Hukuman Setimpal Bagi Penjahat Seksual

  • Opini


Oleh : Marni Rosmiati

Suaramubalighah.com, Opini-Belakangan ini jagad maya dan dunia nyata digemparkan oleh berita tentang pemerkosaan 12 orang santriwati oleh Herry Wirawan (36 tahun) pemilik rumah tahfidz tempat para santriwati tersebut menimba ilmu di kota Bandung. Peristiwa memilukan ini baru terungkap ke halayak ramai setelah masuk proses persidangan (news.detik.com, Senin 13 Desember 2021). Para santriwati yang menjadi korban pemerkosaan tersebut menerima kekerasan seksual hingga beberapa orang diantara mereka pun sampai hamil dan melahirkan anak, bahkan ada yang sampai melahirkan 2 anak. Tak cukup sampai disitu kekejaman pelaku ditambah dengan praktik eksploitasi ekonomi yang diketahui dari hasil penelusuran LPSK. Pemimpin pesantren Tahfidz Madani ini mengeksploitasi anak yang lahir dari para korban untuk modus meminta sumbangan (news.detik.com, Rabu 15 Desember 2021).


Kejadian ini semakin menghentakkan hati nurani dan pikiran masyarakat ditengah maraknya kasus pelecehan seksual, pemerkosaan, dan aborsi akibat pergaulan bebas bahkan ada yang berakhir dengan bunuh diri seperti yang menimpa kasus NW (news.detik.com, Rabu 08 Desember 2021). Apapun latar belakang agamanya yang akan disoroti disini adalah pelaku kejahatan seksualnya itu sendiri.


Masalahnya kasus pemerkosaan yang terjadi di lingkungan pesantren ini mencoreng nama pesantren dan para guru yang mengajarnya. Lembaga pendidikan Islam ini dianggap menjadi tempat yang tidak aman. Menurut komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan bahwa pesantren menempati urutan kedua dalam hal kekerasan seksual dalam periode 2015-2020. Dari 51 kasus aduan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan yang diterima Komnas Perempuan, 19 kasus terjadi di pesantren atau pendidikan berbasis agama Islam (Kompas.com, Jum’at 10 Desember 2021).


Siapapun orangnya dari agama manapun tentunya tidak ada yang mentolerir perbuatan kejahatan seksual, apalagi dalam pandangan Islam. Sehingga sangatlah tidak adil jika kasus ini terus digoreng menjadi alat stigmatisasi negatif terhadap pesantren. Sehingga menyebabkan para orang tua merasa takut menitipkan anaknya ke pesantren, mencurigai para guru ngaji atau menjadi jalan penguasa ‘mengobrak-abrik’ sistem pesantren yang independent, yang selama ini telah melahirkan ulama-ulama dan pemimpin-pemimpin umat yang terpercaya.


Selain itu, Faktanya di tengah sistem kapitalis sekuler yang serba bebas saat ini sesungguhnya kejahatan seksual bisa terjadi dimana saja, kapan saja, dan menimpa siapa saja. Ini adalah bukti kegagalan sistem kapitalis sekuler tidak mampu menindak habis para pelaku kejahatan seksual yang dari hari ke hari malah kian marak.

Meninggalkan Hukum Allah, Mengundang Kejahatan


Maraknya kasus kejahatan seksual berakar dari tidak diterapkannya hukum pergaulan (Ijtima’i) dan hukum sanksi (Uqubat) di dalam Islam. Kejahatan (Jarimah) bukanlah sesuatu yang fitrah ada pada diri manusia, bukan pula “profesi” yang diusahakan manusia . Juga bukan “penyakit” yang dapat menimpa atau diobati oleh manusia. Akan tetapi kejahatan (Jarimah) adalah tindakan melanggar peraturan Allah, yang mengatur perbuatan-perbuatan manusia dalam hubungannya dengan Rabbnya, dengan dirinya sendiri, dan dengan manusia yang lain (Abdurrahman Al-Maliki, Sistem Sanksi Dalam Islam, tahun 2002). Bagian fitrah atau yang menjadi potensi manusia adalah naluri-naluri dan kebutuhan jasmani yang mendorong manusia menjalankan berbagai aktivitas dalam rangka memenuhi naluri-naluri dan kebutuhan jasmani tersebut. Maka bila membiarkan pemenuhan naluri seperti halnya naluri seksual dan kebutuhan jasmaninya tanpa aturan maka akan menimbulkan kekacauan dan kegoncangan di tengah masyarakat. Juga akan mengantarkan kepada pemenuhan yang keliru atau pemenuhan yang tercela, semisal kejahatan seksual seperti pemerkosaan, seks bebas, dsb. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Qur’an surat Thaha ayat 124;

