Oleh: Hj. Isnaini, S.Si.
SuaraMubalighah.com, Opini — “Saya beragama Islam. Tapi saya tidak percaya bahwa umat Islam harus menjalankan syariat Islam,” ujar Ade Armando dikutip YouTube Cokro TV, Selasa (26/10/2021).[1]
Pernyataan tersebut ditanggapi Presiden Nusantara Foundation Muhammad Shamsi Ali yang menuding Ade telah mengingkari Islam karena tidak menjalankan syariat Islam.
Tidak lantas berhenti, Ade menanggapi Ali yang menyatakan dengan menolak syariat sudah mengingkari Islam. Syahadat, salat, puasa, haji, tidak makan makanan haram, serta tidak berzina adalah syariat. Menurut Ade, tidak semua muslim menjalankan syariat, misalnya tidak semua orang melakukan salat lima waktu. “Saya sih salat lima waktu walaupun saya tahu dalam Al-Qur’an tidak ada perintah salat lima waktu,” ujarnya.[2]
Bukan pertama kali Ade Armando yang merupakan Dosen Ilmu Komunikasi UI mengeluarkan statement kontroversial dan membuat gaduh. Kebebasan berpendapat adalah hal yang diakui di sistem demokrasi. Siapa pun bebas berpendapat walau bisa jadi berseberangan dengan norma agama Islam yang dianut mayoritas penduduk di negeri ini.
Padahal, bagi seseorang yang mengaku muslim, wajib mengikuti syariat yang Allah Swt. turunkan melalui Rasulullah saw., sebagaimana terdapat dalam firman-Nya:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْۗ وَمَن يَعْصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَٰلًا مُّبِينًا
“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.” (QS Al-Ahzab [33]: 36)
Begitu jelas makna dari ayat tersebut, serta ancaman jika mendurhakai Allah dan Rasul-Nya. Selain itu, ada perintah untuk masuk Islam secara kafah.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱدْخُلُوا۟ فِى ٱلسِّلْمِ كَآفَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah [2]: 208)
Dengan demikian, jelaslah posisi seorang muslim harus melaksanakan seluruh aturan Allah Swt. (syariat) yang Rasulullah saw. bawa dan contohkan tanpa terkecuali sebagai bentuk ketaatan kepada-Nya.
Memang demikianlah seharusnya seorang yang mengaku muslim, yakni melakukan seluruh amal perbuatannya berdasarkan aturan Allah Swt.; bukan pada kebiasaan, rasa suka, ataupun lainnya karena akan menjauhkan kaum muslimin dari Allah Swt. yang berujung kenestapaan dan kehancuran.
Sebagaimana Rasulullah saw. amanatkan kepada umatnya menjelang kepergiannya, “Sesungguhnya telah aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang tidak akan tersesat selagi (kalian) berpegang teguh dengan keduanya, yaitu Al-Qur’an dan Sunahku.” (HR Muslim no. 1218)
Sudah demikian jelas perintah untuk taat kepada syariat-Nya, maka kaum muslimin harus berusaha semaksimal mungkin untuk melakukannya dan tidak menyelisihi dalam perkara-perkara yang sudah pasti dan tidak ada perbedaan pendapat.
Jika ada masalah-masalah yang tidak didapati pada masa Rasulullah saw. masih hidup dan masa Khulafaurasyidin, harus dilakukan penggalian hukum atas masalah tersebut oleh orang-orang yang berkemampuan dalam hal itu. Hal ini sebagaimana dicontohkan para ulama terdahulu, bukan berdasarkan logika semata atau bahkan mengikuti perasaan.
Demikianlah, hal ini berlaku untuk setiap masalah atau perbuatan. Tidak cukup hanya melihat perbuatan atau sesuatu itu baik atau menyenangkan secara perasaan, tetapi tetap harus mengacu pada ketentuan syariat-Nya. Dengan demikian, harus mencermati setiap masalah atau perbuatan tersebut, apakah sesuai dengan syariat atau tidak?
Penempelan kata “syar’i” pada suatu aktivitas atau muamalah tetap harus dengan memahami fakta-faktanya, apakah sesuai syariat atau tidak? Untuk itulah, kaum muslimin butuh untuk terus mengkaji Islam beserta aturan-aturannya agar tidak terjatuh ke dalam dosa, sementara ia merasa sudah melakukan yang benar.
