Oleh: Shafiyah Raihanah
Suaramubalighah.com, muslimah dan keluarga — Pernikahan merupakan hal yang selalu menarik untuk dibicarakan. Terlebih saat ini berbagai permasalahan rumah tangga banyak terjadi di tengah masyarakat, sehingga kasus-kasus perceraian semakin bertambah dari berbagai latar belakang. Dari permasalahan-permasalahan di dalam pernikahan tersebut setidaknya muncul dua pendapat yang nampak, yaitu mereka yang berpendapat bahwa pernikahan akan membawa pada kebahagiaan. Sebaliknya, ada yang mengatakan bahwa pernikahan tidak mengundang kebahagiaan bagi pelakunya. Hal itu berdasarkan pada perselisihan dan problematika hidup yang dialaminya.
Keberadaan keluarga dalam kehidupan masyarakat amatlah penting. Dari keluargalah akan lahir individu – individu yang akan mempengaruhi bangunan masyarakat. Jika keluarga rusak, maka salahsatu bangunan masyarakatpun akan rusak, dan sebaliknya jika keluarga sakinah maka individu keluarga tersebut juga akan dapat memberi kontribusi kebaikan bagi masyarakat.
Islam memiliki perspektif tentang pernikahan yang jauh lebih integral dan komprehensif daripada sekedar anggapan penyatuan dua jenis manusia yang berbeda dalam satu hubungan keluarga. Pernikahan merupakan pelindung individu maupun masyarakat, terutama bagi kaum perempuan. Melalui pernikahan akan terbentuk keluarga yang mampu melindungi perempuan dan memberikan kasih sayang kepada anak-anak, menghasilkan generasi yang baik, mengalirkan darah baru ke urat-urat masyarakat sehingga masyarakat menjadi lebih segar, kuat, maju, dan berkembang. Bahkan Islam memotivasi dan menganjurkan pernikahan.
“Wahai para pemuda, jika kamu sudah memiliki kemampuan untuk menikah, menikahlah. Sebab, itu lebih ampuh untuk menjaga pandangan mata dan kehormatanmu. Sedangkan yang belum mampu, hendaknya dia berpuasa, karena itu akan menjadi perisai baginya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Bahkan, pernikahan dianggap sebagai separuh agama. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, “Jika seseorang telah menikah, dia telah melengkapi separuh agamanya. Hendaklah dia bertakwa kepada Allah dalam separuhnya lagi.” (HR. Al-Baihaqi dan Al-Hakim)
Sehingga, dalam rumah tangga muslim harus dibangun berdasarkan ketaatan keduanya (suami dan istri) terhadap syariat Islam dengan menjalankan peran masing-masing sesuai ketentuan syariat. Supaya, bahtera rumah tangga mengarah pada kebahagiaan yang hakiki dengan mendapatkan ridho Ilahi.
Di dalam kitab Nizhamul Ijtima’iy disebutkan pilar-pilar penyangga rumah tangga berdasarkan Al-quran dan As-sunah.
Pertama, Pergaulan suami dan istri merupakan sahabat (shahibah), bukan sebagai mitra kerja (syarikah). Pergaulan yang merupakan sahabat sejati dalam semua hal dapat memberikan kedamaian dan ketenteraman satu sama lainnya. Sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam QS. Al-A’raf: 189,
… هُوَ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ اِلَيْهَاۚ
“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya…”
Kedua, as-sakn yang bermakna ketenteraman atau kedamaian (al-ithmi’nan). Persahabatan yang terjalin antara suamu dan istri tersebut akan menjadi persahabatan damai dan tenteram, jika berpegang teguh pada syariah Islam. Karena syariah Islam memberikan penjelasan tentang hak suami dan istri. Keduanya akan saling cenderung kepada satu dan yang lainnya, tidak saling menjauhi. Kedamaian di dalam rumah tangga merupakan ketentuan dasar dalam biduk rumah tangga, dan dasar dari kehidupan suami-istri adalah ketenteraman.
Firman Allah tentang hal ini disebutkan:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِۖ
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (TQS al-Baqarah: 228)
Dalam ayat ini berarti seorang istri mempunyai hak-hak dalam konteks suami-istri terhadap suaminya sebagaimana suami juga memiliki hak-hak dalam konteks suami-istri terhadap istrinya. Hal ini diperkuat oleh penuturan Ibn ‘Abbas:
“Para istri berhak atas persahabatan dan pergaulan yang baik dari suami mereka, sebagaimana mereka wajib taat (kepada suaminya) dalam hal yang memang diwajibkan atas mereka terhadap suami mereka.”
Ketiga, al-‘Usyrah (pergaulan) yaang memiliki makna al-mukhalathah wa al-mumaazajah (berinteraksi dan bercampur dengan penuh keakraban dan kedekatan).
Mengenai hal ini Allah SWT mewasiatkan pergaulan yang baik di antara pasangan suami-istri.
وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Dan bergaullah dengan mereka secara baik.” (TQS an-Nisaa: 19)
Perintah Allah ini menegaskan dua hal, yaitu bergaul dengannya secara akrab (Aasyarahu mu’asyarah) dan ta’asyara al-qawm wa i’tasyaaru (suatu kaum saling bergaul di antara mereka secara akrab).
