Oleh: Mahganipatra
SuaraMubalighah.com, Opini — “Tak perlu diragukan lagi bahwa harapan terakhir misi Kristen hanyalah melakukan perubahan sikap atas umat muslim sedemikian rupa sehingga mereka mau bertoleransi.” Demikian rekomendasi Dr. Cragg, seorang tokoh Misionaris asal Inggris setelah menyadari sulitnya mengubah keyakinan umat Islam. (Maryam Jameela. Islam and Orientalism. Sunnat Nagar Press. 1981).
Saran Cragg ini menjadi peta global bagi Barat dan kaki tangannya untuk mengubah sikap umat Islam, khususnya di Indonesia. Barat dan kaki tangannya terus berupaya merancang cara agar umat Islam menjauhi ajaran agama Islam dan mengubah sudut pandang mereka terhadap agamanya dengan bersikap sesuai arahan Barat.
Melalui berbagai program yang bersifat sistemis, yaitu moderasi beragama, pemerintah berhasil membuat kebijakan dengan melibatkan organisasi NGO, serta swadaya masyarakat yang mampu memengaruhi opini dan sudut pandang masyarakat.
Hal ini terbukti dengan suksesnya pemerintah Bekasi Raya membuat Perda Pesantren Bekasi dan menggandeng salah satu pondok pesantren di Bekasi untuk menyelenggarakan acara Camp Lintas Iman.
Camp Lintas Iman
Camp Lintas Iman adalah sebuah kegiatan perkemahan yang melibatkan ratusan remaja dan pemuda SMA dan kuliah. Mereka yang hadir di acara tersebut memiliki latar belakang agama dan keyakinan yang berbeda.
Program ini digagas sejak 2005 oleh komunitas Jaringan Kerja Antarumat Beragama (Jakatarub) yang bekerja sama dengan Gereja Kristen Indonesia (GKI). Hal ini dalam rangka merespons permasalahan toleransi dan kerukunan antarumat beragama yang sering menjadi isu krusial di negeri ini.
Konsep utama mereka adalah melibatkan dan mempertemukan sebanyak mungkin agama dan keyakinan—termasuk Ahmadiyah dan Syiah—secara langsung agar terjadi dialog antarumat beragama.
Melansir nuonline.com, Pesantren Motivasi Indonesia (PMI) atau Istana Yatim Nurul Mukhlisin yang berdiri sejak 2012 silam telah menyelenggarakan Camp Lintas Iman pada Jumat (12/11/2021. Pengasuh pesantren ini adalah K.H. Ahmad Nurul Huda Haem, salah seorang pengurus di Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
Pesantren dengan tagline “love all serve all” (mencintai semua, melayani semua) telah merancang metode pendidikan para santri dengan dorongan mencintai kemanusiaan secara total dan melayani kemanusiaan dengan dorongan untuk menumbuhkan rasa cinta layaknya keluarga dan saudara tanpa pandang bulu.
Pesantren ini sering dikunjungi berbagai golongan dan keyakinan, baik untuk sekadar bersilaturahmi maupun membuka ruang diskusi kebangsaan dan keindonesiaan dengan membuka ruang dialog lintas agama dan lintas iman.
Selain itu, pesantren ini juga memiliki program pendidikan untuk menyelenggarakan tur studi lintas agama sebagai program tahunan dan menyelenggarakan program Camp Lintas Iman. Ini bertujuan agar para santri mendapatkan pendidikan toleransi dan mengenalkan arti kerukunan, serta menghargai dan menghormati pemeluk agama lain sesuai dengan sudut pandang dari berbagai perspektif agama.
Dengan demikian, output dari program ini mampu mengubah sudut pandang para santri, yaitu membentuk pemikiran generasi muslim sesuai dengan keinginan Barat dan siap menjadi agen Barat untuk menjalankan ajaran Islam sesuai pemahaman Barat—yang telah mengubah ajaran Islam menjadi ajaran Islam moderat.
Miris, pesantren yang semestinya menjadi tempat untuk mempelajari berbagai disiplin ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pemikiran-pemikiran Islam dan tsaqafah Islam justru menjadi tempat berkumpulnya berbagai agama dan kepercayaan. Bisa dibayangkan, jika setiap lulusan pesantren akan menjadi dai, ustaz, pengelola masjid dan musala, guru atau dosen keislaman, pengurus ormas Islam atau bidang lain yang terkait dengan keagamaan. Mereka akan berkiprah mendakwahkan Islam dari tingkat akar rumput sampai tingkat nasional.
