Oleh: Rif’ah Kholidah
SuaraMubalighah.com, Opini — Mendengar kata “pesantren” tidaklah asing bagi masyarakat, baik dahulu maupun sekarang. Karena keberadaan pesantren sendiri sudah masyarakat kenal sejak penyebaran Islam di tanah Jawa oleh para wali songo.
Dua unsur yang tidak bisa kita pisahkan dari pesantren adalah adanya kiai dan santri. Sosok kiai dikenal sebagai pengasuh sekaligus guru yang mengajarkan kitab-kitab turats yang ditulis oleh para ulama. Sedangkan santri adalah para murid yang belajar di pesantren dan menjadi pengikut setia para kiai.
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan penyiaran Islam, tempat pelaksanaan kewajiban belajar dan mengajar, serta pusat pengembangan masyarakat yang diselenggarakan dalam satu kesatuan tempat pemukiman dengan masjid sebagai tempat pusat pendidikan dan pembinaan para santri.
Dalam pengajaran agama di pesantren, para santri menuntut ilmu secara tadarruj (berjenjang) dalam melewati berbagai prosesnya. Sebab, ilmu sangat banyak bidangnya, persoalan di setiap bidang pun sangatlah detail dan bercabang-cabang sehingga tidak mungkin ilmu-ilmu Islam dikuasai kecuali dengan metode tersebut.
Para santri biasanya tidak menuntut ilmu kecuali dimulai dari membaca, menghafal, dan mengkaji Al-Qur’an dan bahasa Arab, karena keduanya adalah inti dan dasar seluruh ilmu Islam.
Konsekuensi metode tadarruj (berjenjang) adalah para santri mengawali pelajarannya dengan pelajaran yang mudah dan ringkas sebelum pindah ke pelajaran yang agak sulit mereka pahami.
Dalam Ilmu Nahwu, misalnya, para santri memulai mengkaji kitab Al-Ajurrumiyyah atau Qathr an-Nada sebelum mengkaji kitab Alfiyyah Ibnu Malik beserta buku-buku syarahnya. Dalam Ilmu Fikih, mereka mempelajari Matan Abi Syuja’ beserta syarahnya sebelum pindah ke Az-Zubad atau buku-buku lainnya.
Demikian pula dalam bidang ilmu lainnya, seperti hadis, musthalah hadits, ushul fiqh, ilmu Al-Qur’an, ilmu falak, dan sebagainya. Para ulama mengatakan, “Tadarruj adalah tangga kelulusan atau kesuksesan.”
Di pesantren, para santri diajarkan menghafal buku matan setiap bidang ilmu-ilmu Islam. Dalam Ilmu Fikih Syafi’i, mereka menghafal Matan Abi Syuja’ lalu Mandzumah az-Zubad.
Dalam Ilmu Ushul Fiqh, mereka menghafal Al-Waraqat. Dalam Ilmu Faraidh, mereka menghafal Mandzumah ar-Rahabiyah atau Al-Qala’id al-Burhaniyyah. Dalam Ilmu Musthalah Hadits, mereka menghafal Al-Baiquniyyah, Nukhbah al-Fikr, Alfiyyah al-Iraqiy, atau Alfiyah as-Suyuthi.
Dalam Ilmu Hadis, mereka menghafal Al-Arbain an-Nawawiyah dan Bulugh al-Maram. Dalam Tajwid dan Qiraat, mereka menghafal Tuhfah al-Athfal, Al-Jazariyah, dan Asy-Syatibiyah, serta bidang ilmu lain.
Pondok pesantren tradisional mempunyai metode tersendiri dalam mengajarkan agama Islam terhadap santri, yaitu metode sorogan dan bandongan. Kedua metode ini digunakan oleh para santri untuk menggali ajaran-ajaran Islam melalui kitab kuning/turats.
Dengan metode sorogan, santri diwajibkan menguasai cara pembacaan dan terjemahan secara tepat dan hanya boleh menerima tambahan pelajaran bila telah berulang-ulang mendalami pelajaran sebelumnya. Hal ini tentunya menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan, dan kedisiplinan santri.
Sedangkan metode bandongan, para santri akan belajar dengan menyimak secara kolektif. Dengan menggunakan kedua metode ini, para santri mampu menguasai dasar-dasar setiap ilmu dengan detail dan memahami persoalan yang telah disebutkan dalam kitab-kitab tersebut.
Oleh karena itu, suatu hal yang wajar jika output yang dihasilkan dari pesantren adalah santri yang faqiih fii ad-dien, berani, dan terdepan dalam melaksanakan amar makruf nahi mungkar. Bahkan, dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah, kiprah para santri dan kiai berada di garda terdepan melawan penjajah di Bumi Nusantara.
