Khilafah Menyelesaikan Problem Pindah Agama (Riddah/Murtad)

Oleh: Kholishoh Dzikri

SuaraMubalighah.com, Ta’bir Afkar — Fenomena pindah agama menjadi hal lumrah di alam kebebasan beragama yang diagungkan saat ini. Banyak dari kalangan figur publik maupun masyarakat umum memutuskan pindah agama, termasuk Sukmawati Soekarno Putri yang baru-baru ini mengumumkan kepindahan agamanya dari Islam ke Hindu. Ia menyatakan bahwa kepindahan agamanya sudah disetujui keluarga besarnya. Bahkan, prosesi ritual pindah agamanya dihadiri oleh keluarga dan tokoh-tokoh penting di negeri ini.

Respons masyarakat atas kepindahan agama Sukmawati ini pun beragam. Ada yang mendukung agar jelas status keagamaannya karena sebelumnya Sukmawati telah sering melecehkan ajaran Islam dengan membandingkan azan dengan kidung dan cadar dengan konde.

Ia juga membandingkan Nabi Muhammad saw. dengan Soekarno. Wakil Sekjen Persaudaraan Alumni 212 Novel Bamukmin mengaku bersyukur dengan keputusan Sukmawati yang telah memperjelas kepercayaannya menjadi seorang murtad atau orang yang telah keluar dari agama Islam.

“Umat Islam harus bersyukur atas kejelasan agama sebenarnya yang dipeluk oleh Bu Sukmawati,” kata Novel kepada Warta Ekonomi, Sabtu (23/10/2021).

Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu`ti mengatakan, “Umat Islam tidak perlu bereaksi berlebihan. Itu peristiwa personal biasa. Itu pilihan pribadi Ibu Sukmawati. Semoga beliau berbahagia dan mendapatkan ketenangan dengan beragama Hindu,” kata Abdul kepada wartawan, Minggu (24/10/2021).

Pro kontra pindah agama menjadi hal biasa di dalam masyarakat demokrasi. Paham kebebasan beragama (pluralisme) dan toleransi yang terus dikampanyekan dalam program pengarusutamaan moderasi beragama secara perlahan membentuk pemahaman di tengah umat bahwa pindah agama itu hal yang biasa dan pilihan pribadi yang tidak boleh orang lain mencampurinya hatta keluarganya sendiri.

Sebaliknya, ketika menentang atau menghalangi seseorang untuk pindah keyakinan akan diberi stigma intoleran karena menghalangi kebebasan beragama dan mengklaim kebenaran hanya pada agamanya. Isu toleransi dan intoleransi seolah menjadi senjata untuk mengesahkan paham kebebasan beragama (pluralisme) yang diagungkan dalam sistem demokrasi.

Kebebasan beragama (pluralisme) adalah salah satu dari empat kebebasan yang diagungkan dalam demokrasi. Selain kebebasan kepemilikan yang melahirkan paham kapitalisme, kebebasan berekspresi (hurriyatus syakhsiyah) yang melahirkan kebebasan berperilaku, free sex, dsb.. Juga kebebasan berpendapat yang membiarkan setiap orang berpendapat sesuai hawa nafsunya dan melahirkan hoaks bertebaran di media sosial.

Kebebasan beragama dalam demokrasi, selain memberikan hak kepada pemeluk agama tertentu untuk mengganti agamanya, juga menyuburkan aliran-aliran sesat seperti Ahmadiyah dan Baha’i.

Pindah Agama (Murtad atau Riddah)

Secara bahasa (etimologi), riddah memiliki akar kata yang sama dengan irtidad, keduanya berasal dari akar kata radd (رد) yang berarti ‘berbalik kembali’. Irtadda (ارتد) dapat berarti pula tahawwul atau berubah.

Penggunaan kata tersebut lebih jelas terlihat dalam kalimat berikut: irtadda fulan ‘an dinihi (Fulan kembali dari agamanya). Maksudnya adalah kafara ba’da islamihi (kafir sesudah Islamnya).

