkap di dalam alam semesta yang diciptakan oleh Tuhan yang tidak sempurna.

Corinne Maier, salah satu pendukung paham Childfree yang juga seorang penulis asal Perancis dalam bukunya “No Kids: 40 Reasons For Not Having Children” mengutip beragam alasan untuk tidak memiliki anak, di antaranya; masalah finansial, ketakutan aktivitas seksual akan berkurang, ketakutan akan perubahan fisik akibat kehamilan, orientasi karir, dll.

Dilihat dari pencetus dan para pendukung paham childfree, terlihat bahwa ajaran ini tidak lahir dari akidah Islam melainkan lahir dari akidah yang salah, sesat dan menyesatkan.

CHILDFREE, LAHIR DARI SEKULARISME

Penggiat child free atau pasangan yang memilih cara hidup bebas anak mengungkapkan fakta bahwa mereka tidak ingin terikat dengan tugas dan tanggung jawab membesarkan keluarga. Memiliki anak berarti menunda karier, perjalanan, hobi, eksplorasi, dan pengalaman hidup lainnya yang ingin dicari, dan tidak ingin mengalami kerepotan dan kelelahan karena merawat anak seperti mengganti popok dan mengantar anak.  Mereka tidak ingin bangun di tengah malam untuk memberi makan dan merawat bayi. Mereka tidak mau harus tinggal di rumah ketika anak mereka sakit pilek. Mereka tidak ingin menghabiskan uang untuk perawatan anak dan biaya sekolah. Bahkan, mereka berpendapat bahwa tidak ada gunanya memiliki anak jika tidak berada di rumah untuk membesarkan mereka karena harus bekerja dan kesibukan lainnya.

.Salah satu faktor terbesar untuk tidak memiliki anak adalah gerakan pembebasan perempuan. Mereka menolak apa yang mereka lihat sebagai stereotip (penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi) idi masyarakat tentang bagaimana gender seharusnya hidup seperti perempuan dipersiapkan untuk hamil dan melahirkan dan laki-laki diharapkan menjadi ayah dan membesarkan anak-anak dengan istri mereka.

Pasangan hidup dengan childfree menginginkan menjalani kehidupan yang bahagia dan produktif dan juga bebas untuk menikmati semua hal yang ditawarkan kehidupan. Mereka berpandangan anak adalah beban dan penghalang untuk menikmati hidup sesuai apa yang mereka inginkan.

Bahagia dalam pandangan mereka adalah teraihnya kenikmatan dunia. Ketika kehadiran anak akan menghalangi kenikmatan hidup, maka kehadirannya tidak diperlukan. Anak dalam pandangan mereka bukan ladang amal yang bisa mengalirkan pahala di akhirat kelak.

Cara pandang ini lahir dari paham sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan dunia. Tentu pandangan ini salah dan tidak patut dianut oleh seorang muslim.

CHILDFREE MENGUNTUNGKAN KAPITALISME

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan, peran seorang ibu tak hanya berhenti pada pengabdiannya bagi keluarga. Namun memiliki peran yang lebih luas lagi salah satunya dapat menggerakkan perekonomian.

Para ibu bisa menjadi obor penerang, tali pengikat, dan mesin yang terus menyala untuk menggerakkan seluruh niat baik ekonomi dan menjaga kehidupan berbangsa,” kata Sri Mulyani lewat diskusi daring, Selasa (22/12/2020).

Realitas kehidupan saat ini, hidup yang layak dan kondusif sangat sulit diraih, ini berhadapan dengan realitas sulitnya kehidupan ekonomi dengan kompetisi yang semakin ketat menjadi salah satu faktor penyebab pasangan memilih tak punya anak. Dalam situasi seperti ini menuntut suami dan istri memberi curahan perhatian yang lebih untuk survive.

Sistem Kapitalisme yang diterapkan saat ini mengukur kesuksesan perempuan berdasarkan keberhasilan dalam menjalankan peran publik seperti karir dan peran ekonomi lainnya. Peran domestik sebagai ibu dan pengatur rumah tangga tidak lagi menjadi tolak ukur kesuksesan perempuan. Karena itu keterlibatan perempuan dalam dunia ekonomi tidak lagi sekedar sebagai penopang ekonomi keluarga namun sudah menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Atas nama pemberdayaan ekonomi, realitasnya perempuan justru menjadi roda penggerak ekonomi.

Childfree, paham bebas dari anak akan semakin mendorong perempuan tereksploitasi sebagai roda penggerak ekonomi karena waktu dan konsentrasinya hanya untuk mendapatkan kebahagiaan yang diukur dengan kenikmatan dunia yang terbebas dari kewajiban naluriah sebagai ibu yang melahirkan, mengasuh, dan mendidik putra-putrinya.

CHILDFREE BERTENTANGAN DENGAN ISLAM

Melahirkan dan memiliki anak adalah fitrah manusia dan kebahagiaan orang tua. Bahkan merupakan salah satu tujuan pernikahan yaitu linasli al jinsi (untuk melestarikan keturunan) yang merupakan salah satu madhahir (manifestasi) dari gharizah al-nau’. Paham childfree yang tidak menginginkan hadirnya keturunan telah menyelisihi fitrah gharizah al nau’ dan akan memusnahkan jenis manusia di muka bumi.

