Oleh: Arini Retna
SuaraMubalighah.com, Ta’bir Afkar — Dalam Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia ke-7 yang digelar pada 9—11 November di Jakarta, disepakati 17 poin bahasan salah satunya adalah hukum jihad dan khilafah dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. Poin bahasan ini menyatakan:
“MUI menggunakan manhaj wasathiyah (berkeadilan dan berkeseimbangan) dalam memahami makna jihad dan khilafah. Oleh karena itu, MUI menolak pandangan yang dengan sengaja mengaburkan makna jihad dan khilafah, yang menyatakan bahwa jihad dan khilafah bukan bagian dari Islam. Sebaliknya, MUI juga menolak pandangan yang memaknai jihad dengan semata-mata perang dan khilafah sebagai satu-satunya sistem pemerintahan.”
Dalam fatwa ini, tampak bagaimana MUI berusaha untuk bersikap moderat, mengambil jalan tengah yang sekilas tampak merupakan win-win solution, tidak menolak jihad dan khilafah sebagai bagian dari ajaran Islam sebagaimana kaum liberal, namun tidak mengakui makna syar’i-nya yang dianggap radikal.
Dengan pendapat seperti ini, MUI hakikatnya telah mendistorsi makna jihad dan khilafah, mengarahkannya pada makna yang diinginkan musuh-musuh Islam, makna yang menghilangkan ruh Islam dan izzah kaum muslimin.
Yang lantas menjadi pertanyaan kita adalah bagaimana manhaj wasathiyah ini mampu memengaruhi pemikiran para ulama kita sehingga mengadopsinya?
Makna Wasathan dalam Al-Qur’an Bukan ‘Pertengahan’
Islam wasathiyah sebenarnya bukan ide baru karena sudah dirancang dari tahun 2004. Namun, ide ini diadopsi dan diaruskan dalam masa pemerintahan Presiden Jokowi dengan Kemenag sebagai leading sector-nya. Ide ini dikatakan sebagai ‘Islam yang pertengahan, bukan liberal dan bukan radikal’. Ini sebagaimana dijelaskan Wapres Ma’ruf Amin bahwa moderat itu artinya tidak tekstual, tidak liberal, dan tidak radikal.[1]
Kemudian, ide Islam wasathiyah ini mencari justifikasi dari ayat Al-Qur’an, yakni QS Al-Baqarah 143.
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
“Demikian pula kami telah menjadikan kalian ummat[an] wasath[an] agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.” (QS Al-Baqarah[2]: 143)
Kata wasath[an] ditafsirkan sebagai ‘pertengahan’, yaitu tidak radikal dan tidak liberal. Padahal, penafsiran kata wasath[an] di sini jauh dari pemaknaan tersebut.
Pemaknaan ayat ini tidak boleh dilakukan secara sepotong-sepotong, berhenti pada kata wasath[an]. Sebab, kelanjutannya menggunakan huruf al-lâm ta’lîl untuk menunjukkan tujuan atau motif. Ayat tersebut memberitakan bahwa Allah menjadikan umat Islam sebagai umat wasath[an] adalah agar umat Islam menjadi saksi atas manusia. Hal itu mengarahkan makna wasath[an] sebagai sifat yang membuat umat Islam layak menjadi saksi atas manusia.
Imam al-Qurthubi di Tafsîr al-Qurthubî menjelaskan ayat tersebut:
“Sebagaimana Ka’bah adalah wasath bumi, demikian pula Kami menjadikan kalian ummat[an] wasath[an], artinya Kami jadikan kalian di bawah para nabi, di atas umat-umat lain. Wasath adalah al-‘adl (adil). Asalnya, yang paling terpuji dari sesuatu adalah awsath-nya.”
Al-Qurthubi juga menyatakan, “(Maknanya) bukan dari wasath yang merupakan pertengahan antara dua hal (dua kutub) dalam sesuatu.”
Imam Ibn Katsir menjelaskan di dalam Tafsîr Ibn Katsîr, “Allah Swt. berfirman, ‘Tidak lain Kami mengalihkan kalian ke kiblat Ibrahim as. dan kami pilih kiblat itu bagi kalian supaya Kami menjadikan kalian sebaik-baik umat agar kalian pada Hari Kiamat menjadi saksi atas umat-umat lainnya sebab semuanya mengakui keutamaan kalian.’ Wasath di sini adalah al-khiyâr wa al-ajwad (yang terbaik, pilihan dan paling bagus) seperti dikatakan, ‘Quraisy adalah awsath al-‘arab (yang pilihan dan terbaik dari orang Arab) secara nasab dan kampung, yaitu khayruhâ (yang terbaik).”