Tak bisa dimungkiri, hal ini tidak lain menunjukkan hasil proses pendidikan yang ada di pesantren dalam memahami tsaqafah Islam dan mengamalkannya.
UU Pesantren Membajak Fungsi Pesantren Mencetak Ulama Hanif
Terbitnya UU 18/2019 tentang pesantren dan turunannya memuai banyak penolakan di antara para kiai. Pengasuh Pondok Pesantren Al-Muntaha Bangkalan Madura, K.H. Thoha Kholili, mengkritik UU Pesantren dapat mengubah pendidikan di pesantren, utamanya melalui perubahan kurikulum pendidikan pesantren.
Padahal, menurut beliau, pendidikan secara tradisional di pesantren telah terbukti dalam mendidik para santri. UU Pesantren itu bukan saja membonsai atau mendangkalkan, tetapi juga membabat habis pesantren.
Sementara Ustaz Ismail Yusanto mempertanyakan Pasal 3a dan b UU Pesantren yang mencantumkan kata “moderat”. Menurutnya, pengertian kata “moderat” dalam pasal tersebut tidak jelas dan berpotensi memecah belah umat Islam. Kata beliau, hal ini seperti pemberian kategori moderat kepada sejumlah tokoh agama.
“Lawan dari kata moderat itu radikal. Jika itu dibiarkan, maka Undang-Undang Pesantren ini akan membelah pesantren yang moderat dan pesantren tidak moderat atau radikal,” jelas Ustaz Ismail Yusanto.
Bila kita cermati secara mendalam, tercantumnya kata “moderat” dalam UU Pesantren tidak lain adalah dalam rangka mengaruskan moderasi agama dalam dunia pendidikan. Pengarusan Islam moderat atau Islam wasathiyah sering kali dilegitimasi oleh pandangan bahwa generasi muda dan para santri sudah terpapar oleh paham radikalisme.
Oleh karena itu, pengarusan Islam moderat dianggap sebagai solusi jitu untuk mengeliminasi kasus-kasus radikalisme. Padahal, sejatinya Islam moderat adalah Islam yang dipersepsikan dan dikehendaki oleh kafir Barat yang mengakomodasi nilai-nilai Barat dan ramah terhadap kebijakan- kebijakan global yang sedang mereka tancapkan di seluruh dunia.
Dalam konteks pengarusan Islam moderat di pesantren memang telah dipilih sebagai garda yang paling depan karena memiliki banyak kelebihan yang tidak dimiliki oleh sistem pendidikan lain. Di antaranya karena lembaga pesantren jelas berbasis keagamaan sehingga harus ada ikhtiar untuk memastikan pesantren tidak menjadi pabrik pencetak generasi yang siap memperjuangkan penerapan Islam.
Dengan demikian, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kampanye moderasi Islam adalah proyek pembajakan potensi santri sebagai modal utama mengembalikan kemuliaan Islam. Melalui proyek ini akan lahir para pemuda yang kehilangan identitas diri sebagai muslim. Mereka akan dijauhkan dari solusi problem umat yang kian hari kian parah, sebab kehidupan mereka terjauhkan dari Islam dan sistem politiknya.
UU Pesantren, Sarat Kepentingan Kapitalis
Transformasi peran pesantren telah dikukuhkan dalam UU 18/2019. Ada tiga fungsi utama pesantren:
Pertama, sebagai tempat pengaderan pemikiran agama dan penyiapan ahli agama; Kedua, sebagai lembaga yang mencetak sumber daya manusia; Ketiga, sebagai lembaga yang melakukan pemberdayaan masyarakat.
Melihat ketiga fungsi utama tersebut, maka kebangkitan perekonomian pesantren harus dimulai dari para santri. Demikianlah pernyataan Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin dalam acara webinar internasional di Peringatan Hari Santri Nasional 2021 yang digelar secara virtual.
Dalam kesempatan itu, Ma’ruf Amin juga menyatakan pemerintah sudah membuat sejumlah program untuk pemberdayaan pesantren, seperti Program Santripreneur dan Petani Muda yang diluncurkan pada 2018. Sementara, di Jawa Timur, Gubernur Khafifah telah merancang program One Pesantren One Product (OPOP).
Desain pengalihan fungsi pesantren dari pencetak ulama menjadi fungsi ekonomi dipertegas oleh Kementerian Agama dengan meluncurkan Peta Jalan Kemandirian Pesantren (PJKP) di Auditorium HM Rasjidi, Kemenag, Jakarta, Selasa (4/5/2021).
