Oleh: Hayyin Thohiro
SuaraMubalighah.com, Opini — Kemenag benar-benar serius dalam penguatan moderasi beragama yang sekaligus menjadi amanat Perpres 18/2020 tentang RPJMN 2020—2024. Secara operasional, Kemenag sudah menerbitkan Peraturan Menteri Agama No. 18/2020 tentang Renstra Kementerian Agama 2020—2024.
Berikutnya, bersama Menteri Dalam Negeri Muh. Tito Karnavian, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim, Ketua Komisi VIII DPR RI Yandri Susanto, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas meluncurkan Aksi Moderasi Beragama bertajuk “Menyemai Nilai-nilai Moderasi Beragama dalam Kebhinekaan”, sekaligus meresmikan portal Cendikia, peluncuran buku Pedoman Moderasi Beragama di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi; serta pengumuman lomba video pendek “Pesan Moderasi Beragama.” (Republika.co.id, Rabu 22/9/21).
Aksi ini menjadi bukti penguatan moderasi beragama yang merupakan salah satu program prioritas Kemenag. Peta jalan peneguhan pun disusun yang di dalamnya termuat penguatan moderasi beragama melalui lembaga pendidikan. Ada empat pedoman yang dirilis, yakni buku saku moderasi beragama bagi guru, buku modul pelatihan penguatan wawasan moderasi bagi guru, pedoman mengintegrasikan moderasi pada mata pelajaran agama, dan buku pegangan siswa.
Menag menilai bahwa institusi pendidikan menjadi salah satu ruang strategis dalam menyemai penguatan moderasi beragama. Apalagi jumlah pendidik dan peserta didik pada semua jenjang secara nasional mencapai 61,3 juta. Dari jumlah itu, sebanyak 51 juta adalah peserta didik pada jenjang dasar dan menengah, dan 7,3 juta adalah mahasiswa. Sementara jumlah guru mencapai 2,6 juta dan dosen 308 ribu orang. Secara keseluruhan, jumlah ini mencapai 22,6% dari total populasi di Indonesia.
Sementara itu, Sekretaris Ditjen Pendidikan Islam Rohmat Mulyana mengatakan bahwa pada tahap awal, implementasi penguatan moderasi beragama akan dilakukan dengan menunjuk sekolah atau madrasah sebagai laboratorium moderasi beragama. Ada sejumlah madrasah dan sekolah di Provinsi NTT, NTB, Jawa Timur, Kalimantan Utara, Jawa Barat, dan Banten yang ditetapkan sebagai proyek percontohan implementasi penguatan moderasi beragama. Kemenag juga telah menyiapkan portal buku elektronik pendidikan agama yang memfasilitasi visi penguatan moderasi beragama yang bisa diakses melalui cendikia.kemenag.go.id.
Menteri Nadiem mengatakan bahwa moderasi beragama sangat penting diajarkan karena salah satu dari tiga “dosa besar pendidikan” di tanah air adalah intoleransi beragama. Dosa besar lainnya adalah perundungan dan kekerasan seksual. Karena itu, peneguhan moderasi beragama menjadi solusinya.
Hanya saja, penetapan tiga “dosa besar pendidikan” yang dirumuskan Nadiem ini menuai banyak kritikan. Sebab, ketiga permasalahan tersebut sebenarnya hanya cabang dari persoalan mendasar pendidikan di tanah air. Nadiem dianggap hanya mampu melihat permukaannya saja tanpa menyelami penyebab mendasar runyamnya pendidikan Indonesia.
Akar Masalah Pendidikan
Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia Muhammad Ramli Rahim menyatakan bahwa sebenarnya tiga “dosa besar” tersebut merupakan dampak dari buruknya sistem pendidikan kita. “Buruknya kurikulum, tata kelola, dan rendahnya kualitas guru, menjadi penyebab semua masalah. Itulah yang menyebabkan siswa tidak senang belajar dan berujung pada stres,” ujarnya. (tribunnews.com, 2020).
Permasalahan pendidikan tak berhenti sampai di sini. Hingga kini, pembangunan sekolah dan fasilitas pendidikan masih tidak merata. Banyak bangunan sekolah tak layak pakai yang belum diperbaiki. Ditambah problem ketersediaan guru untuk mengajar di daerah-daerah terpencil, belum juga terselesaikan. Begitu juga problem kesejahteraan guru honorer, anak putus sekolah akibat banyak biaya tambahan yang menyulitkan orang tuanya, serta kurikulum dan kualitas pengajaran yang masih menjadi PR pendidikan Indonesia.
Semua itu adalah akibat penerapan sistem pendidikan sekuler yang membuang agama dari kehidupan umat manusia. Pada akhirnya, pendidikan berkutat pada nilai akademik dan mengabaikan ajaran agama.
Karena itu, perubahan kurikulum, masifnya pelatihan guru, bahkan program sekolah penggerak, tidak akan signifikan dalam menyelesaikan problem pendidikan selama sistem pendidikannya masih sekuler.
