Oleh: Rif’ah Khalidah
SuaraMubalighah.com, Hadis — Upaya para pembenci Islam untuk membelokkan kemuliaan ajaran Islam tidak pernah berhenti hingga sekarang. Seiring dengan perkembangan zaman dan perjalanan waktu, para pembenci Islam kini membangun sebuah argumentasi baru dalam memaknai ulang teks-teks hadis (syarh wa fiqh al-hadist) dengan menyertakan ide kesetaraan gender dalam perspektif mubadalah/ketersalingan atau yang lebih dikenal dengan istilah “qiro’ah mubadalah”.
Dalam qiro’ah mubadalah, teks-teks keislaman yang bersifat maskulin dapat dibantu dengan mengatasi ketatnya aturan gender dalam bahasa Arab, sehingga menjadi seimbang. Oleh karenanya, laki-laki dan perempuan sama-sama berhak memperoleh kemaslahatan dan terhindar dari mafsadat. Inilah metode yang diterapkan dalam qiro’ah mubadalah.
Menurut pegiat mubadalah, jika ada teks yang menganjurkan kebaikan kepada laki-laki, sesungguhnya ia juga menganjurkan kebaikan kepada perempuan. Begitu pun suatu teks yang melarang keburukan terhadap perempuan, ia sesungguhnya melarang laki-laki dari keburukan yang sama. Inilah yang disebut dengan ketersalingan/kesetaraan dalam memaknai teks-teks hadis.
Apabila kita telusuri metode mubadalah dalam memaknai teks-teks hadis atau ayat Al-Qur’an dengan menjadikan ketersalingan sebagai pijakan dalam memaknai teks untuk mencapai kemaslahatan dalam pandangan mereka, sungguh mubadalah adalah metode yang bertentangan dengan Islam. Sepanjang sejarah, metode ini tidak pernah diterapkan oleh para mujtahid dan para ulama salafush shalih.
Para mujtahid dan ulama ketika memahami teks-teks hadis, senantiasa dikaitkan dengan pemahaman bahasa Arab yang digunakan dalam teks tersebut.
Adakalanya seruan (khitab) dalam teks tersebut untuk laki-laki dan perempuan, misalnya kewajiban melaksanakan salat, puasa, haji, dst.. Atau seruan untuk laki-laki saja, misalnya kewajiban untuk mencari nafkah, kebolehan menjadi imam untuk laki-laki dan perempuan, dst.. Atau seruan tersebut hanya untuk perempuan saja, misal kewajiban memakai jilbab, larangan khalwat, safar tanpa mahram, dst.. Semuanya harus merujuk kepada makna yang dilafazkan di dalam bahasa Arab, sebagaimana yang dipahami oleh orang Arab sebagai pemilik bahasa Arab. Tidaklah diperkenankan melakukan pemaksaan dalam memaknai teks bahasa Arab di luar dari kaidah yang ditetapkan.
Berkaitan dengan syariat Islam yang melarang perempuan berkhalwat, yang sudah masyhur di kalangan umat Islam, kini para pegiat mubadalah menyajikan argumentasi hadis yang mereka pahami bahwa khalwat bagi perempuan tidak ada larangan (tidak haram).
Di antara hadis tersebut adalah, pertama, hadis dari Anas bin Malik:
١- [عن أنس بن مالك:] أنَّ امْرَأَةً كانَ في عَقْلِها شيءٌ، فَقالَتْ: يا رَسولَ اللهِ، إنَّ لي إلَيْكَ حاجَةً، فَقالَ: يا أُمَّ فُلانٍ انْظُرِي أَيَّ السِّكَكِ شِئْتِ، حتّى أَقْضِيَ لَكِ حاجَتَكِ، فَخَلا معها في بَعْضِ الطُّرُقِ، حتّى فَرَغَتْ مِن حاجَتِها.
