Assalamu’alaikum wr. wb.
Saat ini sedang ramai wacana tuntutan pengebirian terhadap HW (36 tahun) yang telah memperkosa banyak santrinya, bahkan ada yang sampai melahirkan 2 anak. Bagaimana tuntunan Islam terkait hal ini? Atas penjelasannya, saya sampaikan jazakumullah khairan katsira.
Wa’alaikumussalam wr. wb.
Ibu muslimah rahimakumullah, Hukum pengebirian terhadap pemerkosa haram hukumnya, karena syari’at Islam dengan tegas melarang pengebirian. Para ulama pun tidak berbeda pendapat (khilafiyah) dalam hal ini. Ketiadaan khilafiyah ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abdil Barr (Al Istidzkar, 8/433), Imam Ibnu Hajar Al Asqalani (Fathul Bari, 9/111), Imam Badruddin Al ‘Aini (‘Umdatul Qari, 20/72), Imam Al Qurthubi (Al Jami’ li Ahkam Al Qur’an, 5/334), dan Imam Shan’ani (Subulus Salam, 3/110).
Hadits – hadits Rasulullah Saw. menunjukkan keharaman pengebirian tersebut. Dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra., “Rasulullah Saw. telah menolak ‘Utsman bin Mazh’un ra. untuk melakukan tabattul (meninggalkan kenikmatan duniawi demi ibadah). Kalau sekiranya Rasulullah Saw. mengijinkan ‘Utsman bin Mazh’un untuk tabattul, biscaya kami sudah melakukan pengebirian.” (HR Bukhari no. 5073, Muslim no. 3390).
Dari Ibn Mas’ud ra., “Dahulu kami pernah berperang bersama Nabi Saw. sedang kami tidak bersama istri-istri. Lalu kami berkata (kepada Nabi Saw.), ‘Bolehkah kami melakukan pengebirian?’ Maka Nabi Saw. melarang yang demikian itu.” (HR Bukhari no. 4615, Muslim no. 1404, Ahmad no. 3650, Ibnu Hibban no. 4141). (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’I fi Al Islam, hlm. 164; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 19/119).
Menurut syari’at Islam, pemerkosa (al mughtashib) mendapat tiga jenis hukuman:
1. Had zina (sanksi untuk perbuatan zina), yaitu dirajam sampai mati bila pemerkosa sudah menikah (muhshan) atau dicambuk seratus kali bila belum menikah (ghayr muhshan).
Dalilnya adalah:
عَ ن أَبِي هُرَ يرَة رَضِيَ اللَّ عَ نه قَالَ : ” أَتَى رَجُ ل رَسُولَ اللَِّ صَلّى اللَّ عَلَ يهِ وَسَلّمَ وَهُوَ فِي ا لمَ سجِدِ فَنَادَاه فَق الَ : يَا رَسُولَ اللَِّ إِنِِّي
زَنَ يتُ ، فَأ عرَضَ عَ نه حَتّى رَدّدَ عَلَ يهِ أَ ربَعَ مَرّا ت ، فَلَمّا شَهِدَ عَ لَى نَ فسِهِ أَ ربَعَ شَهَادَا ت دَعَاه النّبِ ي صَلّى اللَّ عَلَ يهِ وَسَلّمَ فَقَالَ : ) أَبِكَ
جُنُو ن ؟ ( قَالَ : لَا قَالَ : ) فَهَ ل أَ حصَ نتَ ( قَالَ : نَعَ م فَقَالَ النّبِ ي صَلّى اللَّ عَلَ يهِ وَسَلّمَ : ) ا ذهَبُوا بِهِ فَا رجُمُوه ( .
رواه البخاري ) 6430 ( ومسلم ) 1691 . )
Dari Abu Hurairah ra. dia berkata, “Seorang lelaki menemui Rasulullah Saw. ketika beliau berada di masjid. Orang itu memanggil beliau seraya mengatakan, ‘Wahai Rasulullah , saya telah berzina.’ Tetapi Rasulullah berpaling darinya. Tatkala kesaksiannya sampai empat kali, Nabi bertanya,’Apakah kamu gila?’ Dia menjawab,’Tidak.” Nabi bertanya, ‘Apakah kamu sudah menikah?’ Dia menjawab, ‘Ya.’ Lantas Nabi bersabda, ‘Bawalah orang ini dan rajamlah dia.” (HR Bukhari 6430 dan Muslim 1691).
Bila pemerkosa belum menikah maka hukumannya berupa 100 kali dicambuk, sesuai dengan surat An Nuur (24) ayat 2:
اَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِىۡ فَاجۡلِدُوۡا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنۡهُمَا مِائَةَ جَلۡدَةٍ
“Pezina perempuan dan pezina lelaki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali.”
2. Kompensasi harta (at ta’wiidh al maali) yaitu membayar kompensasi berupa shadaaqu mitslihaa, yaitu mahar untuk wanita yang semisal korban.
Ini adalah pendapat sebagian fukoha, di antaranya ulama madzhab Maliki dan Syafi’i. Imam Malik menyatakan dalam kitabnya Al Muwaththa’:
• قال الإمام مالك رحمه الله :
• الأمر عندنا في الرجل يغتصب المرأة بكراً كانت أو ثيبا : أنها إن كانت حرة : فعليه صداق مثلها , وإن كانت أمَة :
فعليه ما نقص من ثمنها ، والعقوبة في ذلك على المغتصب ، ولا عقوبة على المغتصبة في ذلك كله.
• )الموطأ 2; / 734 )
“Hukuman menurut kami bagi lelaki (pemerkosa) yang memerkosa wanita, baik perawan ataupun janda adalah: jika korban itu wanita merdeka, pemerkosa wajib membayar shadaaqu mitslihaa, yaitu mahar untuk wanita yang semisal korban. Jika korbannya budak, maka maharnya berkurang sesuai harga budak. Hukuman untuk perkosaan ini hanyalah untuk pemerkosa, dan tidak ada hukuman bagi yang diperkosa.” (Imam Malik, Al Muwaththa’, II/734).
3. Ta’zir, yaitu sanksi yang bisa diberikan oleh hakim syari’ah (qadhi) kepada pemerkosa (mughtashib), karena dia tidak sekedar berzina tapi juga melakukan pemaksaan (al ikraah) yang perlu dijatuhi sanksi tersendiri.
Ini adalah pendapat Imam Ibnu Abdil Barr, seorang ulama madzhab Maliki, dalam kitabnya Al Istidzkaar:
فإن الحاكم يعاقبه ويعزره العقوبة التي تردعه وأمثاله
“Sesungguhnya hakim (qadhi) dapat menjatuhkan hukuman kepada pemerkosa dan menetapkan ta’zir kepadanya, suatu hukuman (sanksi) yang dapat membuat jera untuk dia dan orang-orang yang semisalnya.” (Imam Ibnu Abdil Barr, Al Istidzkaar). Demikian jawaban yang bisa disampaikan. Wallahu a’lam bishshawab.