Peran Keluarga dalam Mencetak Generasi Milenial Pejuang Islam Kafah

Oleh: Hj. Padliyati Siregar, ST

Suaramubalighah.com, muslimah dan keluarga — Tidak bisa dipungkiri bahwa permasalahan kompleks yang dihadapi keluarga-keluarga muslim di negeri ini, bahkan di seluruh dunia, adalah buah dari penerapan sistem sekuler kapitalisme. Saat ini kita disuguhkan dengan potret kehidupan keluarga di Indonesia, yang akan meneteskan air mata dan mengelus dada.

Hal itu disebabkan karena potret keluarga di Indonesia bukan hanya sudah buram, bahkan hampir menemui titik nadirnya. Fakta yang menyesakan dada tersebut kian deras bergulir dalam pemberitaan media, bagaimana potret itu menggambarkan peran-peran penting dalam sebuah keluarga semakin bias bahkan membusuk.


Keluarga adalah benteng pertahanan terakhir setiap negeri. Sebab keluarga adalah cikal bakal terbentuknya sebuah masyarakat dan berlangsungnya kehidupan. Sebuah keluarga bukan hanya berfungsi memproduksi generasi penerus, melainkan awal dari sumbu kehidupan terbentuknya peran-peran penting dalam kehidupan.

Gemerlap sistem kehidupan sekuler kapitalisme telah menyilaukan mata sebagian keluarga muslim. Padahal, Allah telah mengingatkan kita semua melalui firman-Nya:


ٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَوْلَٰدِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ ٱلْكُفَّارَ نَبَاتُهُۥ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَىٰهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَٰمًا ۖ وَفِى ٱلْءَاخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضْوَٰنٌ ۚ وَمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلْغُرُورِ

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan. Perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS Al–Hadid: 20)


Sudah seharusnya keluarga muslim menetapkan visi, misi dan tujuan berkeluarga sesuai Islam. Visi keluarga seorang Muslim adalah meraih kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat kelak bisa masuk surga bersama keluarga. Misi dan tujuan berkeluarga adalah mewujudkan sakinah mawaddah wa rahmah; melahirkan generasi saleh-salihah, penghulu orang bertakwa dan pelanjut estafet perjuangan Islam,jangan sampai kehilangan orientasi kehidupannya, menganggap kemuliaan akan diperoleh dengan banyaknya harta dan anak-anak.

Keluarga Rasulullah dan Sahabat Adalah Keluarga Pejuang
Keluarga Rasulullah dan para Sahabat merupakan sosok teladan umat Islam. Mereka adalah keluarga yang senantiasa gigih berjuang untuk menegakkan Islam di muka bumi. Mereka mampu menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa. Mereka pun memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan menyebarkan risalah Islam ini. Mereka menyebarkan Islam dan memperjuangkannya di tengah-tengah manusia. Namun, mereka tidak membiarkan keluarganya berada dalam kesesatan.


Keluarga tetapi menjadi prioritas bagi mereka dalam memperjuangkan Islam. Senantiasa lekat dalam ingatan kita, keluarga Yasir bin Amir bin Malik. Yasir bersama istrinya Sumayyah binti Khubath ra. dan anaknya Amar bin Yasir, termasuk tujuh orang pertama yang masuk Islam. Pasangan suami istri tersebut berhasil mendidik anaknya menjadi saleh.


Sang suami amat sayang kepada istri dan anaknya. Semasa hidupnya pun Sumayyah dikenal sebagai seorang istri yang baik, berbakti, dan mengabdi kepada suaminya. Ia bersama suaminya dalam suka dan duka. Mereka bukan hanya sebagai keluarga sakinah, melainkan juga mempertaruhkan nyawanya demi melawan musuh-musuh Islam. Jelas, mereka adalah keluarga sakinah pejuang dan penegak Islam.


Muadz bin ‘Amr, setelah masuk Islam, merasa bertanggung jawab mengajak ayahnya, ‘Amr ibnul Jamuh, yang masih menyembah berhala, untuk masuk Islam. Setelah berupaya keras, akhirnya ayahnya pun masuk Islam. Setelah masuk Islam, ‘Amr ibnul Jamuh merasa bertanggung jawab terhadap umat, beliau ingin terjun dalam perang badar demi merindukan syahid sekali pun ia dalam keadaan pincang. Namun, saat itu tidak diperkenankan.