Para mujtahid—orang-orang yang berkemampuan menggali hukum atas masalah-masalah yang baru ditemukan—harus memiliki kriteria yang akan membantunya menggali hukum. Karena Al-Qur’an turun dalam bahasa Arab dan Rasulullah saw. adalah orang Arab, maka harus paham bahasa Al-Qur’an hingga balagahnya (sastra), serta memahami hadis-hadis Rasulullah saw. dan sebab turunnya ayat (asbabun nuzul) menjadi kriteria yang harus dimiliki seorang mujtahid. Hal ini agar tidak salah dalam mengambil hukum.
Sedemikian banyak persyaratan bagi seorang mujtahid, maka bagi yang tidak berkemampuan dalam hal tersebut diharuskan mengikuti hukum yang dihasilkan dan tidak membuat penafsiran sendiri yang malah bisa mengacaukan, bahkan menyesatkan.
Di sistem demokrasi saat ini, kebebasan berpendapat menjadi sesuatu yang dianggap biasa, maka kaum muslimin harus berhati-hati dan tidak boleh menelan informasi mentah-mentah, harus kembali merujuk kepada Syariat-Nya.
Sistem demokrasi adalah sistem sekuler—memisahkan agama dari kehidupan. Artinya, agama hanya berlaku di rumah-rumah ibadah, serta ruang privat. Sementara, yang berlaku di kehidupan umum adalah aturan buatan manusia. Oleh sebab itu, pernyataan-pernyataan yang bertolak belakang dengan syariat adalah hal yang dianggap biasa.
Kebebasan beragama dan bertingkah laku adalah hal yang dijamin dalam sistem demokrasi. Orang bisa berpindah agama atau bertingkah laku yang nyeleneh juga diberi ruang. Di sinilah kaum muslimin harus memiliki pemahaman yang benar tentang agamanya agar tidak mudah melakukan kemaksiatan tanpa disadarinya.
Terlebih, saat ini, anggapan semisal “semua agama benar, tidak boleh merasa paling benar dalam agamanya’ dan lain-lain adalah hal yang harus diwaspadai. Sebab hal ini akan menjauhkan kaum muslimin dari pemahaman yang benar. Pernyataan-pernyataan tersebut sering digunakan untuk tidak mempermasalahkan agama-agama yang ada sekaligus membuka ruang orang berpindah agama sesuai keinginannya.
Islam memang tidak memaksa orang untuk masuk Islam (QS 2: 286), tetapi juga tidak memperbolehkan orang keluar dari agama Islam seenaknya hanya karena menganggap semua agama sama lalu berpindah agama. Inilah salah satu bentuk moderasi beragama dengan berlindung pada dalih kebebasan beragama.
Pernyataan Ade Armando terkait syariat Islam juga membahayakan akidah umat karena termasuk moderasi Islam. Hal inilah yang membuat umat memilih syariat yang disukainya, sementara perintah pada QS 2: 208 tentang Islam kafah sudah sangat jelas. Jika hal ini dibiarkan, bukan tidak mungkin umat Islam akan makin jauh dari ajarannya, tidak memahami syariat yang Allah Swt. inginkan, bahkan keluar dari akidah Islam.
Oleh karena itu, amatlah penting bagi umat Islam untuk terus mengkaji ajaran agamanya agar mampu meraih rida Allah Swt., yakni dengan menjadikan Rasulullah saw. sebagai teladan dalam menjalani kehidupan.
Hal ini agar umat mampu menjadi muslim dengan kepribadian Islam sejati, kepribadian yang unik karena menyatukan pemikiran dan perasaannya semata untuk syariat Islam. Bukan kepribadian yang kacau: rajin beribadah, tetapi juga menyangsikan aturan syariat lainnya. Wallahu a’lam bishshawwab.[]
Referensi:
[1] https://fajar.co.id/2021/10/26/ade-armando-saya-muslim-tapi-tidak-percaya-umat-islam-wajib-jalankan-syariat-islam/
[2] https://www.republika.co.id/berita/r2159p385/ade-armando-perintah-salat-5-waktu-tak-ada-dalam-alquran