Pergaulan suami terhadap istri merupakan tambahan atas kewajiban dalam memenuhi hak-hak istri berupa mahar dan nafkah. Seorang suami hendaknya senantiasa berlemah lembut dalam berbicara, tidak bersikap keras dan kasar, dan tidak memperlihatkan kecenderungan kepada wanita lain.
Ia pun hendaknya tidak bermuka masam tanpa ada kesalahan dari pasangannya. Allah SWT begitu jelas memerintahkan para suami untuk bergaul secara baik dengan pasangan mereka ketika sudah membangun ikatan rumah tangga. Sebab, hal tersebut akan menjadikan pergaulan dan persahabatan diantara keduanya akan berlangsung sempurna sehingga menenteramkan jiwa dan membahagiakan hidup.
Rasulullah SAW pun berpesan kepada kaum laki-laki di dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jabir yang disabdakan dalam khutbah pada saat beliau berhaji wada’,
“Bertakwalah kalian kepada Allah dalam urusan kaum wanita, karena sesungguhnya kalian telah mengambil mereka dengan amanat dari Allah, dan kalian pun telah menjadikan kemaluan mereka halal bagi kalian dengan kalimat Allah. Kalian memiliki hak atas istri-istri kalian agar mereka tidak memasukkan ke tempat tidur kalian seorang pun yang tidak kalian sukai. Jika mereka melakukan tindakan itu, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak kuat (tidak menyakitkan/meninggalkan bekas). Sebaliknya, mereka pun memiliki hak terhadap kalian untuk mendapatkan rezeki dan pakain (nafkah) mereka menurut cara yang ma’ruf.”
Dalam hadist lain juga disebutkan:
“Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada keluarga (istri)-nya. Dan aku adalah orang yang paling baik dari kalian terhadap keluarga (istri)-ku.” (HR. Al-Hakim dan Ibn Hibban dari jalur “Aisyah RA)
Bahkan, Rasulullah SAW sebagai suri tauladan telah bergaul secara indah dan memperlihatkan kasih sayangnya dengan senantiasa bersikap lemah lembut, bersenda gurau, membuat mereka tertawa, bahkan lomba lari dengan ‘Aisyah RA. Sebagaimana dituturkan oleh ‘Aisyah RA, ummul mukminin:
“Rasulullah SAW pernah mengajakku berlomba lari, maka aku pun berhasil mendahului beliau. Itu sebelum badanku gemuk. Lalu aku mengajak beliau berlomba lari setelah aku gemuk, maka beliau berhasil mendahuluiku. Lalu beliau bersabda: “Ini untuk membalas kekalahanku waktu itu.” (HR Ibn Hibban di dalam Shahihnya).
Di dalam kehidupan rumah tangga, ada kalanya terjadi sesuatu yang bisa mengeruhkan suasana kedamaian dan ketenteraman. Oleh karena itu, Allah SWT menetapkan suami sebagai pemimpin rumah tangga (qawwam) atas istrinya.
Kepemimpinan rumah tangga (qiyadah al-bayt) berarti harus mempergauli istrinya dengan baik. Suami sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pengaturan dan pemeliharaan urusan rumah tangga, hanya diberi wewenang untuk memberikan sanksi kepada istri jika istri berbuat dosa sebatas pelanggaran dalam ruang lingkup syariah.
Adapun di luar perkara itu, maka suami tidak boleh menggangu dan mencari-cari kesalahannya. Allah SWT menegaskan, “Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari jalan untuk menyusahkannya.” (TQS An Nisa: 34) Terlebih jika istri dalam kondisi menaati suami, maka suami harus bersikap ramah, toleran, dan lemah lembut saat meminta sesuatu dari istrinya, hingga berhubungan suami pun hendaknya memilih situasi dan kondisi yang cocok bagi istri.
Hal ini dikabarkan di dalam as-sunah, “Janganlah kalan mengetuk pintu wanita (istri) pada malam hari hingga wanita itu (bisa) menyisir rambutnya yang kusut dan wanita yang ditnggal suaminya itu (bisa) mempercaantik) diri.” (Muttafaq ‘alayh dari jalur Jabir RA)
Jadi, tanggung jawab dan kepemimpinan suami atas istri di dalam rumah tangga bukanlah kepemimpinan yang otoriter dan mendominasi. Sehingga, kepemimpinan yang penuh persahabatan tersebut, istri tak segan memberikan pendapat dan berdiskusi dengan suami.
Sementara istri wajib melayani suami, seperti memasak, membersihkan rumah, menyediakan makan dan minum, serta melayani semua hal yang seharusnya dikerjakan di rumah. Sedangkan suami wajib menyediakan segala keperluan yang dibutuhkan istri dari luar rumah. Sehingga, kehidupan rumah tangga akan memunculkan sebuah kehidupan yang penuh kedamaian dan ketenteraman.
وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (TQS ar-Ruum: 21).
Wallahu a’lam bishawab.