Khilafah Menyelesaikan Problem Kekerasan seksual


Oleh : Kartinah Taheer


Suaramubalighah.com, Ta’bir Afkar —Maraknya kasus kekerasan seksual tidak akan pernah mampu diselesaikan oleh sistem kapitalisme sekuler hari ini, karena sistem ini sudah cacat sejak kelahirannya yaitu menghilangkan peran agama dalam mengatur kehidupan. Kapitalis sekuler memberi wewenang kepada manusia untuk membuat regulasi dalam menyelesaikan problem manusia, termasuk kekerasan seksual. Sedangkan Islam sebagai agama yang sempurna telah memiliki seperangkat aturan dari Allah untuk mengatur interaksi sosial laki-laki perempuan dalam kehidupan. Aturan Islam yang diterapkan dalam sistem khilafah mampu menyelesaikan secara tuntas kekerasan seksual. Khilafah adalah satu-satunya bentuk sistem politik pemerintahan sebagai institusi penegak aturan Islam. Sistem ini adalah warisan Rosulullah.

Para ulama muktabar dalam berbagai kitabnya telah membahas ta’rif/definisi khilafah, diantaranya :
Al-Imam Ibnu Khaldun al-Maliki (w. 808 H)


ﻭاﻟﺨﻼﻓﺔ ﻫﻲ ﺣﻤﻞ اﻟﻜﺎﻓﺔ ﻋﻠﻰ ﻣﻘﺘﻀﻰ اﻟﻨﻈﺮ اﻟﺸﺮﻋﻲ ﻓﻲ ﻣﺼﺎﻟﺤﻬﻢ اﻷﺧﺮﻭﻳﺔ ﻭاﻟﺪﻧﻴﻮﻳﺔ اﻟﺮاﺟﻌﺔ ﺇﻟﻴﻬﺎ ﺇﺫ ﺃﺣﻮاﻝ اﻟﺪﻧﻴﺎ ﺗﺮﺟﻊ ﻛﻠﻬﺎ ﻋﻨﺪ اﻟﺸﺎﺭﻉ ﺇﻟﻰ اﻋﺘﺒﺎﺭﻫﺎ ﺑﻤﺼﺎﻟﺢ اﻵﺧﺮﺓ ﻓﻬﻲ ﻓﻲ اﻟﺤﻘﻴﻘﺔ ﺧﻼﻓﺔ ﻋﻦ ﺻﺎﺣﺐ اﻟﺸﺮﻉ ﻓﻲ ﺣﺮاﺳﺔ اﻟﺪﻳﻦ ﻭﺳﻴﺎﺳﺔ اﻟﺪﻧﻴﺎ ﺑﻪ

“Khilafah adalah kepemimpinan atas seluruh umat berdasarkan sudut pandang syari’at (Islam) untuk kemaslahatan akhirat mereka dan kemaslahatan duniawi mereka yang mengacu padanya (pada kemaslahatan akhirat). Karena segala kondisi di dunia ini akan diperhitungkan di sisi Allah berdasarkan kemaslahatannya di akhirat. Ia pada hakikatnya adalah pengganti daripada Rasulullah dalam menjaga agama (Islam) dan dalam mengatur urusan dunia dengannya (dengan agama Islam) .”Ibnu Khaldun, ‘Abdurrahman bin Muhammad. 1988. Muqaddimah Ibn Khaldûn. (Beirut: Dar al-Fikr) Cet. II, hal 239


Jadi khilafah/imamah akan menjaga berlangsungnya penerapan agama (syariat Islam) yakni mengatur urusan duniawi dengan agama. Dengan demikian Khilafah dalam menyelesaikan kekerasan seksual akan mengacu pada syariat Islam. Khilafah melakukan Tindakan preventif dengan menerapakan aturan pergaulan (nidhom ijtima’) sesuai dengan Islam. melarang melarang sexual consent, perzinaan, dan apapun yang mendekati zina. Allah berfirman:


وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلاً

“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.“ (QS Al-Isra: 32).

