Oleh: Kholishoh Dzikri
SuaraMubalighah.com, Takbir Afkar – Berdasarkan istilah syar’i, kata Khilâfah merupakan padanan bagi kata imâmah dan imârah al-mu’minîn. Syekh al-‘Allamah Muhammad Najib al-Muthi’i dalam kitab Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab mengatakan, “Al-Imâmah, Al-Khilâfah, dan Imâratul-Mu’minîn adalah sinonim.”
Kata Khalîfah, sebagai sebutan bagi pemimpinnya, juga merupakan sinonim bagi kata imâm dan kata amîr al-mu’minîn.
Asy-Syekh al-Muhaddits Muhammad ‘Abdul Hayyi al-Kattani dalam kitab Nizham al-Hukumah al-Nabawiyyah menjelaskan, “Pemimpinnya disebut Khalifah karena ia adalah pengganti (Arab: Khalîfah) Rasulullah saw. disebut juga imâm karena menjadi imam dan khathib pada masa Rasul saw. dan Khulafaurasyidin. Ini adalah kelaziman. Tidak ada yang boleh menggantikannya melainkan dengan cara perwakilan, sebagaimana dalam peradilan dan pemerintahan; juga disebut Amîrul-Mu’minîn.”
Dari sini jelas, Khilafah, Imamah, dan Imaratul Mukminin adalah sama, yaitu kepemimpinan umum bagi kaum muslim seluruhnya di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam, serta mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia (Dr. Muhammad al-Khalidi, Qawai’id Nizham al-Hukmu fi al-Islam, hlm. 229—230).
Khalifah, Imam, dan Amirulmukminin juga maknanya sama, yaitu untuk menyebut pemimpinnya. Khalifah juga dikenal dengan al-Imâm al-A’zham (pimpinan tertinggi).
Khilafah merupakan bentuk kepemimpinan yang khas, setidaknya dalam 5 (lima) poin.
Pertama, kepemimpinan umum yang berlaku atas seluruh umat Islam di berbagai penjuru dunia. Kedua, kepemimpinan yang mencakup urusan agama sekaligus dunia, tidak sebatas dalam urusan agama saja sebagaimana kepausan dalam agama Nasrani, juga bukan sekadar dalam urusan dunia saja seperti kepemimpinan dalam sistem sekuler demokrasi yang menyerahkan urusan agama kepada individu. Ketiga, kepemimpinan yang menjadikan kemaslahatan akhirat sebagai tolak ukurnya sehingga hanya mengacu pada syariat Islam dalam mengatur urusan rakyat. Keempat, kepemimpinan yang mengemban misi dakwah Islam ke seluruh penjuru alam. Kelima, kepemimpinan yang menaungi masyarakat umum dan khusus, termasuk di dalamnya nonmuslim.
Peran dan bentuk kepemimpinan yang demikian telah diemban dan dijalankan Nabi Muhammad saw. hingga beliau wafat. Khilafah sejatinya hanya melanjutkan “tongkat estafet” dari format kepemimpinan Nabi Muhammad saw. sepeninggal beliau. Oleh karena itu, format kepemimpinan dalam bentuk Khilafah Islamiah bersifat baku, tidak akan berubah karena sifatnya mengikuti format kepemimpinan yang telah ditentukan oleh Rasulullah Muhammad saw..
Lima poin ini hanya ada dalam sistem Khilafah yang tidak akan dimiliki oleh sistem pemerintahan sekuler demokrasi. Apa pun bentuk pemerintahannya, apakah monarki, republik, keemiran, kesultanan, dsb. sehingga tidak benar pernyataan bahwa kepemimpinan dalam Islam bersifat dinamis sesuai kesepakatan dan pertimbangan kemaslahatan agama dan pengaturan dunia.
Khilafah adalah ajaran Islam sebagaimana salat, zakat, puasa, haji, dan lainnya. Semua ulama ahlusunah sepakat bahwa Khilafah adalah ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an, Sunah, Ijmak, dan Qiyas.
Dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 30, Allah Swt. telah berfirman,
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً…
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Sungguh Aku akan menjadikan di muka bumi Khalifah.'”
Imam Qurthubi menafsirkan ayat ini bahwa wajib atas kaum muslim untuk mengangkat seorang imam atau Khalifah. (Imam Qurthubi, Aljâmi’ li Ahkâm Alquran, 1/264).