Sedangkan secara istilah (terminologi), riddah menurut Imam Al-Qurthubi adalah keluar dari Islam dan kembali menjadi kafir.

Selain menggunakan kata riddah, Al-Qur’an juga menggunakan kata كَفَرُوا۟ بَعْدَ إِيمَٰنِهِمْ ‘kafir setelah beriman’ atau perpindahan agama Islam ke agama lain sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an,

كَيْفَ يَهْدِى ٱللَّهُ قَوْمًا كَفَرُوا۟ بَعْدَ إِيمَٰنِهِمْ وَشَهِدُوٓا۟ أَنَّ ٱلرَّسُولَ حَقٌّ وَجَآءَهُمُ ٱلْبَيِّنَٰتُ ۚ

“Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir sesudah mereka beriman, serta mereka telah mengakui bahwa Rasul itu (Muhammad) benar-benar rasul, dan keterangan-keterangan pun telah datang kepada mereka?” (QS Ali Imran: 86).

Al-Sayyid al-Sabiq menjelaskan lebih terperinci bahwa riddah adalah kembalinya orang Islam yang berakal dan dewasa pada kekafiran dengan kehendaknya sendiri tanpa ada paksaan dari orang lain, baik ia laki-laki ataupun perempuan (Al-Sabiq, 1983: 381)

Menurut Abdul Qadir Audah, riddah adalah kembali (keluar) dari agama Islam atau memutuskan (keluar) dari agama Islam. (Audah, Juz II: 706).

Dari definisi para ulama tersebut, disimpulkan bahwa riddah adalah orang yang keluar dari agama Islam dan kembali kepada kekafiran.

Istilah riddah secara historis dihubungkan dengan kembalinya suku/kabilah Arab (selain Quraisy dan Thaqif) kepada kepercayaan lama mereka setelah meninggalnya Nabi Muhammad saw.. Di antara mereka ada yang menuntut pembebasan kewajiban zakat. Suku-suku/kabilah itu adalah Hawazim, Sulaim, Bahrain, Amman, dan Yaman. Kepada mereka, Abu Bakar sebagai Khalifah mula-mula mengirimkan surat peringatan agar kembali ke agama Islam.

Muhammad Rawas Qal’ahji berpendapat bahwa seseorang dianggap murtad jika memenuhi beberapa syarat. Di antaranya sebagai berikut:

Pertama, Islam. Yaitu disyaratkan bagi orang murtad adalah orang yang sebelumnya sudah memeluk agama Islam, kemudian ia meninggalkan Islam dan pindah ke agama selain Islam. Oleh karena itu pindahnya non muslim dari satu agama ke agama lain tidak disebut murtad (riddah), karena kekafiran itu sama tingkatannya antara satu dengan lainnya.

Kedua, balig dan berakal. Apabila orang gila, orang tidur, pemabuk dan semacamnya berucap riddah, maka tidak dianggap murtad.

Ketiga, berniat dan ikhtiar (ّالقصد واإلختيار). Tindakan riddah itu dilakukan secara sadar dengan kehendak sendiri. Apabila tindakan seorang muslim, karena terpaksa mengucapkan kalimat kufur, ia tidak dianggap kafir. (Qal’ahjiy, 2000, Jilid.1: 946).

Pada kasus pindah agamanya Sukmawati telah memenuhi tiga syarat tersebut sehingga layak disebut murtad (riddah).

Hukuman bagi Orang Murtad (Riddah).

Allah Subhanahu wa ta’ala telah menetapkan hukuman bagi pelaku riddah (murtad) dalam surah Al-Baqarah ayat 217,

وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَن دِينِهِۦ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُو۟لَٰٓئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَٰلُهُمْ فِى ٱلدُّنْيَا

“ … Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”

Imam Syafi’i menjelaskan kalimat “kufur setelah iman” dan “siapa yang menukar agamanya harus dihukum mati” dalam hadis yang dikabarkan melalui Sayidina Utsman bin Affan itu, adalah pengertian yang menunjukkan siapa saja yang menukar agamanya yang merupakan agama yang benar (Islam). Bukan orang yang menukar agamanya dari agama selain Islam.

