SuaraMubalighah.com, Opini — “Pandemi bisa memicu kembali rasisme, fanatisme, dan ekstremisme lebih dari sebelumnya. Perlu untuk menegaskan kembali nilai-nilai dasar kemanusiaan kita, yakni martabat, keadilan, rasa ingin tahu, dan keberagaman yang perlu dipertahankan, ”demikian menurut Direktur Jenderal UNESCO Audrey Azoulay pada kesempatan Hari Toleransi Internasional 2021.
Senada dengan ungkapan tersebut, Menag Yaqut menyatakan, “Keragaman adalah potensi bagi kita untuk saling mengenal dan berkolaborasi dalam kebaikan dan mewujudkan kemaslahatan bersama.”
Pemikiran tentang keragaman
Keragaman adalah hal yang menjadikan pangkal pembahasan tentang penerapan toleransi di tengah-tengah masyarakat dengan pemahaman yang dangkal dan sering kali membuat pernyataan-pernyataan yang mempertegas toleransi sebagai “produk dagangan”.
Kata “toleransi” dikemas sedemikian rupa dalam berbagai peristiwa, menjadi alat dan senjata untuk menyerang pihak-pihak yang dianggap menghalangi kebebasan orang-orang yang berpaham liberal yang menganut kebebasan tanpa batas dengan menerjang norma-norma agama. Dampaknya menyebabkan masyarakat bebas berbuat tanpa aturan yang mengikat dan jelas mengancam akidah Islam yang mestinya menjadi fondasi kehidupan setiap muslim.
Wujud toleransi yang didengungkan sering kali menjadi frame negatif bagi Islam yang terus dipojokkan setiap kali terjadi hal yang merugikan di tengah-tengah kehidupan sosial. Benturan-benturan yang terjadi sering kali membawa Islam sebagai salah satu agama, cenderung disalahkan karena memiliki ide-ide yang dianggap menjadi pemicu konflik sehingga menjatuhkan kepercayaan di tengah-tengah masyarakat bahwa Islam mampu membawa perdamaian.
Ajaran-ajaran Islam terlalu dicap radikal, kemudian tidak ditempatkan pada porsi yang tepat, misalnya Khilafah dan jihad dialihkan menjadi sekadar pelajaran sejarah. Hal ini bisa terjadi karena Islam memiliki kekuatan untuk mengungkap kebenaran dan mampu diterapkan pada segala aspek kehidupan. Namun, bagi pihak-pihak yang enggan untuk menerapkannya, amat sangat mudah menstempel Islam sebagai agama yang intoleran.
Menutupi keengganan menerima Islam sebagai agama yang mampu mengungkap kebenaran dan membawa perdamaian hakiki, maka ide toleransi ini terus dikampanyekan dengan melibatkan banyak pihak melalui upaya untuk berhenti menyebarkan kebencian dan melawan intoleransi.
Kampanye tersebut dilakukan melalui berbagai aspek, baik hukum, pendidikan, akses informasi, kesadaran individu, dan solusi lokal. Kampanye tersebut menjadi upaya untuk menghalau tindakan atau gerakan yang dianggap berupaya memecah belah persatuan.
Sikap-sikap toleran digambarkan dengan menunjukkan rasa hormat kepada orang lain atau kelompok yang berbeda, agama, budaya, dan ras. Hal semacam ini tidaklah menjadi masalah, tetapi ketika wujud toleran berupa hal-hal yang melanggar syariat Islam dalam berbagai bentuknya, maka di sinilah yang menjadi masalah. Lalu muncul anggapan bahwa Islam mengandung aspek intoleran terhadap keberagaman.
Toleransi di Alam Sekuler
Toleransi di dalam sekuler cenderung memiliki standar ganda karena melahirkan banyak polemik. Bisa kita lihat dari Hari Toleransi Internasional yang telah digagas mulai tahun 1995 sampai tahun ini yang seharusnya sudah menghasilkan dampak yang signifikan mengarah pada terwujudnya perdamaian di seluruh dunia.