Begitu pun dengan output pendidikan yang menunjukkan lemahnya kualitas pendidikan. Maraknya kekerasan, seks bebas, kriminalitas, hingga rendahnya moral peserta didik dan penyelenggara pendidikan, turut menambah deretan panjang persoalan pendidikan. Termasuk kasus korupsi yang turut mewarnai buruknya potret pendidikan.
Dengan demikian, akar masalah sesungguhnya atas “dosa besar pendidikan” adalah penerapan sistem pendidikan sekuler kapitalistik, bukan intoleransi beragama.
Agenda Moderasi Beragama Sangat Berbahaya
Masifnya pengarusan moderasi beragama tentu tak bisa dianggap biasa-biasa. Selain ada sisi politis yakni kepentingan melanggengkan penjajahan, narasi moderasi beragama ini nyatanya telah menyasar hal-hal yang sangat prinsip dalam Islam.
Penanaman nilai-nilai toleransi berbasis paham sekularisme, pluralisme, dan relativisme atas nama moderasi, jelas-jelas telah membuat ajaran Islam kafah terkebiri dari jati dirinya yang asli, yakni sebagai petunjuk dan solusi problematik kehidupan. Bukan hanya untuk umat Islam sendiri, tetapi umat manusia secara keseluruhan, sehingga menjadi rahmat bagi seluruh alam, sebagaimana dalam misi kenabian yang terdapat dalam firman Allah Swt. berikut ini:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS Al-Anbiya [21]: 107)
Moderasi beragama adalah racun produk Barat yang sengaja diekspor ke negeri-negeri muslim termasuk Indonesia sebagai bagian dari strategi Amerika Serikat (sebagai representatif Barat) untuk memenangkan pertarungan ideologi antara Islam (politik) dan kapitalisme.
Hal tersebut tampak jelas dari laporan berjudul Building Moderate Muslim Network and Corporation yang dikeluarkan pada 2007 oleh Rand Corporation, lembaga think tank AS. Laporan ini berisi rekomendasi bagi pemerintahan AS tentang cara melemahkan dan memecah kekuatan Islam. Tak lain adalah dengan membangun jaringan muslim moderat sebagai mitra Amerika dalam melawan apa yang mereka sebut kebangkitan fundamentalisme Islam di dunia.
Karena itu, pengarusan melalui lembaga pendidikan, yakni sekolah, perguruan tinggi, hingga pesantren jelas-jelas akan berdampak pada pendangkalan akidah generasi dan umat. Output yang terlahir dari kurikulum moderat adalah akan tercetak anak-anak generasi Islam dengan kepribadiannya yang juga moderat dan sekuler, jauh dari kepribadian Islam.
Umat dipaksa berpikir dengan kacamata Barat kafir penjajah, sehingga akhirnya lemah dalam membaca akar masalah, apalagi berpikir tentang solusinya. Bahkan, umat digiring memusuhi sesamanya dan meminta obat penawar masalah pada musuh yang justru menjadi penyebabnya.
Moderasi beragama makin masif diopinikan di Indonesia seiring derasnya arus Islam politik dengan gagasan Khilafah sebagai solusi atas berbagai persoalan negeri ini. Hingga akhirnya moderasi beragama dilancarkan untuk memisahkan umat dari pemahaman Islam kafah, ide Khilafah, dan para pengusungnya.
Dari sini jelas bahwa moderasi beragama diaruskan untuk menghalangi penerapan hukum-hukum Allah secara kafah. Tentu ini akan mengantarkan murka Allah dan menimpakan keburukan dunia dan akhirat. Na’udzubillahi min dzaalik.
Muatan beracun inilah yang sedang disuntikkan kepada umat Islam. Semua ini sekaligus mengonfirmasi bahwa rezim berkuasa saat ini adalah rezim yang anti dan memusuhi Islam yang apa adanya, yaitu Islam kafah, Islam yang tanpa penambahan dan pengurangan
Karena itu, sikap bagi seorang muslim, para mubaligah, dan pengemban dakwah secara keseluruhan adalah melawan arus moderasi beragama dengan terus mengukuhkan ajaran Islam kafah yang sahih.
Gencarkan dakwah Islam kafah hingga terwujud dalam kehidupan secara riil dalam naungan Khilafah tanpa keraguan dan ketakutan sedikit pun, sebagaimana firman Allah Swt.,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَنْ يَّرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِهٖ فَسَوْفَ يَأْتِى اللّٰهُ بِقَوْمٍ يُّحِبُّهُمْ وَيُحِبُّوْنَهٗٓ ۙاَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اَعِزَّةٍ عَلَى الْكٰفِرِيْنَۖ يُجَاهِدُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَلَا يَخَافُوْنَ لَوْمَةَ لَاۤىِٕمٍ ۗذٰلِكَ فَضْلُ اللّٰهِ يُؤْتِيْهِ مَنْ يَّشَاۤءُۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Barang siapa di antara kamu yang murtad (keluar) dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang beriman tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.” (QS Al-Maidah [5]: 54). Wallâhu a’lam.[]