Oleh: Betti Salimah
Suaramubalighah.com, Opini — Ketua Komisi VIII DPR RI Yandri Susanto mengatakan, anggaran moderasi beragama lintas direktorat jenderal tahun ini sebesar Rp3,2 Triliun. Hal itu disampaikannya saat Malam Peluncuran Aksi Moderasi Beragama yang diselenggarakan Kementerian Agama, Rabu (22/9/2021) malam. Anggaran ini naik delapan kali lipat dari periode sebelumnya sebesar Rp400 Miliar. Besarnya kenaikan anggaran menunjukkan makin besarnya perhatian pemerintah terhadap program moderasi beragama.
Menyeret Pesantren dalam Agenda Moderasi
Penguatan moderasi yang makin masif ini juga dilakukan dengan menggandeng lembaga-lembaga strategis, di antaranya pesantren. Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi saat memberikan sambutan pada Haflatul Ikhtitam Pondok Pesantren Asshiddiqiyah di Kedoya pada Sabtu (3/4/2021) menyatakan, “Saya meyakini bahwa pesantren adalah tonggak utama dalam mengawal moderasi beragama.” Menurutnya, moderasi beragama tidak akan dapat tercipta tanpa prinsip adil dan berimbang. Prinsip seperti ini yang selama ratusan tahun diajarkan di lingkungan pesantren. (kemenag.go.id/berita/read/515754).
Karena begitu strategisnya pengaruh dan peran pesantren di tengah umat, maka pemerintah berupaya keras agar pesantren turut menggaungkan moderasi beragama ke masyarakat yang lebih luas. Pemerintah dan oknum ulama—yang mengatasnamakan pesantren—mengklaim bahwa pesantren telah lama mengajarkan Islam moderat dan bersikap toleran terhadap perbedaan pandangan dan keberagaman.
Padahal realitasnya, yang diajarkan di pesantren sama sekali bukanlah moderasi beragama sebagaimana klaim pemerintah, melainkan ajaran Islam kafah sebagaimana diwariskan oleh Rasulullah Muhammad saw.. Hal ini dapat dengan mudah dibuktikan dengan menilik kitab-kitab turats yang diajarkan di pesantren.
Misalnya saja kitab At-Taqrib yang merupakan buku wajib santri tentang fikih dasar, yang tidak hanya berisi tentang hukum Islam terkait ibadah mahdhah (thaharah, salat, zakat, puasa, iktikaf, haji, dan umrah) dan hukum-hukum terkait keluarga saja (nikah, talak, hukum waris, wasiat). Namun, juga berisi hukum-hukum Islam terkait bernegara, yaitu peradilan, sistem sanksi, sistem ekonomi, bahkan hingga jihad.
Undang-Undang Pesantren untuk Kepentingan Siapa?
Keseriusan pemerintah untuk memosisikan pesantren di garda depan agenda moderasi beragama makin kentara dengan terbitnya UU 18/2019 tentang Pesantren. UU ini tak pelak menuai penolakan dari berbagai pondok pesantren di seluruh Indonesia. Banyaknya substansi bermasalah dalam UU itu menimbulkan dugaan publik adanya hidden agenda di balik pengesahannya.
Dalam pasal 3 ayat b tertulis bahwa pesantren diselenggarakan dengan tujuan membentuk pemahaman agama dan keberagamaan yang moderat dan cinta tanah air, serta membentuk perilaku yang mendorong terciptanya kerukunan hidup beragama.
Kata moderat dalam pasal tersebut tidak memiliki makna yang jelas dan sangat berpotensi memecah umat Islam. Lawan dari moderat adalah radikal, maka UU Pesantren ini akan membelah menjadi pesantren moderat dan pesantren tidak moderat (radikal). Alih-alih mendorong terciptanya kerukunan hidup beragama, UU ini justru ini akan sangat membahayakan persatuan umat Islam.