Status sebagai umat terbaik itu tidak bisa dilepaskan dengan risalah yang didatangkan kepada umat Islam, yaitu risalah Islam. Ibnu Katsir menyatakan, “Ketika umat ini dijadikan sebagai ummat[an] wasath[an], Allah mengkhususkan mereka dengan syariat paling sempurna, minhaj paling lurus, dan mazhab paling jelas.”
Mayoritas para mufasir menafsirkan kata wasath tersebut dengan al-‘adl (adil) dan atau al-khiyâr (terbaik dan pilihan). Makna keduanya berdekatan sebab al-khiyâr merupakan al-‘udûl. Qadhi Abu Bakar Ibn al-‘Arabi dalam Ahkâm al-Qur’ân mengatakan, “Sebagian mereka mengatakan kata wasath dari wasath asy-syay’ (tengah-tengah sesuatu). Padahal, wasath dengan makna pertemuan (titik tengah) dua kutub itu tidak ada ruang untuk masuk di sini. Sebab, umat Islam adalah umat yang terakhir. Yang dimaksudkan tidak lain adalah al-khiyâr al-‘adl (yang terbaik/pilihan dan adil). Hal itu ditunjukkan oleh firman Allah setelahnya (yang artinya): agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.”
Penafsiran wasath sebagai ‘adil’ itu pulalah yang ditegaskan di dalam hadis-hadis terkait penafsiran ayat tersebut. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Said al-Khudzri yang menuturkan, Rasulullah ﷺ. bersabda, “Nuh as. dipanggil pada Hari Kiamat, kepadanya dikatakan: “Apakah engkau telah menyampaikan?” Ia menjawab, “Benar.” Lalu kaumnya dipanggil dan dikatakan kepada mereka, “Apakah Nuh menyampaikan (risalah) kepada kalian?” Mereka menjawab, “Tidak ada pemberi peringatan yang datang kepada kami,” atau “Tidak seorang pun datang kepada kami.” Rasulullah bersabda, “Lalu dikatakan kepada Nuh, “Siapa yang bersaksi untukmu?” Nuh menjawab, “Muhammad dan umatnya.” Rasul bersabda, “Itulah firman Allah “wa kadzâlika ja’alnâkum ummat[an] wasath[an].” Rasul bersabda: al-wasath adalah al-‘adlu (adil). Rasul bersada, “Lalu kalian dipanggil dan kalian bersaksi untuknya bahwa dia telah menyampaikan kemudian aku bersaksi atas kalian.”
Hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Bukhari, at-Tirmidzi, an-Nasai, Ibn Majah, dan lainnya dengan redaksi yang sedikit berbeda. Semua riwayat tentang itu menyatakan bahwa Rasulullah ﷺ. menjelaskan makna al-wasath adalah al-‘adlu (adil). Sebagai ummat[an] wasath[an], yaitu umat yang adil, maka umat Islam layak menjadi saksi atas umat lain.
Walhasil, ummat[an] wasath[an] adalah umat yang adil dan pilihan. Sikap wasath bukanlah sikap moderat, kompromistis, dan selalu mengedepankan jalan tengah. Sikap wasath tidak lain adalah sikap adil, yaitu menempatkan segala sesuatu sesuai posisi dan ketentuannya menurut syariat.
Sikap wasath juga adalah sikap menegakkan risalah Islam karena karakter sebagai umat wasath itu dikaitkan dengan risalah Islam. Sikap wasath itu juga mencakup sikap memilih yang terbaik dari berbagai perkara dan memilih yang benar dan paling bagus. Sikap wasath itu tidak lain adalah sikap melaksanakan dan terikat dengan ketentuan Allah, yaitu syariat Islam.
Penyimpangan Makna Wasathiyah
Mencermati penafsiran ummat[an] wasath[an], kita tidak menemukan makna yang digunakan untuk memaknai Islam wasathiyah saat ini. Dengan demikian, ide ini bukanlah berasal dari Alquran, bahkan bukan berasal dari Islam.
Ide wasathiyah yang merupakan jalan tengah atau kompromi justru lahir dari Barat saat para pemikir Barat berusaha melepaskan diri dari belenggu gereja yang membatasi perkembangan pemikiran dan kehidupan kenegaraan. Sebagai solusi dari kondisi itu, mereka mengambil jalan moderasi, pertengahan, dengan tetap mengakui eksistensi agama, tetapi memberinya ruang hanya di wilayah pribadi, serta menjauhkannya dari ruang publik, yaitu pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Jalan kompromi inilah yang menghasilkan sekularisme.
Jalan kompromi yang lantas disebut sebagai manhaj wasathiyah ini berusaha untuk tetap menerima semua ajaran agama dan tidak menolaknya sebagaimana kaum liberal, namun menolak penerapannya bahkan menyebut kelompok yang menuntut penerapan syariat Islam sebagai kelompok radikal. Ironisnya, kelompok wasathiyah ini tidak mau dikatakan sekuler, padahal inilah sekularisme yang nyata.