Artinya: Dari Anas bin Malik ra. berkata, “Ada seorang perempuan yang mungkin akalnya (sedang mengalami) sesuatu, berkata, ‘Wahai Rasulullah saw., aku memiliki suatu kebutuhan darimu.’ Rasul menjawab, ‘Boleh, wahai Ibu, ke mana pun kamu ingin aku pergi menemanimu untuk menuntaskan persoalan itu, aku akan penuhi.’ Lalu Nabi saw. pergi menemaninya di suatu jalan tertentu sampai perempuan itu merasa sudah selesai dari persoalan.”
Dalam kitab syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi menjelaskan terkait syarah hadis tersebut:
“Anas Ra. telah menceritakan bahwasanya seorang perempuan yang dalam akalnya terdapat sesuatu, yakni penyakit gila ringan, lalu perempuan itu berkata kepada Nabi saw. ‘Bahwasanya aku memiliki perlu terhadap engkau, yakni sembunyi-sembunyi dari masyarakat.’ Nabi saw menjawab, ‘Wahai Ummu Fulan, lihatlah atau pikirkanlah (tunjukkanlah) jalan mana yang engkau kehendaki untuk aku hadir di situ seraya menuntaskan perlumu, yakni sehingga aku dapat memenuhi maksudmu.’ Maka, beliau berlalu bersama wanita tersebut di beberapa jalan dan mendengarkan perkataannya, lalu memberikan jawaban kepadanya hingga keperluan wanita tersebut tuntas.”
Hadis ini menjelaskan tentang sikap tawaduknya Rasulullah saw. serta kelembutan beliau kepada wanita yang kurang akalnya dalam memenuhi hajatnya. Jadi, tidaklah tepat bila hadis tersebut dikaitkan dengan kebolehan untuk melakukan khalwat antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.
Kedua, hadis dari Anas bin Malik:
٢- [عن أنس بن مالك:] أنَّ أُمَّ سُلَيْمٍ كانَتْ تَبْسُطُ للنَّبيِّ ﷺ نِطَعًا، فَيَقِيلُ عِنْدَها على ذلكَ النِّطَعِ. قالَ: فَإِذا نامَ النَّبيُّ ﷺ أخَذَتْ مِن عَرَقِهِ وشَعَرِهِ، فَجَمَعتْهُ في قارُورَةٍ، ثُمَّ جَمعتْهُ في سُكٍّ.
البخاري (ت ٢٥٦)، صحيح البخاري ٦٢٨١ • [صحيح] •
Artinya: Dari Anas bin Malik ra., berkata, “Ummu Sulaim ra. menggelar tikar (terbuat dari kulit) untuk Nabi saw., lalu Nabi tidur siang di rumahnya di atas tikar tersebut. Ketika Nabi saw. kemudian sudah tidur, Ummu Sulaim mengambil keringat (yang menetes dari) beliau dan rambut beliau (yang terjatuh), lalu mengumpulkannya dalam sebuah botol, lalu dicampur dengan minyak wangi.”
Dalam kitab Syarah Bukhari, Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Atsqalani menjelaskan secara lengkap:
أخبَر أَنَسٌ رضِي اللهُ عنه أنَّ رسولَ الله ﷺ كان يَنامُ وقتَ القَيْلولَةِ عندَ أُمِّه أُمِّ سُلَيْمٍ رضي الله عنها- وهي مِن مَحارِمِ النبيِّ ﷺ- على نِطَعٍ تَفرُشه، والنِّطَعُ: بِساطٌ مِن الجِلْدِ، فتَأخُذ بعدَ نومَ النبيِّ ﷺ ما عَلِق بالنِّطَعِ مِن عَرَقِه ﷺ وما تَساقَطَ مِن شَعَرِه عليه، فتَجمَعُه في قارُورَة ثُمَّ تَجمَعُه في سُكٍّ، وهو طِيبٌ مُرَكَّب مِن عِدَّةِ أنواعٍ مِن الطِّيبِ.
