Assalamu’alaikum wr. wb.. Sebagaimana pemerintah menargetkan bahwa 2022 sebagai tahun toleransi, hingga anak usia dini pun ditanamkan paham toleransi. Lebih-lebih mendekati bulan Desember toleransi antarumat beragama lebih digencarkan, hingga pada anak usia dini diajarkan untuk mengucapkan Natal, memberi/menerima hadiah Natal, dll.. Bagaimana Islam memandang persoalan ini? (Ummu Naura, Yogyakarta)
Jawaban
Waalaikumussalam wr. wb., Ummu Naura rahimakumullah.
Penanaman toleransi adalah bagian dari pengarusan moderasi beragama yang memang dirancang untuk diaruskan sejak usia dini. Hal ini sebagaimana misalnya disampaikan oleh Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Madrasah Kementerian Agama Muhammad Zain dalam materi peningkatan Pendidikan Anak Usia Dini bagi guru RA di Bogor (Selasa, 16/3/2021).
Zain mengatakan bahwa pendidikan moderasi beragama perlu diajarkan sejak dini. Pengajaran moderasi ini merupakan bagian dari pendidikan karakter bagi anak. “Injeksi pemahaman moderasi beragama ke dalam materi pembelajaran bagi anak usia dini adalah sebagai upaya pendalaman pendidikan karakter,” ujarnya.
Oleh karena itu, bagi mereka, Desember 2021 menjadi momen yang pas untuk memastikan ketercapaian target yang dicanangkan pemerintah bahwa 2022 sebagai tahun toleransi. Hal ini dipandang penting karena toleransi dianggap sebagai sikap yang lahir dari moderasi beragama.
Implementasi toleransi antarumat beragama di antaranya akan tecermin dalam peringatan Natal pada Desember. Dengan demikian, anak diajarkan untuk mengucapkan selamat Natal kepada temannya yang sedang merayakan, memberi/menerima hadiah, dll., sementara ia berlainan agama.
Tentu ini sangat berbahaya bagi anak, terutama pada anak usia dini, bahkan bagi generasi dan umat karena nyata-nyata telah mencampurkan antara yang hak dan batil (talbisul haq bil bathil). Saling memberikan ucapan selamat adalah hak dan suatu kemuliaan, begitu pun saling memberikan hadiah jika itu dilakukan dengan sesama muslim. Akan tetapi, jika dilakukan oleh orang yang berbeda agama dalam rangka memperingati hari raya agamanya, jelas ini adalah pencampuran agama.
Dalam sebuah kisah dari hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan bahwa suatu hari Rasulullah didatangi beberapa orang dari kalangan kafir Quraisy. Mereka adalah Umayyah bin Khalaf, Al-Walid bin Mughirah, Al-‘Ash bin Wail dan Al-Aswad Ibnul Muthallib. Keempat pria terpandang Quraisy itu menawarkan sebuah kesepakatan toleransi kepada Rasulullah.
“Wahai Muhammad, bagaimana jika kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian muslimin juga beribadah kepada Tuhan kami? Kita saling bertoleransi dalam segala permasalahan agama. Apabila ada sebagian dari ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, maka kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, apabila ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.”
Menjawab tawaran itu, Rasulullah mendapat wahyu dari Allah Swt. “Katakanlah (wahai Muhammad kepada orang-orang kafir), ‘Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu dan untukku agamaku.” (TQS Al-Kafirun: 1—6).
Dalam kisah tersebut menjadi gambaran ditolaknya tawaran toleransi oleh Rasulullah. Yang mana menunjukkan Islam sangat menjunjung toleransi, namun dengan catatan harus terlepas dari pokok-pokok agama. Bahwa tidak ada agama selain Islam, itulah hal utama yang menjadi landasan untuk bersikap. Dalilnya sebagaimana Allah berfirman,
ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا
Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridai Islam sebagai agama bagimu.” (QS Al-Maidah: 3).
Lalu, bagaimana toleransi yang tepat kepada nonmuslim? Rasulullah telah mengajarkannya dan menjadi suri teladan perihal ini. Beliau menyikapi berbeda kepada masing-masing jenis kafir.
Ada empat jenis kafir yang dibedakan karena sikap mereka kepada muslimin dan bagaimana muslimin bertoleransi kepada mereka. Allah Swt. berfirman,
لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (QS Al-Mumtahah : 8).
Berikut pembagian kafir dalam Islam dan bagaimana bermuamalah dan bertoleransi terhadap mereka.