Siapa di Belakang Munculnya Wasathiyah
Islam wasathiyah adalah bentuk islamisasi dari moderasi Islam yang digagas Barat, terutama AS untuk mempertahankan hegemoninya atas dunia Islam dan memenangkan pertarungan ideologi antara Islam dan kapitalisme. AS menyadari bahwa ketika Islam sebagai sebuah ideologi diterapkan, maka negara-negara Islam akan menjelma menjadi raksasa yang sulit ditundukkan. Untuk itu, AS merancang pendekatan yang amat halus yang menyembunyikan tangan kotornya dari pandangan kaum muslimin.
Cheryl Benard—peneliti RAND Corporation—dalam pembukaan Civil Democratic Islam, Partners, Resources, and Strategies (2003) menyebutkan untuk itu dunia Islam harus dilibatkan dalam pertarungan tersebut dengan menggunakan nilai-nilai (Islam) yang dimilikinya. Tujuan AS adalah mencegah penyebaran Islam politik dengan menghindari kesan bahwa AS menentang Islam sehingga Islam menjadi agama yang pasif dan tunduk kepada Pemerintah AS.
Strategi ini berarti meminjam tangan kaum muslimin sendiri untuk menghancurkan Islam. Dari sinilah lantas dirancang langkah-langkah untuk mendiskreditkan Islam, memunculkan opini Islam sebagai agama teroris dan radikal. Kemudian dibangun antitesisnya melalui para pemikir Islam yang sudah terbaratkan pemikirannya dalam bentuk Islam moderat atau wasathiyah.
Karakter muslim moderat yang diinginkan Barat adalah seseorang yang menyebarkan dimensi budaya universal (baca : Barat) yakni mendukung demokrasi, pengakuan terhadap HAM (termasuk kesetaraan gender dan kebebasan beragama), menghormati sumber hukum nonagama, menentang terorisme dan kekerasan—sesuai tafsiran Barat.
Dengan demikian, seseorang yang mengidentifikasi dirinya sebagai muslim moderat akan menolak pemberlakuan hukum Islam kafah, toleran terhadap penyimpangan akidah, tidak mendiskriminasi pelaku maksiat, menganggap Islam tidak ada beda dengan aturan lain, menentang Islam politik—Negara Islam, Khilafah, dan jihad[2]—sekalipun dia menjalankan ibadah mahdhah, berakhlak mulia, bahkan merupakan pemuka agama.
Manhaj Wasathiyah Penghalang Kebangkitan Umat
Manhaj wasathiyah hakikatnya adalah sekularisasi Islam. Pemikiran dan hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan akidah, ibadah, akhlak, dan sebagian muamalah mereka terima. Namun, di sisi lain mereka menolak pemikiran dan hukum Islam yang bersifat politis seperti sistem pemerintahan, jihad, sistem sanksi dan peradilan, serta sistem ekonomi. Padahal, Allah telah memerintahkan pada umat Islam untuk beragama secara kafah sebagaimana firman-Nya,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱدْخُلُوا۟ فِى ٱلسِّلْمِ كَآفَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ إِنَّهُۥ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah: 208)
Dengan demikian, manhaj wasathiyah ini menyimpangkan umat dari pemahaman Islam kafah. Akibat penerapannya, Islam bagaikan dikebiri. Ajaran Islam mandul tidak mampu menjadi solusi bagi problem kehidupan. Umat menjadi sekadar buih di lautan, terapung mengikuti arus yang ditetapkan Barat. Membuat umat menjadi lemah tanpa izzah, rela dikendalikan kepentingannya, dijarah harta kekayaannya dan dimatikan potensinya.
Khilafah, institusi yang semestinya menjadi pelindung kaum muslimin dan penerap syariat yang kafah, hanya diakui merupakan bagian dari Islam, tetapi ditolak penerapannya. Padahal, tanpa Khilafah, kebangkitan umat tidak mungkin akan diraih. Gelar umat terbaik hanya akan menjadi impian yang tidak mungkin diwujudkan.
Dengan demikian, sudah saatnya umat membuka mata, membaca kebenaran langsung dari sumbernya, yaitu Al-Qur’an dan Sunah, menggali solusi problem kehidupan dari sana dan menerapkannya melalui institusi yang akan menerapkannya secara utuh dan menyeluruh, yaitu Khilafah Islamiah.[]
[1] https://mediaindonesia.com/humaniora/292047/wapres-minta-moderasi-beragama-terus-digaungkan
[2] Pendapat Khaled Abou el-Fadl, Professor of Law at the UCLA School of Law where he has taught courses on International Human Rights, Islamic jurisprudence, National Security Law, Law and Terrorism, Islam and Human Rights, Political Asylum, and Political Crimes and Legal Systems