فلَمّا حَضَرَتْ أَنَسًا رضي الله عنه الوَفاةُ، أَوْصى أنْ يُجعَلَ في حَنُوطِه- والحنوطُ هو الطِّيبُ الذي يُوضَع على الميِّت بعدَ غُسْلِه- مِن ذلك السُّكِّ الذي فيه مِن عَرَقِ النبيِّ ﷺ وشَعَرِه؛ ففُعِل به هذا.
وفي الحديثِ: بَرَكَةُ آثارِ النبيِّ ﷺ
(مصدر الشرح: الدرر السنية)
Artinya: Anas ra mengabarkan bahwasanya Rasulullah saw. pernah tidur sejenak (qailulah) di tempat Ummu Sulaim ra.—yang merupakan mahram Nabi saw.—di atas karpet terbuat dari kulit yang dibentangkan oleh Ummu Sulaim, an-nath’u ‘karpet yang terbuat dari kulit’.
Kemudian, setelah tidurnya Rasulullah, Ummu Sulaim mengambil apa-apa yang melekat di karpet tersebut, baik dari peluhnya saw., serta rambutnya yang jatuh, seraya Ummu Sulaim mengumpulkannya di dalam botol, lalu menjadikannya Suk, yakni parfum yang teracik dari beberapa macam barang bagus.
Ketika Anas ra wafat, ia berwasiat agar diletakkan dalam Hanuut-nya—yakni parfum yang diletakkan pada mayat setelah dimandikan—sebagian dari parfum yang diracik dari peluh Nabi saw. dan rambutnya, maka wasiat tersebut dilaksanakan.”
Hadis kedua yang digunakan sebagai dalil tentang kebolehan khalwat antara laki-laki dengan perempuan yang bukan mahram, tidak tepat karena Rasulullah saw. tidur di rumah Ummu Sulaim yang merupakan mahram beliau sendiri. Ini tidak bisa dikatakan khalwat dan bukan fakta khalwat, sebab hubungan keduanya adalah mahram.
Hadis ini lebih menjelaskan tentang berkah peninggalan bekas Rasulullah saw. yang dimanfaatkan oleh para sahabat.
Dari penjelasan dua hadis yang diangkat oleh pengarang buku Perempuan (Bukan) Sumber Fitnah, K.H. Faqihuddin Abdul Kodir, telah terbukti secara gamblang akan kesalahan di dalam menerapkan hadis terhadap persoalan khalwat. Kesalahan dalam menerapkan hadis terhadap persoalan khalwat mengakibatkan mengubah hukum keharaman khalwat yang sudah muktabar menjadi boleh (halal). Tentu ini sangat berbahaya.
Syariat Islam Menjaga Kehormatan Perempuan
Islam sebagai agama yang kamil dan syamil memiliki pandangan yang berbeda dengan agama yang lain tentang perempuan. Sebagai makhluk Allah Swt. sebagaimana laki-laki, keduanya sama-sama diciptakan oleh Allah dengan sebaik-baik penciptaan, sebagaimana firman Allah dalam surah At-Tiin ayat 4,
لقد خلقنا الانسان في احسن تقويم.
Artinya: “Sungguh kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
Di satu sisi, syariat Islam menempatkan perempuan sebagai kehormatan yang harus dijaga, sebagaimana kaidah usul,
الاصل في المرأة أم و ربة بيت،وهي عرض يجب أن يصان.
Artinya, “Asal seorang perempuan adalah ibu dan pengatur rumah tangga, dan dia adalah suatu kehormatan yang harus dijaga.”
Penjagaan kehormatan terhadap para perempuan di dalam Islam dapat kita dapatkan dari sejumlah hukum syara’, di antaranya: kewajiban menutup aurat, larangan berkhalwat, larangan tabarruj, larangan safar tanpa mahram, dan lain-lain.