Allah Swt. telah berjanji bahwa Khilafah akan tegak kembali dalam firman-Nya,
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ
“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa…” (QS An-Nur: 55)
Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata, “Ini merupakan janji dari Allah kepada Rasul-Nya, bahwa Dia akan menjadikan umatnya sebagai khalifah di muka bumi, yakni menjadi para pemimpin manusia dan penguasa mereka. Dengan mereka para khalifah, negeri akan menjadi baik dan semua hamba akan tunduk kepada mereka. Dan Allah akan menukar keadaan mereka sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa dan menjadi penguasa atas manusia.” (Tafsir Ibnu Katsir, VI/77).
Rasulullah Muhammad saw. telah memberikan busyra (kabar gembira) akan tegaknya kembali khilafah dalam sebuah hadis sahih berikut ;
ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ نُبُوَّةٍ
“... Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti tuntunan kenabian. Setelah itu, beliau diam”. (HR Ahmad dalam Musnad-nya, semua perawinya adalah tsiqqat).
Adapun ijmak Sahabat, telah disampaikan oleh Imam al-Haitami, “Sungguh para Sahabat—semoga Allah meridai mereka—telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah zaman kenabian berakhir adalah wajib. Bahkan, para Sahabat menjadikan upaya mengangkat imam/khalifah sebagai kewajiban paling penting.”
Jadi, tidak diragukan lagi bahwa Khilafah adalah ajaran Islam dan tegaknya kembali adalah sebuah kepastian.
Hukum Menegakkan Khilafah Fardu Kifayah
Khilafah sesungguhnya bukan istilah asing dalam khazanah keilmuan Islam. Seluruh ulama ahlusunah pun telah mewajibkan tegaknya Khilafah demi terlaksananya seluruh syariat Islam.
Dalam kitab ‘Al Imamah al Udzma ‘inda Ahli as Sunnah wa al Jamaah’ (1987) karya ulama besar asal Makkah, Prof. Dr Abdullah bin Umar Dumaiji, menyajikan olahan kitab-kitab rujukan tentang konsep kepemimpinan dalam Islam, bahkan secara gamblang membahas Khilafah sebagai sistem pemerintahan yang Allah fardukan atas kaum muslimin.
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menyebutkan dalam kitab Nizhamul Hukmi fil Islam, mendirikan negara (Khilafah) adalah fardu kifayah bagi kaum muslim. Ini suatu yang pasti dan tidak ada pilihan dalam rangka menegakkannya. Mengabaikan pelaksanaannya merupakan kemaksiatan yang paling besar dan Allah Swt. akan mengazab dengan azab yang amat pedih.
Imam al- Qurthubi menyebutnya sebagai ‘a’dzamul waajibat yaitu kewajiban paling agung.
Ibn Hajar al-Asqalani dari mazhab Syafii menyebutkan dalam kitab Fathu al-Bari bahwa para ulama telah bersepakat wajib mengangkat seorang khalifah dan kewajiban itu adalah berdasarkan syariah, bukan akal.
Demikian juga dalam kitab Nayl-al-Authar, Imam ‘Ali asy-Syaukani menjelaskan Mayorias ulama berpendapat Imamah itu wajib. Karena itu menurut Itrah (Ahlul Bait), mayoritas Muktazilah dan Asy’ariyah, [Imamah/Khilafah] itu wajib menurut syariah.
Dan masih banyak lagi kitab-kitab muktabar yang menjelaskan bahwa semua ulama Ahlus Sunnah dari zaman dahulu hingga sekarang sepakat, bahwa hukum menegakkan Khilafah dan mengangkat seorang khalifah adalah wajib atas kaum Muslim.
Lalu atas dasar apa seseorang yang mengaku Ahlusunah menolak Khilafah dan memusuhinya?
Bersegera Mewujudkan Janji Allah
Khilafah adalah janji Allah Swt. yang pasti tegak karena Allah Swt. tidak akan menyelisihi janjinya.
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُخْلِفُ ٱلْمِيعَادَ
“ … Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji.” (QS Ali-Imran: 9)
Busyra (kabar gembira) dari Rasulullah pun pasti akan terwujud. Sebagaimana kabar akan ditaklukkannya Konstantinopel yang disampaikan pada saat beliau sedang menggali parit untuk persiapan Perang Khandak.
“Sesungguhnya Konstantinopel itu pasti akan dibuka (dibebaskan). Sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya, dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya.” (HR Bukhari).
Umat Islam tidak berdiam diri menunggu dan bukan tidak ingin segera mewujudkan khabar dari Rasulullah tersebut. Namun berdasarkan keyakinan yang kuat akan kabar gembira tersebut
melahirkan upaya serius seorang pemuda muslim, Muhammad al-Fatih bersama pasukan yang dipimpinnya berhasil memindahkan 70 kapal melewati bukit hanya dalam waktu semalam untuk menembus jantung pertahanan Konstantinopel hingga berhasil ditaklukkan pada 29 Mei 1453. Janji Allah dan busyra Rasulullah saw. telah terbukti 8 abad kemudian sejak dikabarkan oleh Rasulullah saw. .