وَمَنۡ اَعۡرَضَ عَنۡ ذِكۡرِىۡ فَاِنَّ لَـهٗ مَعِيۡشَةً ضَنۡكًا وَّنَحۡشُرُهٗ يَوۡمَ الۡقِيٰمَةِ اَعۡمٰ

“ Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku. Maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.”

Dalam Islam pergaulan antara laki-laki dan perempuan telah diatur secara jelas dan tegas. Perbuatan yang bisa menghantarkan kepada perbuatan zina seperti pandangan syahwat, khalwat/berdua-duaan, pacaran,membuka aurat di tempat umum, dll saja dilarang apalagi zina-nya itu sendiri. Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surat Al Isra’ ayat 32:


وَلَا تَقۡرَبُوا الزِّنٰٓى اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً  ؕ وَسَآءَ سَبِيۡلًا

“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji dan suatu jalan yan buruk”.


Sarana prasarana yang akan menghantarkan pada perbuatan zina seperti pornografi dan pornoaksi pun diharamkan dalam Islam. Sebagaimana kaidah syara : Al wasilatu ilal haram haramun Artinya “Sarana yang menghantarkan kepada keharaman adalah haram”. Sehingga dalam Islam tidak akan dibiarkan di tempat umum terdapat : majalah, tabloid, TV, ataupun di media sosial terpampang gambar-gambar, foto, poster, ataupun video porno, berseliweran dimana-mana, mudah untuk diakses oleh anak-anak sekalipun. Kondisi ini menambah maraknya kejahatan seksual, karena rangsangan naluri seksual berasal dari luar tubuh manusia.

Hukum Islam Hukuman yang Menjerakan Bagi Penjahat Seksual


Perintah dan larangan Allah tidak akan berarti sama sekali jika tidak ada sanksi bagi orang-orang yang melanggarnya. Dan yang paling berperan di ranah ini tidak lain adalah Negara. Karena negaralah yang memiliki wewenang untuk menerapkan hukum. Saat ini ditengah masyarakat pun muncul opini untuk menghukum pelaku pemerkosa dengan hukuman yan berat salah satunya hukum kebiri. Namun bagaimana pandangan Islam itu sendiri teradap hal ini ? tentunya kita harus mengkaji lebih mendalam sanksi apa yang dibenarkan oleh syara bagi seorang pemerkosa.


Perkosaan secara bahasa Arab disebut Igtishab yang artinya mengambil sesuatu secara zhalim dan dengan paksaan. Sedangkan secara istilah maknanya adalah memaksa perempuan untuk berzina atau al wath’u bi al ikraah (hubungan seksual dengan paksaan). Maka jika seorang laki-laki memperkosa seorang perempuan, seluruh fuqoha sepakat perempuan tersebut tidak akan dijatuhi hukuman Zina(had az zina), yaitu baik hukuman cambuk 100 kali maupun hukuman rajam (Abdul Qadir Audah, At Tasyri’ Al Jina’I Al Islami, Juz 2 hal. 364; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Juz 24 hal.31; Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, Juz 7 hal 295; Imam Nawawi, Al Majmu’ syarah Al Muhadzdzab, Juz 20 hal.18). Firman Allah SWT dalam Al An’aam : 145


فَمَنِ اضۡطُرَّ غَيۡرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَاِنَّ رَبَّكَ غَفُوۡرٌ رَّحِيۡمٌ

“ Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkan dan tidak (pula) melampauai batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(TQS Al An’aam : 145)