Melalui otoritas pengetahuan dalam bidang agama yang telah mereka peroleh selama di pesantren, mereka memiliki tugas besar untuk menjadi corong umat. Harapannya apa yang mereka sampaikan kepada masyarakat akan didengar dan dipatuhi.
Apa jadinya nasib generasi muslim sebagai penerus estafet kepemimpinan umat jika ternyata pesantren tempat mereka menimba ilmu justru tempat mereka dibentuk menjadi agen-agen Barat untuk menyampaikan paham Islam moderat sebagai senjata untuk menghancurkan Islam. Akankah Umat Islam mampu mempertahankan ajaran Islam dan siap menyongsong kebangkitan Islam?
Senjata untuk Menghancurkan Umat Islam
Toleransi merupakan kata yang berasal dari Barat. Secara bahasa, “toleransi” berasal dari kata “tolerance” yang maknanya adalah ‘to enduce without protest’ (menahan perasaan tanpa protes).
Kata “tolerance” kemudian diadopsi ke dalam bahasa Indonesia menjadi “toleransi” yang berasal dari kata “toleran”. Kata ini mengandung arti ‘bersikap atau bersifat menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan yang berbeda atau yang bertentangan dengan pendiriannya. (KBBI V).
Kata “toleransi” menjadi framing di negeri ini seiring bergulirnya isu-isu yang terus berkembang, seperti radikalisme, terorisme, ataupun ekstremisme. Kata toleransi dikemas sedemikian rupa dalam berbagai peristiwa, menjadi alat dan senjata untuk menyerang pihak-pihak yang dianggap menghalangi kebebasan orang-orang yang berpaham liberal yang menganut kebebasan tanpa batas dengan menerjang norma-norma agama.
Kaum liberal yang ada di Indonesia menggunakan isu sentral pemisahan agama dari politik (sekuler), demokrasi, pluralisme, HAM, kesetaraan gender, kebebasan penafsiran teks agama, dan moderasi beragama yang menjadi fokus utama.
Selanjutnya, melalui program moderasi beragama, kaum liberal yang berada dalam pemerintahan juga menggunakan supremasinya untuk memaksa, melibatkan, dan mendorong seluruh elemen umat Islam agar mau menerima Islam moderat.
Dengan berbagai aturan dan teknis, moderasi beragama resmi menjadi program pemerintah yang harus didukung umat Islam dan masuk ke tubuh umat Islam. Oleh karenanya, umat Islam yang tidak paham akan menjalankan ajaran agamanya sesuai keinginan mereka.
Melalui berbagai lembaga termasuk lembaga pesantren mereka terus gencar membentuk opini dan menjadikan moderasi agama sebagai bi’ah (kebiasaan) di tengah-tengah masyarakat. Bahkan, tidak jarang, ketika umat Islam menolak pendapat mereka, mereka tidak segan-segan menuduh dan memberikan label kepada para pemeluk agama yang memiliki keyakinan yang teguh terhadap agamanya sebagai ‘orang-orang yang intoleran dan radikal’.
Terutama kepada para pemeluk agama Islam yang memahami bahwa Islam adalah agama yang bersifat politis dan memiliki keinginan untuk menerapkan syariat Islam di dalam seluruh aspek kehidupan. Mereka menjadi target sebagai musuh utama yang wajib diwaspadai sekaligus diserang sehingga pada akhirnya moderasi agama juga termasuk salah satu alat dan senjata untuk memecah belah umat Islam.
Khilafah, Perisai Umat Islam untuk Menyelamatkan Generasi Muslim
Gencarnya serangan arus moderasi sebagai alat dan senjata yang menyerang umat Islam jika dibiarkan akan menjadikan umat Islam lemah. Sebab moderasi beragama sejatinya bukan upaya untuk memoderasi agama akan tetapi justru memoderasi pemahaman dan pengamalan di dalam beragama. Dengan memoderasi cara pandang, sikap dan praktik beragama berdasarkan ayat-ayat konstitusi negara sebagai landasan berbangsa dan bernegara di atas ayat suci Al-Qur’an. Moderasi beragama merupakan paham yang sangat berbahaya.
