SuaraMubalighah.com, Tanya Jawab — Assalamu’alaikum wr. wb. Ada sebagian muslimah yang mengatakan bahwa perjuangan kaum feminis saat ini sama dengan apa yang diperjuangkan Nabi Muhammad saw. dalam mengangkat derajat perempuan dari tradisi jahiliah. Benarkah demikian? Mohon penjelasannya. (Ibu Salimah, Surakarta)
Jawaban
Oleh: Tim Redaksi SuaraMubalighah.com
Wa’alaikumussalam wr. wb., Ibu Salimah rahimakumullah.
Moderasi beragama yang pemerintah aruskan saat ini menjadikan kesetaraan gender sebagai salah satu program yang terus dikampanyekan. Para “feminis muslim” sebagai ujung tombak dalam menyukseskan program tersebut menyatakan ketersalingan (mubadalah) antara lelaki dan perempuan harus terwujud.
Meski mereka tidak lagi secara terus terang menyatakan, “Kesetaraan harus diperjuangkan,” tetapi mereka percaya bahwa kesetaraan gender antara lelaki dan perempuan adalah solusi masalah perempuan.
Atas nama moderasi Islam, para feminis muslim ini mengklaim bahwa ide kesetaraan yang lahir dari ide feminisme sejalan dengan Islam. Lebih berani lagi mereka mengatakan bahwa Rasulullah saw. sejak awal membawa misi kesetaraan, yakni membebaskan perempuan dari ketertindasan budaya jahiliah.
Ada sebagian yang mengklaim Nabi Muhammad saw. telah mengajarkan kesetaraan gender. Pernyataan ini jelas keliru karena kesetaraan gender lahir dari gerakan feminisme yaitu sebuah gerakan dari kaum perempuan atau lelaki untuk menghapuskan perilaku bias gender dan menyamaratakan kedudukan antara keduanya. Ide ini lahir dari Barat karena kondisi perempuan di Barat saat itu tertindas, perempuan tidak lebih dari warga negara kelas dua.
Tuntutan kaum feminis adalah jika lelaki boleh, perempuan juga boleh. Jika lelaki bisa, perempuan juga bisa. Lelaki dan perempuan seharusnya punya hak yang sama, maka butuh kesetaraan.
Ide ini kemudian dijajakan ke negeri-negeri muslim melalui PBB, yang harus diratifikasi oleh penguasa negeri-negeri muslim. Kemudian ide ini diadopsi untuk menyelesaikan problem perempuan dan keluarga yang terjadi di negeri-negeri muslim akibat penerapan demokrasi dan kapitalisme.
Apakah ide feminisme ini berhasil menaikkan derajat perempuan dan menyelesaikan problem perempuan? Ternyata tidak! Karena perempuan menjadi bebas tanpa batas (liberal) akibat tidak menggunakan aturan agama dalam bertindak.
Memang benar feminisme telah membawa banyak perubahan pada kaum perempuan, tetapi jika ditelaah lebih jauh, perubahan itu tidak membawa kebaikan apa pun. Yang terjadi justru sebaliknya, tatanan masyarakat makin rusaknya akibat rancunya relasi dan pembagian peran antara lelaki dan perempuan.
Feminismelah yang bertanggung jawab atas guncangnya struktur keluarga, merebaknya kasus perceraian, hadirnya generasi ekstasi dan sabu-sabu, fenomena single parent, hingga seks bebas dan pelecehan seksual. Semua ini menjadi bukti kuat gagalnya ide feminisme menyelesaikan masalah perempuan.
Feminisme lahir dari paham kebebasan (baca: liberalisme) yang menghendaki perempuan bebas memiliki peran yang diinginkannya. Para feminis menganggap aturan Islam membuat perempuan menjadi tertekan karena tidak memihak kebebasan perempuan untuk berkembang. Perempuan seakan terkekang dan terbelakang. Jilbab dianggap sebagai bentuk kekerasan dan diskriminasi perempuan karena memaksa mereka untuk memakai pakaian muslimah yang boleh jadi tidak disukai.
Begitu pula, mereka menggugat hukum kepemimpinan (qawwam) suami dalam keluarga, keharusan istri meminta izin suami ketika bepergian, dan sebagainya. Mereka menganggap bahwa tugas domestik adalah tugas yang tak penting dan merendahkan perempuan.
Feminisme jelas menentang syariat Islam dan berupaya keras menjauhkan perempuan muslimah dari syariat Islam yang agung. Lalu bagaimana mungkin para feminis muslim mengatakan bahwa Islam mengajarkan kesetaraan sebagaimana diperjuangkan kaum feminis?
Memang benar, ketika Islam datang, Islam menghapuskan praktik penindasan terhadap kaum perempuan yang dilakukan orang-orang jahiliah saat itu. Islam memberikan keadilan dan kedudukan mulia pada perempuan sebagaimana lelaki. Hanya saja, kedudukan mulia tersebut hanya akan teraih ketika keduanya meraih ketakwaan di hadapan Allah Swt. dengan menjalankan seluruh syariat-Nya. Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur’an, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” (TQS Al-Hujurat:13).