Dalam menafsirkan ayat ini, Al Hafizh ibnu Katsir mengatakan:


يقول تعالى ناهيا عباده عن الزنى وعن مقاربته, وهو مخالطة أسبابه ودواعيه

“Allah Ta’ala melarang hamba-hamba-Nya dari perbuatan zina dan perbuatan yang mendekatkan kepada zina, yaitu ber-ikhtilath (bercampur-baur) dengan sebab-sebabnya dan segala hal yang mendorong kepada zina tersebut” Maka Khilafah mengontrol media agar tidak mempertontonkan pornografi-pornoaksi, karena hal itu akan memicu syahwat yang bisa mengarah pada kekerasan seksual. Adapun terkait hukum-hukum pergaulan laki-laki dan perempuan adalah :

  1. Kewajiban menjaga pandangan bagi perempuan atau laki-laki. Yakni Larangan melihat aurot dan larangan memandang selain aurot dengan syahwat. Allah berfirman QS An-Nuur : 30-31)
    قل للمؤمنين يغضوا من أبصارهم ويحفظوا فروجهم ذلك أزكى لهم إن الله خبير بما يصنعون
    “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka, Sungguh, Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nur: 30)
    وقل للمؤمنات يغضضن من أبصارهن ويحفظن فروجهن..
    “Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka…” (QS. An-Nur: 31)
  2. Kewajiban menutup aurot dengan mengenakan khimar dan jilbab ketika berada di luar rumah. Allah berfirman dalam QS An-Nuur : 31
    وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنۡهَاۖ …
    dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak dari dirinya (QS an-Nur [24]: 31).
    Allah berfirman dalam QS Al-Ahzab : 59
     يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ..
    “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (QS. Al Ahzâb [33]: 59)
  3. Larangan bertabarruj, Allah berfirman dalam QS Al-Ahzab: 33
    وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
    “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” (QS. Al Ahzâb [33]: 33)
  4. Larangan berkholwat, dalam hadist Rosulullah bersabda :
    وَلاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِإِمْرَأَةٍ فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ “Janganlah seorang pria ber-khalwat dengan seorang wanita (tanpa disertai mahram-nya) karena sesungguhnya yang ketiganya adalah setan (HR Ahmad)
    لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِإِمْرَأَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ
    “Janganlah seorang laki-laki itu berkhalwat (menyendiri) dengan seorang wanita kecuali ada mahram yang menyertai wanita tersebut.” (HR. Bukhari & Muslim)
  5. Larangan safar tanpa disertai mahram jika perjalanan sehari semalam
    Allah Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
    لَا يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ باللَّهِ وَالْيَومِ الآخِرِ، تُسَافِرُ مَسِيرَةَ يَومٍ وَلَيْلَةٍ إلَّا مع ذِي مَحْرَمٍ عَلَيْهَ
    “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir, bersafar yang jauhnya sejauh perjalanan sehari semalam, kecuali bersama mahramnya” (HR. Muslim no.1339).
  6. Islam menjaga hubungan Kerjasama antara laki -laki dan perempuan bersifat umum seperti urusan ekonomi, menuntut ilmu, tidak bersifat khusus seperti saling berkunjung, atau membicarakan masalah pribadi. Islam tidak menjadikan interaksi yang mengarah pada hubungan lawan jenis yang bersifat seksual. Tetapi interaksinya adalah demi kemaslahatan dan melakukan berbagai aktivitas untuk melaksanakan kewajiban masing-masing.
  7. Islam menetapkan kehidupan khusus wanita dirumahnya Bersama dengan mahramnya. Dan memisahkan jamaah perempuan dengan laki-laki sebagaimana pemisahan shof dalam sholat. Islam mendorong agar wanita tidak berdesakan di tempat umum dan bersegera kembali dalam kehidupan khususnya jika selesai melakukan aktivitasnya.
    Walhasil dengan penerapan aturan pergaulan sesuai syariat Islam tindak kekerasan seksual bisa di cegah. Adapun jika sampai terjadi kasus kekerasan seksual maka Khilafah menerapkan sanksi bersumber pada Al-Qur’an dan hadist. Zina adalah dosa besar dalam bahasa arab, zina diambil dari kata : زَنَى يَزْنِي زِنىً ، وزِنَاءً  yang artinya berbuat fajir (nista).