Betapa banyak pasangan suami-istri yang rela mengorbankan apa saja agar memiliki anak. Anak adalah permata hati dan kebahagiaan bagi mereka yang masih berada dalam fitrah. Allah Ta’ala telah berfirman,

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”(QS. Ali Imran ; 14).

Setiap anak yang dilahirkan telah dijamin rizkinya oleh Allah Subhanaallahu Wa Ta’ala sehingga alasan ekonomi yang menyertai para pelaku childfree tidak bisa dibenarkan karena sama saja telah meremehkan peran Allah Subhanaallahu Wa Ta’ala dalam mengatur rezeki setiap hamba-Nya. Allah Subhanaallahu Wa Ta’ala telah berfirman,

وَكَأَيِّن مِّن دَآبَّةٍ لَّا تَحْمِلُ رِزْقَهَا ٱللَّهُ يَرْزُقُهَا وَإِيَّاكُمْ ۚ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْعَلِيمُ

“Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.(QS. al-Ankabut ; 60).

Kesulitan finansial yang dihadapi banyak pasangan suami-istri hari ini karena sistem kapitalisme yang meniscayakan semua kebutuhan dan layanan harus dibayar dengan harga yang mahal. Bukan karena hadirnya anak dalam rumah tangga. Berbeda dengan sistem Islam yang menjamin kebutuhan dan memberikan layanan gratis kepada semua warga negara berapapun jumlah anak yang dimiliki. Negara menjamin tersedianya lapangan pekerjaan kepada para suami untuk mendapatkan penghasilan yang cukup untuk menafkahi istri dan anak-anaknya. Para Ibu tidak harus bekerja untuk membantu suami mengais rezeki apalagi sampai menggantikan peran suami menjadi tulang punggung nafkah keluarga. Jadi childfree bukan solusi kesulitan finansial.

Anak adalah ladang amal bagi kedua orang tuanya. Bagi seorang ibu yang mengandung, melahirkan, menyusui, merawat, dan mendidik anak-anaknya akan mendapatkan pahala surga. Kebahagiaan seorang Muslim adalah ketika Allah dan RasulNya meridhainya bukan kenikmatan dunia yang fana. Pahala dan Surga telah dijanjikan untuk para ibu yang telah bersusah payah dalam mengandung, melahirkan, mengasuh, dan mendidik putra-putrinya. Rasulullah telah bersabda,

Apakah kamu tidak rela salah seorang diantara kamu wahai wanita bahwasanya apabila: Dia hamil dari suaminya sedangkan suami ridla padanya, dia memperoleh pahala seperti pahala orang yang berpuasa yang aktif berjihad di jalan Allah. Apabila dia merasa sakit (akan melahirkan), maka penduduk langit dan bumi belum pernah melihat pahala yang disediakan kepadanya dari pandangan mata (sangat menyenangkan). Maka ketika dia melahirkan, tiadalah keluar seteguk susu dan anaknya menyusui seteguk melainkan setiap tegukan susu itu berpahala satu kebaikan. Dan jika dia tidak tidur semalam maka dia mendapatkan pahala seperti pahala memerdekakan tujuh puluh budak di jalan Allah dengan ikhlas.”. (HR. Al Hasan bin Sufyan, Thabrani dan Ibnu Asakir).

Anak adalah amal jariyah yang paling berharga, ia bisa mengangkat derajat kedua orang tuanya di hadapan Allah Subahanaallahu Wa Ta’ala kelak di akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِيْ الْجَنَّةِ فَيَقُوْلُ : يَا رَبِّ أَنىَّ لِيْ هَذِهِ ؟ فَيَقُوْلُ : بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ

“Sungguh, Allah benar-benar mengangkat derajat seorang hamba-Nya yang shalih di surga.” Maka ia pun bertanya, “Wahai Rabbku, bagaimana ini bisa terjadi?” Allah menjawab, “Berkat istighfar anakmu bagi dirimu.” (HR. Ahmad).

Sungguh pasangan suami-istri penganut paham childfree akan merugi karena tidak ada anak-anak shalih yang mendoakan dan mengangkat derajatnya kelak di akhirat. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu); sedekah jariah, ilmu yang dimanfaatkan, atau doa anak yang saleh.” (HR. Muslim).

Penganut paham childfree juga tidak akan merasakan kesempatan mendapatkan penyejuk mata (qurrota a’yun) padahal ia mampu melahirkan anak. Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

“Dan orang orang yang berkata: “Ya Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-Furqan: 74)

Dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu Katsir disebutkan bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

يعنون من يعمل بالطاعة، فتقرُّ به أعينهم في الدنيا والآخرة.

“Yaitu mereka (ibadurrahman) meminta agar mendapatkan keturunan yang gemar beramal ketaatan sehingga sejuklah mata mereka di dunia dan akhirat.

Sungguh pasangan suami-istri yang menganut paham childfree akan menuai kerugian besar di dunia maupun akhirat karena tidak akan mendapatkan banyak kebaikan dan kemuliaan dengan memiliki anak. Jika demikian maka kebahagiaan yang mereka kejar hanyalah semu belaka. Oleh karena itu paham childfree tidak layak diikuti bahkan harus dibuang jauh dari benak umat Islam karena ia paham yang rusak yang lahir dari sekularisme – kapitalisme. Wa Allahu A’lam.