Akan tetapi, apa yang terjadi? Islamofobia sebagai bentuk diskriminasi mayoritas terhadap minoritas muslim di Prancis sepanjang 2019 naik sampai 54%. Abdallah Zekri, Presiden Lembaga Pengawas Nasional Islamofobia, pada Senin (27 Januari 2020), menyebut ada sekitar 100 serangan terhadap umat muslim di Prancis pada 2018 dan setahun kemudian jumlah itu naik menjadi 154 kasus Islamofobia di penjuru Prancis.
Di Cina pun demikian, tidak ada toleransi terhadap kaum muslimin untuk beribadah ataupun berpuasa. Kaum muslimin dilarang beribadah sesuai kepercayaan agama Islam. Penyiksaan, pembunuhan, dan pemerkosaan terjadi atas muslim Uyghur di Cina.
Apakah ada tindakan dari PBB dalam rangka mewujudkan perdamaian dengan mengajak negeri-negeri sekuler ini menerapkan toleransi beragama? Mereka (PBB) diam seribu bahasa, hanya bentuk kecaman saja yang diungkapkan oleh kepala negara. Sebagai contoh, kasus terakhir di Prancis menjelang bulan Ramadan (13/4/2021) di Kota Renes, tempat ibadah kaum muslimin dituliskan “Katolik-Agama Negara” dan “katakan tidak pada Islamisasi”.
Sebaliknya, PBB giat mengampanyekan toleransi di negeri-negeri muslim, khususnya di Indonesia, dalam rangka mencegah tumbuh suburnya intoleransi yang mereka katakan sebagai sumber konflik. Mereka menjadikan toleransi sebagai bagian moderasi yang di dalamnya mengajarkan ide-ide Islam yang sejalan dengan keinginan Barat.
Oleh karenanya, bisa disimpulkan, dalam sistem sekuler, toleransi hanyalah alat penjajahan supaya keyakinan dan keterikatan kaum muslimin bisa longgar terhadap akidah dan syariat-Nya. Sehingga tidak heran saat ini ada doa bersama antarpemeluk agama, umat Islam merayakan hari raya agama lain. Alih-alih bisa mewujudkan perdamaian, tetapi konflik banyak terjadi karena hukum agama digonta-ganti.
Islam Tidak Pernah Bermasalah dengan Keberagaman dan Toleransi
Jauh sebelum mereka membahas toleransi, Islam sudah mengajarkan cara hidup berdampingan dengan orang-orang kafir. Sungguh, dalam sejarah kehidupan Islam (dalam bingkai negara Khilafah), umat Islam dan kaum kafir dzimmi selalu hidup rukun dan saling menghormati. Bahkan, kaum kafir merasa sangat nyaman hidup di bawah pengaturan sistem Islam.
Sejak masa Nabi dan Khulafaurasyidin, Islam tidak pernah bermasalah dengan keberagaman dan toleransi. Islam justru hadir untuk mengatur keberagaman dan perbedaan sehingga harmonis secara sempurna di dalam lintasan sejarahnya yang panjang. Kaum muslimin sudah membuktikan keunggulan syariat dalam menyelesaikan problem keberagaman dan perbedaan, serta problem cabangnya.
Dalam praktiknya, kaum muslim tidak pernah memaksa orang kafir untuk memeluk Islam, sebagaimana terdapat dalam QS Al-Baqarah: 256.
لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗوَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”
Orang kafir dalam naungan Islam dibiarkan menjalankan ibadah sesuai agama dan keyakinan mereka. Bahkan, kaum muslimin dilarang untuk mencela sembahan agama lain tanpa dasar ilmu.
Allah Swt. berfirman dalam QS Al-Anam: 108,
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ فَيَسُبُّوا اللّٰهَ عَدْوًاۢ بِغَيْرِ عِلْمٍۗ كَذٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ اُمَّةٍ عَمَلَهُمْۖ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
“Dan janganlah kamu memaki sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.”