Sedangkan bagi laki-laki pemerkosa (Al mughtashib) maka hukumannya ada 3, yaitu pertama, hukuman wajib berupa Had Zina (Sanksi untuk perbuatan zina), yaitu dirajam sampai mati jika pemerkosa sudah menikah, atau dicambuk 100 kali jika belum menikah. Dalilnya Dari Abu Hurairah RA, beliau berkata, “Seorang laki-laki menemui Rasulullah SAW ketika beliau berada di masjid. Orang itu memanggil beliau seraya mengatakan, “Wahai Rasulullah, saya telah berzina!” tetapi Rasulullah berpaling darinya. Tatkala kesaksiannya sampai empat kali, Nabi bertanya, “Apakah kamu gila?” Dia menjawab “TIDAK”. Nabi bertanya “Apakah kamu sudah menikah?” Dia menjawab “YA” Lantas Nabi bersabda, “Bawalah orang ini, dan rajamlah dia!”(HR Bukhari 6430 dan Muslim 1691). Dan dalil hukuman cambuk 100 kali jika belum menikah terdapat dalam Al Qur’an surat An Nuur ayat 2:

اَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِىۡ فَاجۡلِدُوۡا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنۡهُمَا مِائَةَ جَلۡدَةٍ‌

“Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali”
Kedua, sanksi tambahan berupa membayar kompensasi (shadaaqu mistslihaa), yaitu mahar yang semisal untuk wanita korban perkosaan. Hukuman ini berdasarkan pendapat mazhab Maliki dan Syafi’i. Berkata Imam Malik dalam kitabnya Al Muwaththa’ : “Hukuman menurut kami bagi laki-laki (pemerkosa) yang memperkosa wanita, baik perawan maupun janda adalah : jika korban itu wanita merdeka, pemerkosa itu wajib membayar shodaaqu mistliha(mahar untuk wanita semisal korban). Jika korbannya budak, maka maharnya berkurang sesuai harga budak. Hukuman untuk perkosaan ini adalah hanya untuk pemerkosa, dan tidak ada hukuman untuk yang diperkosa.” (Imam Malik, Al Muwaththa’, II/734).

Ketiga, pemerkosa dijatuhi hukuman berupa ta’zir, yaitu sanksi yang dapat dijatuhkan Hakim Syariah (qadhi) kepada pemerkosa, karena dia tidak sekedar berzina, tetapi juga melakukan pemaksaan (al ikraah) yang perlu dijatuhi sanksi tersendiri. Demikian pendapat Imam Ibnu Abdil Barr (ulama mazhab Maliki) dalam kitabnya Al Istidzkaar : “Sesungguhnya hakim (qadhi) dapat menjatuhkan hukuman kepada pemerkosa dan menetapkan ta’zir kepadanya, suatu hukuman (sanksi) yang dapat membuat jera untuk dia dan orang-orang semisalnya.” Sanksi ta’zir untuk pemerkosa Misalnya dengan diasingkan ke tempat yang jauh dari domisili pelaku atau hukuman penjara. Sedangkan hukuman kebiri diharamkan dalam Islam. Tidak ada khilafiah dalam keharaman hukum kebiri misalnya diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abdil Barr (Al Istidzkar, 8/433), Imam Ibnu Hajar Al Asqalani(Fathul Bari, 9/111), Imam Badrudin Al ‘Aini (Umdatul Qori, 20/72), Imam Al Qurthubi (Al Jami’ li Ahkam Al Qr;\’an, 5/334), dan Imam Shan’ani (Subulus Salam, 3/110).

Demikianlah hukum Islam tela secara rinci dan tegas memberi sanksi bagi pelaku pemerkosaan. Tujuan dari hukuman ini adalah sebagai penebus dosa bagi pelaku (jawabir), jua sebagai pencegah agar tidak ada lagi yang melakukan perbuatan serupa (jawazir). Dengan hukum Islam yang diterapkan oleh Negara inilah satu-satunya solusi untuk mebabad tuntas penjahat seksual

Wallahu’alam bi shawwab