Ketakwaan seorang muslimah ditunjukkan pada penerimaan total penuh rida atas syariat yang Allah berikan padanya. Seorang muslimah tidak merasa terdiskriminasi ketika Allah memberi tanggung jawab kepemimpinan keluarga pada lelaki, serta tidak merasa rendah saat Allah memberikan peran dan tanggung jawab sebagai ibu dalam mendidik dan mengurusi putra-putrinya. Seorang muslimah sadar betul bahwa peran yang Allah berikan kepadanya adalah benar dan adil sebab sesuai fitrahnya sebagai perempuan.
Secara umum, Islam memandang lelaki dan perempuan sebagai manusia dalam posisi yang sama, tanpa ada perbedaan. Masing-masing adalah ciptaan Allah yang terbebani tanggung jawab melaksanakan seluruh syariat-Nya. Hampir seluruh syariat Islam dan hukumnya berlaku untuk lelaki dan perempuan secara seimbang.
Begitu pun dengan janji pahala dan ancaman siksaan, tidak berbeda satu dengan lainnya. Masing-masing memiliki kewajiban dan hak yang sama di hadapan Allah sebagai hamba-hamba-Nya. Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur’an, “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (TQS Adz-Dzariyat [51]: 56)
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), ‘Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik lelaki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.’” (QS Ali Imran [3]: 195)
Mujahid berkata, “Ummu Salamah pernah berkata kepada Rasulullah saw., ‘Wahai Rasulullah, kami tidak mendengar penyebutan perempuan dalam masalah hijrah sedikit pun,’ maka turunlah ayat ini.” (Tafsir Ibnu Katsir: 2/190, Tafsir Al-Baghawi, 2/153).
Namun demikian, bukan berarti kaum lelaki dan perempuan menjadi sama dan setara dalam segala hal. Menyetarakan keduanya dalam semua peran, kedudukan, status sosial, pekerjaan, atau jenis kewajiban dan hak, sama saja melanggar kodrat keduanya.
Kenyataan yang tidak dapat kita mungkiri bahwa antara lelaki dan perempuan terdapat perbedaan-perbedaan mendasar. Secara biologis dan kemampuan fisik, lelaki dan perempuan jelas berbeda. Pada kaum perempuan terdapat tabiat melakukan proses reproduksi, mengandung, melahirkan, menyusui, menstruasi; sementara lelaki tidak.
Karenanya, syariat Islam memberikan hukum (syariat) pada perempuan terkait kehamilan, menyusui, pengasuhan, masa idah, yang semua itu tidak pada lelaki. Sebaliknya, syariat Islam memberikan tanggung jawab kepemimpinan dan perwalian ada pada lelaki, tidak pada perempuan. (Lihat: QS An-Nisa [4]: 34).
Allah Swt. juga memberikan posisi kepemimpinan kepada lelaki karena ia sesuai dengan tabiat dan kodrat penciptaannya. Dalam rumah tangga, lelaki adalah pemimpin yang bertanggung jawab menjaga dan memelihara urusan orang-orang yang berada di bawah kepemimpinannya dari para istri dan anak-anak, termasuk menjamin pakaian, makanan, dan rumah mereka. Bahkan, tidak hanya urusan-urusan dunia, tetapi juga agama mereka. Dengan catatan, kepemimpinan atau kekuasaan seorang lelaki atas perempuan bermakna penjagaan, perhatian, dan pengaturan, bukan dalam arti kesewenang-wenangan, otoriter, dan tekanan.
Karenanya, menyamakan (baca: menyetarakan) lelaki dan perempuan adalah justru menunjukkan ketakadilan. Dari sini, kesetaraan atau persamaan (dalam bahasa Arab: musawatun) antara lelaki dan perempuan bukanlah nilai yang berasal dari pandangan Islam. Islam memandang adanya keadilan antara lelaki dan perempuan, bukan kesetaraan. Konsep kesetaraan bertolak belakang dengan prinsip keadilan, karena adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, memberikan hak kepada yang berhak menerimanya.
Demikian juga ide ketersalingan (mubadalah) yang disuarakan feminis muslim—agen moderasi beragama yang tidak dikenal dalam Islam—, sebab masing-masing telah mendapat syariat khusus untuk mereka dalam kapasitas sebagai muslimah, dan kebaikan akan diberikan kepada muslimah ketika menjalankan syariat tersebut.
Demikian juga dengan lelaki, akan mendapatkan kebaikan ketika mereka menjalankan syariat yang pelaksanaannya khusus untuk lelaki.
Jadi, ide kesetaraan (musawah) maupun ketersalingan (mubadalah) bukan berasal dari Islam, sehingga wajib kita tolak. Membungkusnya dengan nama “moderasi Islam” adalah tipu daya kaum feminis untuk menjauhkan umat dari Islam kafah. Wallahu’alam bish shawwab.[]