PJKP ini memiliki empat tujuan sebagaimana disampaikan Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Kemenag Muhammad Ali Ramdhani, yaitu pertama, penguatan fungsi pesantren dalam menghasilkan insan-insan yang unggul dalam ilmu agama, keterampilan kerja, dan kewirausahaan; Kedua, penguatan pondok pesantren dalam mengelola unit bisnis sebagai sumber daya ekonomi; Ketiga, penguatan pesantren dalam menjalankan fungsi pemberdayaan masyarakat; Keempat, penguatan Kemenag, termasuk lembaga-lembaga lain, dalam mewujudkan pesantren.
Tagline 2021 adalah mewujudkan Pesantren Entrepreneur. Selanjutnya ada pilot program pada 2022 untuk terciptanya badan usaha milik pesantren (BUM-PES) dan santri entrepreneur dengan meluncurkan 100 badan usaha milik pesantren dan gerakan santri entrepreneur.
Dengan program ini, diharapkan pesantren mampu memenuhi kebutuhan operasionalnya dan menggerakkan para santri menjadi wirausahawan yang andal yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan di tengah masyarakat.
Pada satu sisi, hal ini akan menyibukkan para kiai dan santri untuk menciptakan produk unggulan yang mempunyai daya saing dalam menggerakkan perekonomian daerah. Tentunya hal ini akan berdampak pada waktu dan tenaga yang mestinya lebih difokuskan pada aktivitas pembelajaran dan pengkajian kitab menjadi teralihkan kepada aspek ekonomi.
Hal yang lebih memperihatinkan lagi, saat Peringatan Hari Santri Nasional 2021, kado Hari Santri diberikan Presiden dengan mengesahkan Perpres 82/2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren yang mengatur tentang dana abadi pesantren, yaitu dana yang dialokasikan khusus untuk pesantren dan bersifat abadi untuk menjamin keberlangsungan pengembangan pendidikan pesantren yang bersumber dan merupakan bagian dari dana abadi pendidikan.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 nomor 3 bahwa dana abadi tersebut dikelola untuk pengembangan fungsi pesantren, baik sebagai fungsi pendidikan, dakwah, maupun pemberdayaan masyarakat.
Keberadaan dana abadi ini tentunya untuk memuluskan peran pesantren dalam mengembangkan sektor ekonominya sehingga tidak ada alasan bagi pesantren tidak berdaya secara ekonomi karena tidak mempunyai dana.
Bagi pesantren yang telah mendapatkan dana abadi, kewajiban pesantren membuat pertanggungjawaban laporan keuangan yang tentunya akan makin menyibukkan dan menyita waktu. Jika pesantren tidak melaporkan, bahkan keliru dalam membuat laporan, ancaman pidana atas tuduhan penyelewengan dana atau korupsi akan tampak di depan mata.
Pada sisi lain, keberadaan dana abadi dari pemerintah bisa membuat pesantren tersandera dan takluk untuk kepentingan penguasa, utamanya untuk kepentingan politik praktis sehingga jadilah pesantren sebagai lumbung suara untuk kepentingan pilpres atau pilkada.
Kebijakan pemerintah dengan mengikutsertakan peran pesantren melalui program pemberdayaan ekonomi sesungguhnya menunjukkan ketakmampuan penguasa dalam menjamin kesejahteraan rakyat. Apalagi di tengah kondisi pandemi saat rakyat merasakan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Tingginya angka pengangguran dan sulitnya rakyat memenuhi kebutuhan hidup adalah akibat kesalahan penguasa dalam me-ri’ayah rakyatnya. Sejatinya, peran santri adalah pelopor kebangkitan umat karena kelebihan tsaqafah Islam yang dimilikinya, bukan sebagai pelopor pemberdayaan ekonomi.
Santri, Pelopor Kebangkitan Umat
Mengembalikan peran santri sebagai pelopor kebangkitan umat tidak bisa dipisahkan dari paradigma pendidikan Islam yang terbukti mampu mencetak para santri menjadi ulama yang andal dan perubah peradaban.
Tsaqafah Islam yang ada di dadanya adalah ‘amunisi’ untuk melenyapkan jahiliah modern, yaitu sekularisme, kapitalisme, dan liberalisme. Tsaqafah ini pun merupakan ‘obat’ untuk menyembuhkan berbagai “penyakit” di tengah umat, baik penyakit akidah, akhlak, sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain.
Umat butuh para santri untuk mendakwahkan Islam ideologis di tengah masyarakat. Dengan aktivitas itu, para santri memimpin umat untuk meraih kebangkitan, yaitu dengan menerapkan Islam kafah di dalam sistem Khilafah. Wallahualam.[]