Upaya penaklukan Konstantinopel tidak hanya dilakukan oleh Muhammad al-Fatih saja, namun upaya itu telah dilakukan oleh umat Islam sebelumnya. Upaya penaklukan Konstantinopel telah dilakukan sebelumnya sedikitnya sebanyak 8 kali oleh umat Islam. Lima kali pada dinasti Umayyah, satu kali pada Dinasti Abbasiyah, dan dua kali pada masa Utsmaniyah.
Demikian juga tegaknya Khilafah adalah janji Allah dan busyra Rasulullah saw. yang wajib diperjuangkan. Ini dibuktikan dengan sikap sahabat yang bersegera bermusyawarah untuk memilih pemimpin pengganti (khalifah) Rasul SAW dalam mengurus urusan dunia (daulah Islam/negara)) dengan menunda (sementara) kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah SAW (Al-Haitami, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, hlm. 7).
Ketika keyakinan sudah terpatri bahwa Khilafah ajaran Islam dan menegakkannya adalah sebuah kewajiban maka selayaknya bersegera dengan penuh kesungguhan untuk menunaikan kewajiban tersebut. Sebagaimana sikap seorang Muslim bersegera menunaikan kewajiban Islam lainnya seperti shalat fardlu dan puasa Ramadan. Segenap kemampuan akan dicurahkan agar kewajiban tersebut sempurna dikerjakan, tidak menundanya, tidak menyepelekannya, apalagi berani meninggalkannya. Sikap abai terhadap kewajiban adalah perkara yang dilarang dan akan menghantarkan kerugian di dunia dan azab di akhirat kelak.
Bersegera menegakkan Khilafah adalah bagian dari perintah Allah Swt. dalam firmannya,
وَسَارِعُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَةٖ مِّن رَّبِّكُمۡ وَجَنَّةٍ عَرۡضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلۡأَرۡضُ أُعِدَّتۡ لِلۡمُتَّقِينَ
”Bersegeralah kalian meraih ampunan dari Tuhan kalian dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk kaum yang bertakwa”. (QS Ali Imran : 133).
Ayat ini mengandung kiasan (al-majâz al-mursal bi al-’alâqah al-musabbabiyyah) bahwa Allah SWT memerintahkan hamba-Nya untuk bersegera meraih ampunan-Nya. Yang dimaksud adalah bersegera melakukan amal saleh yang membuahkan ampunan-Nya, sebagaimana perintah berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqû al-khayrât) (lihat QS al-Baqara : 148). Ini berdasarkan petunjuk (qarînah) sabda Rasulullah SAW :
بَادِرُوا ِبالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ، يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا، أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا، يَبِيعُ دِينَه بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا
”Bersegeralah kalian melakukan amal shalih. Akan ada suatu masa ketika muncul berbagai fitnah seperti potongan malam gelap gulita. Saat itu seseorang beriman pada waktu pagi dan kafir pada sorenya; beriman pada waktu sore dan kafir pada paginya. Dia menjual agamanya dengan harga dunia”. (HR Muslim dan Ahmad).
Bersegera menegakkan Khilafah untuk mewujudkan janji Allah SWT adalah bentuk pelaksanaan perintah Allah dan RasulNYa bukan tindakan tergesa-gesa, apalagi dikatakan akan terseret pada tindak radikal.
Terlebih lagi ada larangan Kaum Muslimin tidak boleh kosong dari kekhalifahan selama tiga hari sebagaimana Ath-Thabari meriwayatkan bahwa Umar Ibn Al-Khattab ra. menegaskan pentingnya pembatasan waktu selama tiga hari untuk mengangkat khalifah dengan mengatakan: “Jika saya meninggal maka bermusyawarahlah kalian selama tiga hari. Hendaklah Suhaib yang mengimami salat masyarakat. Tidaklah datang hari keempat, kecuali kalian sudah harus memiliki amir (khalifah).” (Al-Khalidi, Qawâid Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 256).
Sementara saat ini sudah 97 tahun umat Islam hidup tanpa Khilafah. Artinya sudah sekian lamanya umat Islam menanggung dosa atas ketiadaan Khilafah Islamiyah. Oleh karena itu sudah seharusnya bersegera menegakkan kembali Khilafah Islamiyah sebagai bentuk pelaksanaan kewajiban, tidak berpangku tangan dengan sekedar menunggu. Waallahu a’lam.[]