OPOP dan Peta Jalan Kemandirian Pesantren: Upaya Pengalihan Bermodus Ekonomi
Di sisi lain, ada upaya sistematis pemerintah untuk mengalihkan fungsi utama pesantren sebagai pencetak ulama waratsatul anbiya yang memperjuangkan Islam kafah ke fungsi ekonomi melalui program One Pesantren One Product (OPOP) dan santripreneur yang telah dilaksanakan sejak akhir 2018.
Desain pengalihan fungsi pesantren dari pencetak ulama beralih menjadi fungsi ekonomi semakin dipertegas dengan adanya peluncuran peta jalan kemandirian pesantren oleh Menteri Agama pada 4/5/2021. Program ini disusun dengan tujuan untuk mengembangkan pondok pesantren bukan hanya sebagai lembaga pendidikan, tapi juga sebagai percontohan pergerakan ekonomi. Dimana hal itu diharapkan akan menopang kebutuhan operasional pondok pesantren sekaligus membantu perekonomian lingkungan sekitarnya.
Melalui program tersebut, pesantren dituntut mandiri dalam pembiayaan serta berperan sebagai penggerak ekonomi masyarakat. Program ini telah terealisasi di Jawa Barat dan Jawa Timur. Melalui program tersebut, pemerintah Provinsi Jawa Barat telah berhasil memasarkan produk pesantren binaannya ke pasar internasional. Sedangkan, pemerintah Provinsi Jawa Timur, pada September 2021 sedang menggiatkan program ini dengan mengadakan OPOP Award bagi pesantren, santri, serta alumni pesantren.
Selain itu, secara khusus membentuk OPOP training center di Universitas Nahdhatul Ulama Surabaya yang berkolaborasi dengan Bank Indonesia (BI). BI memberikan dukungannya terhadap program OPOP sebagai strategi untuk mempercepat pertumbuhan ekosistem keuangan syariah yang merupakan bagian dari industri halal nasional.
Dukungan diberikan oleh BI dalam bentuk kemudahan kredit perbankan untuk pengembangan modal usaha pesantren, pelatihan SDM, serta pembentukan holding himpunan ekonomi bisnis pesantren (Hebitren).
Pendidikan pesantren semestinya menjadi pilar peradaban terbaik. Namun, dalam habitat sekuler kapitalistik, pendidikan pesantren nyaris berubah fungsi. Pesantren sebagai basic pendidikan dan pengajaran Islam akan teralihkan serta tersibukkan untuk meraih dunia. Para santri yang awalnya dikader sebagai calon ulama, akan mengalami pergeseran niat dan aktivitas bahkan menjadi agen program kapitalis.
Apalagi dengan adanya program OPOP dan peta jalan kemandirian pesantren, bukan tidak mungkin ulama, kiai, ustaz, juga para santri, akan sibuk dengan berbagai kegiatan, mencari ide, membuat produk unggulan, dan sebagainya. Tentu hal ini akan mengalihkan fokus mereka dari aktivitas mengkaji dan mengajarkan Islam kafah.
Sungguh, para pengusung ide kufur tak akan pernah berhenti untuk memalingkan umat dari ajaran Islam kafah, sehingga berani memasuki pesantren yang di sanalah bibit-bibit pejuang Islam tumbuh.
Pendidikan Pesantren dalam Paradigma Islam
Islam tidak mendikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Justru Negara Islam (Khilafah) akan membangun pendidikan di atas asas akidah Islam, termasuk di dalamnya adalah pendidikan pesantren.
Islam memandang pendidikan sebagai upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis dalam rangka membentuk manusia yang memiliki: (1) Kepribadian Islam; (2) Menguasai pemikiran Islam dengan andal; (3) Menguasai ilmu-ilmu terapan (pengetahuan, ilmu, dan teknologi/PITEK); (4) Memiliki keterampilan yang tepat guna dan berdaya guna.