Dalam kitab Al-Umm, Imam Syafi’i berkata seseorang yang berpindah meninggalkan kesyirikan menuju keimanan, kemudian dia berpindah lagi dari keimanan menuju kesyirikan, maka jika orang itu adalah orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan, dia diminta bertobat. Jika dia bertobat, tobatnya itu diterima. Namun, jika dia tidak bertobat, ia harus dihukum mati.

Khilafah Menyelesaikan Problem Riddah

Asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Al-Amwal fi Daulati al-Khilafah menjelaskan bahwa darah dan harta orang murtad dimiliki oleh kaum muslimin. Negara Khilafah akan memberi tenggang waktu tiga hari bagi orang yang murtad untuk bertobat. Dalam waktu tiga hari tersebut ia akan dibimbing dan diberi nasihat untuk memikirkan kembali keputusannya untuk murtad. Apabila dalam rentang waktu tiga hari dia kembali kepada Islam, ia tidak akan dibunuh, darahnya dilindungi, dan hartanya dikembalikan kepadanya.

Sebaliknya, apabila dalam rentang waktu tiga hari ia tidak kembali kepada Islam, ia akan dibunuh dan hartanya tidak boleh diwariskan kepada keluarganya, baik istri, anak, maupun orang tuanya.

Apabila salah seorang dari suami dan istri murtad, seketika itu akad nikahnya rusak. Jika salah satu dari mereka meninggal, salah satu dari keduanya tidak boleh saling mewarisi, demikian juga dengan anak-anak dan ahli waris lainnya.

Rasulullah Muhammad saw. telah bersabda,

لاَيَرِثُ الْمُسلِمُ الْكَافِرِ وَلاَ الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ

“Tidak boleh orang muslim mewarisi harta orang kafir, dan tidak boleh orang kafir mewarisi harta orang muslim”
(HR Bukhari)

Apabila satu keluarga (suami, istri, dan anak-anak) murtad, maka hartanya juga akan menjadi milik kaum muslimin. Khilafah akan memasukkan harta tersebut ke dalam Baitulmal pada pos fai dan kharaj dan dibelanjakan untuk kepentingan kaum muslimin secara keseluruhan.

Apabila riddah dilakukan oleh sekelompok orang (jemaah) bersama-sama, kemudian mereka menetap di satu negeri dan mengangkat penguasa serta menerapkan hukum-hukum tertentu bagi mereka, maka negeri tersebut menjadi darul harbi.

Karena itu, darah dan harta seluruh orang murtad tersebut halal bagi kaum muslimin dan Daulah Khilafah akan memerangi mereka seperti wajibnya memerangi darul kufur. Bahkan, memerangi mereka (murtadin) harus lebih keras dan diutamakan karena seluruh orang kafir yang asli (bukan orang murtad) bisa diterima tiga hal, yaitu mereka masuk Islam, menerima perjanjian damai, atau membayar jizyah. Sedangkan orang murtad, maka tidak diterima kecuali mereka kembali masuk Islam saja, perjanjian damai dan jizyah tidak diterima dari mereka. Bagi orang murtad, hanya ada dua pilihan, yaitu kembali ke dalam agamanya (Islam) atau diperangi.

Hal ini sebagaimana yang dicontohkan khalifah Abu Bakar dan para Sahabatnya ketika memerangi orang murtad.

مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ

”Siapa yang mengganti agamanya, bunuhlah dia.” (HR Bukhari, Nasai)

Dengan memberlakukan pengaturan dan hukuman tegas bagi pelaku riddah (murtad), Khilafah akan menjaga akidah umat dan semua kaum muslimin akan memiliki pandangan dan sikap yang sama kepada pelaku riddah (murtadin). Kebebasan beragama (pluralisme) pun tidak akan diberi ruang di dalam Khilafah Islamiah. Waallahu a’lam bishshawab.[]