Islam memerintahkan untuk berdiskusi dengan orang-orang yang kafir dengan makruf, sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS Al-Ankabut: 46,
وَلَا تُجَادِلُوْٓا اَهْلَ الْكِتٰبِ اِلَّا بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۖ اِلَّا الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْهُمْ وَقُوْلُوْٓا اٰمَنَّا بِالَّذِيْٓ اُنْزِلَ اِلَيْنَا وَاُنْزِلَ اِلَيْكُمْ وَاِلٰهُنَا وَاِلٰهُكُمْ وَاحِدٌ وَّنَحْنُ لَهٗ مُسْلِمُوْنَ
“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab melainkan dengan cara yang baik, kecuali dengan orang-orang yang zalim di antara mereka, dan katakanlah, ‘Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhan kamu satu; dan hanya kepada-Nya kami berserah diri.'”
Kaum muslimin juga diperintahkan untuk memenuhi hak-hak kaum kafir yang hidup di Negara Khilafah dalam batas-batas yang ditetapkan Islam. Kaum muslimin tidak pernah punya problem toleransi. Kaum muslimin memiliki toleransi yang tinggi yang memperlakukan orang-orang yang berbeda keyakinan dan agama dengan santun dan manusiawi.
Perdamaian Hanya Bisa Diwujudkan dalam Naungan Khilafah
Sedemikian terperincinya Islam mengatur permasalahan toleransi sehingga sudah sangat dikenal bahwasanya hanya dalam naungan Khilafah Islamiah (satu-satunya sistem pemerintahan yang disyariatkan oleh Islam) toleransi sangat bisa dirasakan oleh warga nonmuslim.
Salah satu contoh pada saat penaklukan Konstantinopel, penduduk nonmuslim terjamin harta, jiwa, dan kehormatannya. Selama mereka mau tunduk terhadap pemerintah daulah, mereka hidup nyaman, tenteram, penuh keadilan.
Berbicara keadilan, hanya hukum Islamlah yang adil. Terbukti dalam kasus baju besinya Khalifah Ali bin Abi Thalib, kasus dimenangkan oleh orang Yahudi karena tidak ada bukti pada Sayidina Ali. Dari peristiwa tersebut, akhirnya tanpa paksaan orang Yahudi tadi mau masuk Islam.
Keragaman sudah ada sejak Daulah Khilafah Islamiah tegak di Madinah al-Munawarah. Kaum muslimin, baik dari Muhajirin dan Anshar, meski tadinya berbeda suku, tetapi bisa hidup damai karena dipersatukan dalam akidah yang satu, syariat yang satu, yaitu Islam. Mereka bisa hidup berdampingan dengan nonmuslim (Yahudi dan Nasrani ) karena syariat Islam dalam hal ini Allah Swt. memberikan aturan yang akan mewujudkan perdamaian. Karena hanya Dialah Zat yang Maha Mengetahui aturan yang terbaik bagi makhluk ciptaan-Nya di muka bumi ini.
Khatimah
Semoga dengan ini, para ustazah mubaligah tetap istikamah menyuarakan penerapan Islam kafah, bukan toleransi ala moderasi yang sejatinya itu adalah alat penjajahan Barat supaya menjauhkan kaum muslimin dari ajaran Islam yang kafah.
Mari selamatkan umat, generasi penerus peradaban Islam, dari berbagai ajaran-ajaran yang bertentangan dengan Islam, termasuk toleransi dan moderasi, agar Islam bisa bangkit kembali menerapkan Islam kafah dalam naungan Khilafah. Sebagaimana yang dijanjikan baginda Nabi Muhammad saw. bahwa Khilafah akan tegak kembali. Semoga kita menjadi bagian khairu umat yang berjuang menegakkannya. Amin. Wallahualam bishshawwab.[]