Oleh: Hj. Padliyati Siregar, S.T.
SuaraMubalighah.com, Opini — Perbincangan Rancangan Undang-Undang Minuman Beralkohol (RUU Minol) kembali hangat dibahas oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) saat menggelar Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar (Munas dan Konbes NU) 2021 dan Forum Alim Ulama yang diselenggarakan oleh PPP.
Dalam pembahasannya, Rais Syuriyah PBNU K.H. Ahmad Ishomuddin mengatakan bahwa RUU Minol harus mengacu kepada kemaslahatan. “Sesungguhnya menolak bahaya yang rajih dan jelas-jelas berbahaya itu harus didahulukan daripada mewujudkan kebaikan ‘alal mashalih al-marjuhah yang lebih kecil, tidak banyak, dan tidak kuat,” katanya dalam Bahtsul Masail Pra Munas: RUU Larangan Minuman Beralkohol, Jumat (24/9/2021).
Mengutip laman resmi dpr.go.id, Badan Legislatif (Baleg) hingga kini masih menyusun draf RUU Minol yang ditargetkan selesai pada akhir 2021. Jika dilihat, RUU Minol banyak membahas aspek ekonominya dan pengaturan peredarannya.
Adapun aspek pelarangan dan sanksinya tidak tegas banyak celah pelanggaran, bahkan tak mampu menghentikan produksi dan peredarannya. Sebagaimana tertulis di dalam keterangan, terdapat 14 materi muatan di dalamnya, yakni
- definisi minol;
- jenis, golongan, dan kadar minol;
- pendirian industri, produksi, perizinan, dan mekanisme produksi serta perdagangan atau peredaran minol;
- pembatasan impor minol;
- dukungan pengembangan minol tradisional/lokal;
- distribusi dan perdagangan minol;
- cukai dan pajak minol;
- pengawasan dan penanganan atas dampak yang ditimbulkan oleh minol;
- batasan usia dan tempat yang dilarang atau dibolehkan untuk peredaran dan konsumsi minol;
- tugas, kewenangan, dan tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah;
- larangan dan sanksi;
- partisipasi masyarakat;
- ketentuan pidana; dan
- ketentuan penutup.
Bagi negara demokrasi yang menganut sistem ekonomi kapitalisme, fokusnya hanya pada meraih keuntungan (laba) untuk pemasukan negara dan mengabaikan kerusakan masyarakat akibat minol. Larangan minol pun menjadi tarik ulur karena kepentingan politik. Wajar saja jika RUU Minol tak segera disahkan sejak pertama kali diajukan pada 2009.
Perlu publik ketahui bahwa pemasukan negara dari cukai Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA) sangat besar, yakni Rp2,64 triliun pada 2020. Sementara untuk penerimaan negara dari peredaran MMEA pada 2014 sebesar Rp5,298 triliun, 2015 sebesar Rp4,556 triliun, 2016 sebesar Rp5,304 triliun, dan tahun lalu (2020) sebesar Rp3,36 triliun. Setiap rupiah yang dihasilkan dari peredaran MMEA menjadi pemasukan negara yang menguntungkan. (money.kompas.com, 13/11/2020)
Cita-cita menyelamatkan generasi dari kerusakan karena minol sungguh sulit diwujudkan. Sebab, RUU Minol tidak akan menutup pabrik-pabrik yang memproduksi minuman keras. RUU ini hanya mengatur distribusi dan konsumsi minol, artinya minol masih dapat dijumpai dan diperjualbelikan di negeri mayoritas muslim ini—dengan keuntungan besar yang didapat negara.
RUU Minol merupakan upaya tambal sulam dan jauh dari gambaran yang dimaksudkan oleh syariat Islam dalam mengatur masalah Minol. Dalam sistem Islam, miras/minol harus dilarang total. Islam menolak miras/minol secara total dengan alasan apa pun, termasuk alasan bisnis/investasi. Miras/minol juga merupakan zat tercela, membawa keburukan, dan pasti mendatangkan azab Allah (Swt.).
Allah taala menegaskan dalam firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُون
“Hai orang-orang yang beriman, sungguh, (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Karena itu jauhilah semua itu agar kalian mendapat keberuntungan.” (TQS Al-Maidah [5]: 90)
Dalam pandangan syariat, minum khamar (miras/minol) merupakan kemaksiatan besar. Sanksi bagi pelakunya adalah dicambuk 40 kali dan bisa lebih dari itu. Islam juga melarang total semua hal yang terkait dengan khamar mulai dari pabrik produsen minol, distributor, toko yang menjual, hingga konsumen (peminumnya).
Rasulullah saw. bersabda,
لَعَنَ اللَّهُ الْخَمْرَ وَشَارِبَهَا وَسَاقِيَهَا وَبَائِعَهَا وَمُبْتَاعَهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ
“Allah melaknat khamar, peminumnya, penuangnya, penjualnya, pembelinya, pemerasnya, orang yang mengambil hasil (keuntungan) dari perasannya, pengantarnya, dan orang yang meminta diantarkan.” (HR Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah).
Oleh karenanya, Pemerintah dan seluruh rakyat wajib mengacu kepada syariat dalam mengatur masalah kehidupan, termasuk minol ini. Syariat Islam harus menjadi acuan dalam menetapkan baik atau buruk, serta boleh atau tidaknya sesuatu beredar di tengah masyarakat.
Sesuatu yang diharamkan syariat Islam pasti akan menimbulkan bahaya (dharar) di tengah masyarakat. Yang bisa menutup pintu khamar dari hulu hingga hilir adalah syariat Islam yang diterapkan secara kafah dalam naungan Khilafah.
Dengan demikian, inilah agenda yang seharusnya diusung para alim ulama, yakni penerapan syariat Islam secara total (kafah) dalam naungan Khilafah. Wallahu’alam bishshawwab.[]