Adapun ketentuan sanksinya sebagai berikut:

Pertama, jika pelakunya ghoiru muhshon / belum menikah, maka dia didera (dicambuk) 100 kali. Allah berfirman dalam QS An-Nuur : 2


الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مَائَةَ جَلْدَةٍ وَلاَتَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَآئِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman” [An Nur/24:2)


Kedua, jika pelakunya muhshan (sudah menikah), mukallaf ( baligh dan berakal), suka rela (tidak dipaksa, tidak diperkosa), maka hukumannya adalah di dirajam berdasarkan hadist :


عن عمران بن حُصَيْن -رضي الله عنه- أن امرأة من جهينة أتت النبي وهي حبلى من الزنا فقالت: يا نبي الله أصبت حدا فأقمه علي، فدعا نبي الله وليها فقال: أحسن إليها، فإذا وضعت فأتني بها، ففعل فأمر بها فشكت عليها ثيابها، ثم أمر بها فرجمت، ثم صلى عليها، فقال عمر -رضي الله عنه-: أتصلي عليها يا نبي الله وقد زنت؟! فقال: لقد تابت توبة لو قسمت بين سبعين من أهل المدينة لوسعتهم، وهل وجدت أفضل من أن جادت بنفسها لله

Dari ‘Imran bin Hushain Rhadiyallahu anhu bahwasannya ada seorang wanita dari (kabilah) Juhainah mendatangi Nabi Muhammad saw dalam keadaan hamil hasil perzinaan, wanita tersebut berkata: “Wahai Nabiyallah, aku telah melakukan dosa yang patut mendapat hukuman had, maka laksanakan lah (hukuman had tesebut) kepadaku”. Kemudian Nabi Muhammad saw memanggil walinya (keluarganya) dan berkata “Perlakukan lah ia dengan baik, jika dia sudah melahirkan, bawalah ia kepadaku”. Kemudian (walinya) melakukannya (melakukan perintah Rasul saw). Kemudian Nabi saw meminta untuk menghadirkan wanita tersebut dan menyuruh (orang) untuk mengencangkan bajunya (mengikat kencang bajunya), lalu beliau memerintahkan agar wanita itu dirajam. Rasul pun menyalatinya. Umar RA berkata “Apakah engkau menyalatinya wahai Rasulallah, padahal ia telah berzina?”, Rasul pun berkata “Dia telah melakukan taubat dengan taubat yang apabila dibagikan kepada 70 penduduk Madinah, niscaya merea semua akan mendapatkan bagian. Apakah engkau menemukan ada yang lebih baik dari seseorang yang sepenuh hati menyerahkan dirinya kepada Allah swt?” (HR Muslim)


Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, beliau berkata:


قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَهُوَ جَالِسٌ عَلَى مِنْبَرِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ مُحَمَّدًا -صلى الله عليه وسلم- بِالْحَقِّ وَأَنْزَلَ عَلَيْهِ الْكِتَابَ فَكَانَ مِمَّا أُنْزِلَ عَلَيْهِ آيَةُ الرَّجْمِ, قَرَأْنَاهَا وَوَعَيْنَاهَا وَعَقَلْنَاهَا, فَرَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَرَجَمْنَا بَعْدَهُ, فَأَخْشَى إِنْ طَالَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ أَنْ يَقُولَ قَائِلٌ مَا نَجِدُ الرَّجْمَ فِى كِتَابِ اللَّهِ, فَيَضِلُّوا بِتَرْكِ فَرِيضَةٍ أَنْزَلَهَا اللَّهُ. وَإِنَّ الرَّجْمَ فِى كِتَابِ اللَّهِ حَقٌّ عَلَى مَنْ زَنَى إِذَا أَحْصَنَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ إِذَا قَامَتِ الْبَيِّنَةُ أَوْ كَانَ الْحَبَلُ أَوْ الاِعْتِرَافُ.  

“Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu pernah berkata ketika beliau duduk di atas mimbar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ‘Sesungguhnya Allâh  telah mengutus Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam  dengan haq dan telah menurunkan Al-Kitab kepadanya. Dan dulu yang termasuk yang diturunkan adalah ayat tentang rajam. Kami dulu membacanya, memahami dan mengerti kandungannya. Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  pernah menerapkan rajam dan kami juga pernah menerapkannya sepeninggal Beliau. Saya takut jika manusia melalui zaman lama, ada seseorang yang berkata, ‘Kami tidak mendapatkan tentang rajam di Kitab Allâh ,’ sehingga mereka tersesat karena meninggalkan suatu kewajiban yang Allâh  turunkan. Sesungguhnya rajam terdapat di Kitab Allâh , dia adalah kewajiban (yang harus dihukumkan) kepada orang yang berzina yang telah menikah dari kalangan laki-laki dan wanita, apabila telah tegak bukti atau (didapatkan wanita) sedang hamil atau adanya pengakuan (berzina).”


Imam Asy Syaukani rahimahullah berkata dalam kitab Duraril Bahiyyah,“Dan digalikan (liang) untuk orang yang dirajam sampai dada.” Kemudian Imam Shiddiq Hasan Khan rahimahullah mengomentari perkataan di atas, “Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan membuat lubang untuk seorang wanita suku Ghomidi yang (dirajam) sampai dadanya” Hadits ini terdapat dalam Shahih Muslim dan lainnya : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat lubang untuk Ma’iz, kemudian beliau memerintahkan sehingga dia dirajam,
Lafadz rajam juga diriwayatkan dalam Sunan Ibnu Mâjah Radhiyallahu anhu

وَالشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوْهُمَا الْبَتَهْ  نَكَلاً مِنَ اللهِ وَ اللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

“Syeikh lelaki dan perempuan apabila keduanya berzina maka rajamlah keduanya sebagai balasan dari Allah Subhanahu wa Ta’aladan Allah maha perkasa lagi maha bijaksana”


Ibnu al-Mundzir rahimahullah menyatakan: “Para ulama telah berijma’ (sepakat) bahwa orang yang dihukum rajam, terus menerus dilempari batu sampai mati.  ( al-Mughni 12/310). Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan: “Kewajiban merajam pezina al-muhshân baik lelaki atau perempuan adalah pendapat seluruh para ulama dari kalangan sahabat, tabi’in dan ulama-ulama setelah mereka diseluruh negeri Islam dan kami tidak mengetahui ada khilaf (perbedaan pendapat diantara para ulama) kecuali kaum Khawarij” (Al-Mughni 12/309)


inilah Langkah konkrit dan praktis khilafah dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual. yaitu Tindakan pencegahan berupa penerapan aturan pergaulan laki-laki perempuan sesuai syariat Islam. Aturan ini akan menghilangkan celah yang memungkinkan terjadinya kekerasan seksual. Kemudian penerapan sanksi dalam Islam berfungsi sebagai jawâzir dan jawâbir. jawâzir (pencegah) yaitu dapat mencegah manusia dari tindak kejahatan yang sama. sebagai jawâbir (penebus) dikarenakan ’uqubat dapat menebus sanksi akhirat. Jadi khilafah sebagai sebuah sistem pemerintahan Islam mampu menyelesaikan problem kekerasaan seksual dengan menerapkan syariat Islam kaffah termasuk memberlakukan hukuman yang tegas bagi pelakunya.