Umat Islam tidak boleh lengah dan berdiam diri menghadapi upaya dan serangan dari para pembenci Islam. Umat Islam harus melawan moderasi beragama dengan cara melakukan optimalisasi dakwah. Terutama dari para ulama dan tokoh mubaligah sebagai warasatul anbiya. Mereka harus menggalang persatuan dan kesatuan umat untuk menjadi garda terdepan melindungi pemikiran umat Islam.
Menjadi tugas yang sangat penting bagi para mubaligah untuk menyampaikan bahwa ajaran Islam adalah sebuah ajaran yang memiliki sistem aturan yang bersifat komprehensif dan solutif. Ajaran Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, mulai dari aspek individu, keluarga, juga negara. Oleh karena itu, hal ini harus tersampaikan kepada umat Islam sehingga umat memiliki pemahaman Islam secara kafah.
Selain itu, para tokoh mubaligah juga harus mampu meyakinkan umat bahwa masalah multidimensi yang sedang menimpa umat Islam adalah karena mereka telah jauh meninggalkan ajaran Islam. Umat Islam telah terjebak oleh rekayasa Barat dan para agen Barat yang membenci umat Islam. Mereka telah masuk ke dalam sebuah sistem kehidupan yang sengaja diciptakan oleh Barat dengan menjadikan asas aturan kehidupan manusia terpisah dengan sistem aturan agama (sekularisme), dan mengambil sistem demokrasi sebagai sistem aturan pemerintahan yang di dalamnya meniscayakan penerapan aturan buatan manusia sebagai landasan aturan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam ajaran Islam, umat Islam wajib tunduk dan taat pada seluruh aturan syariat Islam sebagai sebuah kewajiban sekaligus merupakan bagian dari konsekuensi keimanan terhadap Allah Swt. dan Rasulullah saw.. Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa sistem yang berhak mengatur kehidupan manusia secara sempurna adalah hukum Islam.
Di dalam QS Al-Maidah: 50, Allah Swt telah menegaskan bahwa hukum yang layak mengatur manusia hanyalah hukum Allah Swt.
أَفَحُكۡمَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ يَبۡغُونَۚ وَمَنۡ أَحۡسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكۡمٗا لِّقَوۡمٖ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (QS Al-Maidah: 50)
Selanjutnya, para tokoh mubaligah juga harus menyadari perannya yang sangat krusial di tengah umat, yakni sebagai agen Islam. Tugas utama mereka, selain memberikan pemahaman kepada umat Islam dengan pemahaman sistem Islam secara kafah, juga harus mampu menjadi rujukan umat tempat umat bertanya ketika menghadapi persoalan dan mampu memberikan solusi atas setiap persoalan multidimensi yang menimpa umat dengan solusi komprehensif dari Islam.
Tentu saja hal ini hanya akan terealisasi ketika para tokoh umat bersama-sama dengan partai politik yang menjadikan Islam sebagai ideologinya mampu membuktikan kepada umat bahwa mereka adalah para pembela Islam yang berjuang demi Islam yang siap membela dan melindungi umat Islam.
Mereka akan berdiri tegak dan rela berkorban untuk umat Islam. Membawa umat kepada kebangkitan hakiki dengan menjadikan Islam sebagai satu-satunya sistem aturan yang akan mengatur seluruh sistem aturan manusia.
Kebangkitan hakiki hanya bisa diraih ketika seluruh elemen umat menyadari bahwa mereka butuh perisai yang akan melindungi mereka dari berbagai serangan musuh-musuh umat Islam. Perisai itu bernama Khilafah, sebuah institusi negara yang akan menerapkan seluruh syariat Islam secara sempurna untuk melindungi umat Islam khususnya dan seluruh manusia di seluruh dunia.
Khilafah merupakan perisai umat yang akan menjadi benteng pelindung umat yang siap menjaga dan membela umat Islam. Hanya dengan Khilafah, umat Islam mampu menghadapi seluruh makar yang telah direncanakan orang-orang kafir dan sekutunya.
Allah Swt. berfirman dalam QS At-Taubah: 32, “Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah menolaknya, malah berkehendak menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir itu tidak menyukai.” Wallahu a’lam bish-shawwab.[]