Assalamu’alaikum wr. wb.
Banyaknya kasus perceraian terutama pada pasangan muda, dan tingginya angka kematian ibu dan anak disebabkan karena pernikahan dini, dimana perempuan belum siap menjalani kehidupan rumah tangga dan organ reproduksi yang belum siap. Berangkat dari fakta tersebut penggiat feminisme gencar melakukan kampanye penolakan pernikahan dini dan pemerintah juga telah membuat kebijakan pembatasan usia pernikahan dalam Undang-Undang No 16 Tahun 2019 sebagai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Bagaimana Islam mengatur pernikahan, apakah ada pembatasan usia pernikahan baik untuk mempelai laki-laki maupun perempuan?
Ibu Yanti di Sukabumi
Wa’alaikumussalam wr. wb.
Ibu Yanti rahimakumullah, Pernikahan adalah suatu aktifitas maka pelaksanaannya harus dikembalikan pada syariat Islam. Dalam syariat Islam, menikah hukum asalnya sunnah bagi yang telah mampu, Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.
“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena puasa dapat menekan syahwatnya (sebagai tameng).”[HR. Al-Bukhari (no. 5066) kitab an-Nikaah].
Dalam hadis ini Rasulullah SAW menyatakan bagi siapa saja para pemuda yang telah mampu maka dianjurkan untuk menikah.
Pengertian pemuda (syab, jamaknya syabab) menurut Ibrahim Anis et. al (1972) dalam kamus Al Mu’jam Al Wasith hal. 470 adalah orang yang telah mencapai usia balig tapi belum mencapai usia dewasa (sinn al rujuulah). Sedang yang dimaksud kedewasaan (ar rujulah) adalah “kamal ash shifat al mumayyizah li ar rajul” yaitu sempurnanya sifat-sifat yang khusus/spesifik bagi seorang laki-laki (Ibid, hal. 332).
Jumhur ulama sepakat pemuda adalah mereka yang telah balig sekitar usia 16 tahun hingga usia 30 tahun, hal ini sebagaimana disampaikan oleh Imam An Nawawi bahwa pemuda adalah ketika balig hingga usia 30 tahun, setelah itu tua hingga melampaui 40 tahun.
Adapun makna mampu, Imam Nawawi-dalam Syarh Sahih Muslim, ix/173 menjelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai maksud dari kata Ba’ah dalam hadits tersebut.
Pendapat pertama, makna secara bahasa yaitu jimak (bersetubuh). Dan maksud dari hadits itu adalah siapa saja yg mampu bersetubuh karena ia mampu menanggung bebannya, yaitu beban pernikahan, maka hendaklah dia menikah.
Sebaliknya, siapa saja yg tidak mampu jimak, karena kelemahannya dalam menanggung bebannya, maka baginya hendaklah berpuasa.
Pendapat kedua, makna ba’ah itu adalah beban (al-mu’nah dan jamaknya mu’an) pernikahan.
Mengutip pendapat Qadhi Iyadh, menurut bahasa yg fasih, makna ba’ah adalah bentukan dari kata al-maba’ah yaitu rumah atau tempat, di antaranya maba’ah unta yaitu tempat tinggal (kandang) unta. Kemudian mengapa akad nikah disebut ba’ah, karena siapa yg menikahi seorang wanita maka ia akan menempatkannya di rumah.
Makna “mampu menafkahi” ini sejalan atau memperkuat makna al-ba’ah sebagai beban pernikahan. Sehingga dapat kita pahami bahwa Rasul Saw memerintahkan kepada siapa saja yg memiliki kesanggupan untuk menikah & memikul beban pernikahan, maka hendaknya ia menikah. Atau siapa saja yang memiliki rasa percaya diri atau memiliki dugaan kuat bahwa dirinya mampu memikul tanggung jawab pernikahan maka hendaknya ia menikah.
Namun Bukan berarti seseorang itu harus memiliki persiapan materi yang cukup baru dikatakan mampu untuk menikah . Banyak riwayat yang menjelaskan bahwa sahabat tidak memiliki harta untuk dijadikan mahar, atau kalaupun ada, jumlah atau nilainya sangat kecil.
Tidak ada atau sangat sedikitnya harta yang dijadikan mahar oleh para sahabat mengindikasikan bahwa para sahabat memang tidak memiliki harta (yang berlebih). Sekalipun demikian, para sahabat tetap dianjurkan menikah & dibolehkan menikah.
Adapun maraknya perceraian pada pernikahan usia dini yang disebabkan oleh masalah ekonomi (kemiskinan) dan orang ketiga ( perselingkuhan) pada faktanya bukan semata problem individu akan tetapi masalah tanggung jawab negara dalam mengurusi masyarakatnya.
Seperti fakta kemiskinan hari ini terjadi bukan semata masyarakat malas bekerja, namun lebih disebabkan karena kesalahan negara dalam mengelola perekonomiannya. Sumberdaya alam yang melimpah jika negara mengelolanya sendiri tidak diserahkan kepada individu swasta baik dalam maupun luar negeri dan di kelola dengan benar sesuai syariat Islam tentu akan membawa kesejahteraan kepada seluruh masyarakat.
Demikian pula diterapkannya sistem pergaulan yang liberal oleh negara ditambah sistem pendidikan sekuler yang jauh dari nilai-nilai agama justru menjadi pemicu kuat terjadinya kerusakan moral bangsa, perzinaan dan perselingkuhan .
Negara harusnya melindungi moral masyarakat dengan menerapkan sistem sosial dalam Islam
Adapun terjadinya kematian ibu dan anak sebab nikah muda pada faktanya disebabkan karena sulitnya mengakses layanan kesehatan karena biaya mahal, bukan sebab belum siapnya organ reproduksi pada perempuan. Karena secara fisik usia 18 tahun sudah matang secara reproduksi. Secara mental pun usia 18 tahun sudah cukup stabil apabila mereka mendapat pendidikan dan lingkungan yang baik.
Dari uraian di atas maka jelaslah Islam tidak melarang menikah di usia dini (16 tahun) selama tidak ada paksaan dan telah ada kesiapan dari kedua belah pihak yang akan menikah. Yaitu kesiapan ilmu, kesiapan materi (kemampuan memberi nafkah), serta kesiapan fisik, yang semua hal itu butuh peran negara dalam mewujudkannya.
Dengan demikian upaya melarang pernikahan dini bisa dianggap salah satu bentuk kedurhakaan, karena apa yang telah dihalalkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak boleh diharamkan manusia. Sebagaimana firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS.Al Maidah : 87). Wallahu a’lam bishshawab.