1) Kafir Dzimmi
Yaitu orang kafir yang tinggal di negeri kaum muslimin namun dijamin keamanannya selama ia menaati peraturan negara Islam (Daulah/Khilafah). Mereka membayar jizyah atau pajak kepada Khalifah hingga darahnya haram diperangi dan justru harus dilindungi.
Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa membunuh seorang kafir dzimmi, maka dia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.” (HR Imam Nasa’i).
2. Kafir Mu’ahad
Yaitu kafir yang menjalin kesepakatan dengan kaum muslimin dalam kurun waktu yang disepakati. Ikatan perdamaian ini membuat darah mereka haram ditumpahkan. Mereka tidak boleh diperangi selama ikatan perjanjian disepakati.
Sebagaimana kepada kafir dzimmi, Rasulullah pun bersabda, “Barang siapa yang membunuh kafir Mu’ahad ia tidak akan mencium bau surga dan sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.” (HR Imam BukharI, Imam Nasa’i, dan Imam Ibnu Majah).
Dalam hadis lain, beliau bersabda, “Ingatlah, barang siapa yang menzalimi seorang mu’ahad, merendahkannya, membebaninya di atas kemampuannya atau mengambil sesuatu darinya tanpa keridhaan dirinya, maka aku adalah lawan bertikainya pada hari kiamat.” (HR Imam Abu Dawud dan Imam Baihaqi).
3. Kafir Musta’man
Yaitu kafir yang dijamin keamanannya oleh kaum muslimin. Selama mereka dijamin keamananya, maka ia pun harus diperlakukan dengan baik dan tak boleh diperangi.
Allah berfirman, “Jika seorang di antara kaum musyrikin meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia agar ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (QS At-Taubah: 6).
4. Kafir Harbi
Inilah jenis kafir yang berbeda dari tiga sebelumnya. Jika dzimmi, mu’ahad, dan musta’man dilindungi dan tidak boleh diperangi, maka kafir harbi justru diperangi sesuai dengan ketentuan syar’i. Hal ini disebabkan kafir harbi merupakan golongan musyrikin yang memerangi muslimin. Keberadaan mereka membahayakan muslimin dan selalu memusuhi dan menyerang umat Islam.
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Alkitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS At-Taubah: 29)
Dari sini jelaslah bahwa kaum muslimin hanya diperbolehkan memusuhi kafir harbi. Mereka yang memerangi dan memusuhi umat Islam, bukanlah pihak yang perlu ditoleransi lagi. Adapun tiga golongan kafir sebelumnya, maka Rasulullah berinteraksi dengan baik sebagaimana terhadap muslimin, dalam batasan yang tidak berada di ranah agama. Yaitu kembali pada ketentuan, “Bagiku agamaku dan bagimu agamamu.”
Toleransi yang diajarkan oleh Rasulullah bukan toleransi sebagaimana yang dimaksud dalam proyek moderasi beragama saat ini. Di mana orang Islam mengucapkan selamat Natal, saling memberi hadiah, hingga ikut menghadiri Natal bersama yang jelas-jelas dilarang dalam Islam.
Pada akhirnya, moderasi beragama faktanya adalah hendak menghilangkan sebagian ajaran Islam karena dipandang tidak sejalan dengan nilai-nilai Barat. Sejak zaman Rasul tidak ada paham pluralisme yang membenarkan semua agama. Rasulullah berdakwah mengajak umatnya untuk masuk Islam dengan dakwah tanpa kekerasan. Menghargai perbedaan berbeda dengan membenarkan perbedaan apalagi menyangkut keyakinan.
Pepatah mengatakan, “Belajar di waktu muda bagaikan mengukir di atas batu, dan belajar di waktu tua bagaikan mengukir di atas air.” Makna pepatah tersebut adalah jika kita mengajarkan sesuatu kepada anak sejak dini, insyaallah mereka akan terus mengingatnya sampai mereka kelak dewasa nanti.
Oleh karena itu, yang seharusnya ditanamkan kepada anak sejak usia dini adalah Islam kafah, bukan justru toleransi dan moderasi beragama. Moderasi beragama sangat bertentangan dengan akidah Islam, yakni sejatinya bukan berasal dari Islam. Moderasi beragama adalah proyek Barat kapitalis penjajah untuk menjaga eksistensi ideologi dan penjajahan mereka atas umat Islam dan negeri-negeri muslim. Wallahualam.[]