Kurikulum dibangun berlandaskan akidah Islam, sehingga setiap pelajaran dan metodologinya disusun selaras dengan asas itu. Konsekuensinya, waktu pelajaran untuk memahami tsaqâfah Islam dan nilai-nilai yang terdapat di dalamnya, mendapat porsi yang besar. Ilmu-ilmu terapan diajarkan sesuai dengan tingkat kebutuhan dan tidak terikat dengan jenjang pendidikan tertentu (formal).
Di tingkat perguruan tinggi, kebudayaan asing dapat disampaikan secara utuh. Misalnya, materi tentang ideologi sosialisme komunisme atau kapitalisme sekularisme, dapat disampaikan kepada kaum muslim setelah mereka memahami Islam secara utuh.
Materi ideologi selain Islam disampaikan bukan bertujuan untuk dilaksanakan, dikompromikan, atau ditoleransi sebagaimana konsep moderasi, melainkan untuk dijelaskan cacat celanya dan ketidaksesuaiannya dengan fitrah manusia.
Dalam Islam, negaralah yang berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan. Bukan hanya persoalan yang berkaitan dengan kurikulum, akreditasi sekolah/PT, metode pengajaran, dan bahan-bahan ajarnya, tetapi juga mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah. Rasulullah saw. bersabda,
« رَعِيَّتِهِ عَنْ مَسْؤُوْلٌ وَهُوَ رَاعٍ الإِمَامُ »
“Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Setiap kegiatan pendidikan harus dilengkapi dengan sarana-sarana fisik yang mendorong terlaksananya program dan kegiatan tersebut sesuai dengan kreativitas, daya cipta, dan kebutuhan. Sarana itu dapat berupa buku-buku pelajaran, sekolah/kampus, asrama siswa, perpustakaan, laboratorium, toko-toko buku, ruang seminar, auditorium tempat dilakukan aktivitas diskusi, majalah, surat kabar, radio, televisi, kaset, komputer, internet, dan lain sebagainya. Dengan demikian, majunya sarana-sarana pendidikan dalam kerangka untuk mencerdaskan umat menjadi kewajiban negara untuk menyediakannya.
Berdasarkan sirah Nabi saw. dan tarikh Daulah Khilafah Islam (Al-Baghdadi, 1996), negara memberikan jaminan pendidikan secara gratis dan kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh warga negara untuk melanjutkan pendidikan ke tahapan yang lebih tinggi dengan fasilitas (sarana dan prasarana) yang disediakan negara.
Kesejahteraan dan gaji para pendidik sangat diperhatikan dan merupakan beban negara yang diambil dari kas baitulmal. Sistem pendidikan bebas biaya tersebut didasarkan pada ijmak sahabat yang memberikan gaji kepada para pendidik dari baitulmal dengan jumlah tertentu.
Contoh praktisnya adalah Madrasah al-Muntashiriah yang didirikan Khalifah al-Muntahsir Billah di Kota Baghdad. Di sekolah ini, setiap siswa menerima beasiswa berupa emas seharga satu dinar (4,25 gram emas). Kehidupan keseharian mereka dijamin sepenuhnya oleh negara. Fasilitas sekolah disediakan seperti perpustakaan beserta isinya, rumah sakit, dan pemandian.
Begitu pula dengan Madrasah an-Nuriah di Damaskus yang didirikan pada abad ke-6 H oleh Khalifah Sultan Nuruddin Muhammad Zanky. Di sekolah ini terdapat fasilitas lain seperti asrama siswa, perumahan staf pengajar, tempat peristirahatan, para pelayan, serta ruangan besar untuk ceramah dan diskusi.
Dengan gambaran pendidikan semacam inilah peradaban Islam mampu mencetak ulama berkualitas yang siap menjadi pengemban risalah Islam. Pendidikan Islam itu hanya dapat terwujud dalam sistem negara yang berdiri di atas fondasi akidah Islam, yaitu Khilafah. Wallaahu a‘lam.[]