Allah Swt. memerintahkan laki-laki untuk melindungi perempuan setiap saat, baik itu perempuan yang menjadi ibunya, istrinya, anaknya, atau setiap perempuan di masyarakat.
Suatu ketika Nabi Muhammad saw. berkata kepada Umar bin Khaththab ra., “Tahukah engkau harta terbaik bagi seorang laki-laki? Yaitu istri salihah yang menyenangkan bila dipandang, dan yang melindungi dirinya saat suaminya tidak ada di sisinya.“
Dalam khotbah terakhirnya kepada kaum muslimin, beliau saw. mengingatkan mereka, “Wahai manusia, memang benar kalian memiliki hak atas istri kalian, tetapi mereka juga punya hak atas kalian. Ingatlah bahwa kalian telah mengambil mereka sebagai istri atas kepercayaan dan izin Allah. Jika mereka taat, mereka berhak diberi nafkah dan pakaian serta kebaikan. Baik-baiklah kepada mereka karena mereka adalah pasangan dan penolong kalian.”
Demikianlah cara Allah Swt. menggambarkan betapa terhormatnya kedudukan perempuan. Dalam masyarakat Islam, pemahaman ini akan memengaruhi laki-laki secara keseluruhan, sehingga mereka akan melihat perempuan secara terhormat, tanpa melihat apakah perempuan itu punya karier atau tidak. Mereka tidak akan mengecilkan kedudukan istri dan ibu, mereka justru akan menghargainya sebagai kedudukan yang mulia.
Khalwat dalam Khazanah Fikih Islam
Khalwat adalah istilah yang tidak asing dalam khazanah fikih Islam. Menurut bahasa, istilah khalwat berasal dari akar kata khalaa yang berarti sunyi atau sepi.
Fairuz Abadi di dalam kitab Kamus al-Muhith menjelaskan, “Khalaa bihi, khalaa ilaihi, dan khalaa ma’ahu, masdarnya khalwan, khala’an, dan khalwatan; maknanya adalah memintanya untuk bertemu berduaan saja, lalu ia pun melakukannya.”
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab An-Nizhamu al-Ijtimaiy fi al-Islam mendefinisikan, “Khalwat adalah bertemunya dua orang yang secara menyendiri, sehingga aman dari keberadaan orang lain bersama keduanya.”
Islam telah melarang dengan tegas setiap bentuk khalwat yang dilakukan oleh seorang perempuan dan seorang laki-laki yang bukan mahram. Siapa pun kedua orang tersebut dan bagaimanapun bentuk khalwat yang dilakukan. Rasulullah saw. bersabda,
لا يخلون رجل بامرأة إلا ومعها ذو محرم منها.
Artinya: “Janganlah seorang pria berduaan dengan seorang wanita kecuali wanita itu disertai mahramnya.” (HR Muslim dari Jalan Ibnu Abbas).
Larangan khalwat dalam hadis tersebut bersifat tegas karena adanya huruf nun taukid tsaqilah pada kata laa yakhluwanna (لا يخلون) yang artinya secara balaghiyah adalah ‘sungguh, janganlah kalian berkhalwat’.
Hal ini bermakna bahwa larangan berkhalwat benar-benar harus dijalankan. Bila hal tersebut dikerjakan, akan mengantarkan pada perbuatan dosa.
Larangan khalwat adalah pencegahan dini dari perbuatan zina. Dengan melarang khalwat, syariat telah memberikan pemeliharaan (penghalang) antara laki-laki dan perempuan kepada sebab-sebab yang mengantarkan kepada kerusakan.
Khalwat merupakan tindak pidana (jarimah) yang dapat dikenakan sanksi atas pelanggarannya dengan hukuman takzir.
Inilah pemahaman khalwat yang benar sesuai makna bahasa dan realitas khalwat. Keharaman khalwat juga telah jelas sesuai apa yang dikehendaki dalam hadis riwayat Muslim dari jalur Ibnu Abbas. Waallahu a’lam. []