Ketika datang seruan Perang Uhud, ruh perjuangannya seolah tak terbendung. ‘Amr ibnul Jamuh segera mendatangi Rasulullah saw. dan berkata, ”Wahai Rasulullah, sesungguhnya anak-anakku ingin menghalangiku keluar bersama engkau dalam urusan (perang)ini. Demi Allah, sesungguhnya aku berharap masuk surga dengan kepincanganku ini.” Rasulullah berkata, “Adapun engkau, Allah telah memaafkanmu (dari tidak berperang), maka tidak ada (kewajiban) jihad bagimu.”

Dan Rasulullah berkata kepada anak-anak ‘Amr, “Tidak ada hak bagi kalian untuk mencegahnya dari (berjihad), barangkali Allah akan memberi rezeki syahid kepadanya.” ‘Amr kemudian pergi dengan pedangnya dan berdoa, “Ya Allah, karuniakan kepadaku syahadah (mati syahid), dan jangan kembalikan aku kepada keluargaku dengan kegagalan (meraih syahid).” Akhirnya ia memang syahid dalam Perang Uhud, dan Rasulullah bersabda, “Demi Zat yang diriku dalam genggaman-Nya, sungguh aku melihatnya memasuki surga dengan kepincangannya.”


Begitu pula keluarga Al-Khansa’. Karena tanggung jawabnya terhadap umat, beliau menyemangati putra-putranya untuk membela Islam. Ketika Mutsanna bin Haritsah asy-Syaibani berangkat ke Qadisiyah pada masa Amirul Mukminin Umar bin Khaththab ra., Khansa’ berangkat bersama keempat putranya untuk menyertai pasukan tersebut. Di medan peperangan, saat malam ketika para pasukan sedang siap berperang satu sama lain, Khansa’ mengumpulkan keempat putranya untuk memberikan pengarahan kepada mereka dan mengobarkan semangat kepada mereka untuk berperang dan agar mereka tidak lari dari peperangan, serta agar mereka mengharapkan syahid di jalan Allah SWT.


Atas izin Allah, keempat putranya mendapatkan kemuliaan syahid di jalan Allah. Ketika berita syahidnya empat bersaudara itu sampai kepada ibunya yang mukminah dan sabar, beliau tidaklah menjadi guncang ataupun meratap. Beliau bahkan mengatakan suatu perkataan yang masyhur yang dicatat oleh sejarah, dan akan senantiasa diulang-ulang oleh sejarah sampai waktu yang dikehendaki Allah. Ia berkata, “Segala puji bagi Allah yang memuliakan diriku dengan syahidnya mereka, dan aku berharap kepada Rabb-ku agar Dia mengumpulkan diriku dengan mereka dalam rahmat-Nya.” Inilah beberapa contoh keluarga yang mulia, keluarga yang menjadikan kemuliaan akhirat sebagai tujuan sekaligus poros hidup mereka.


Berkaca dari gambaran keluarga Rasulullah dan Sahabat kita dapat melihat betapa pentingnya peran keluarga bagi keberlangsungan perjuangan, para pejuang Islam harus menyiapkan keluarga agar mereka juga berada dalam barisan dakwah, menjadi penerus estafet perjuangan, penguat dan pengukuh, pelindung juga pembela, atau paling tidak mereka tidak menghalangi dan menentang dakwah. Mereka saling menyemangati yang satu dengan yang lainnya.

Dukungan, bantuan, dan kerja sama dari keluarga akan memunculkan semangat yang berlipat ganda, di tengah tantangan dan rintangan di medan dakwah yang luar biasa beratnya. Semua kesulitan seolah-olah tak berarti sedikit pun, tidak menyurutkan semangat, juga tidak memalingkan arah dan langkah yang ditempuh. Pejuang Islam senantiasa istikamah di jalan dakwah dan konsisten dalam medan perjuangan.

Di sinilah sesungguhnya peran penting kita semua untuk memahamkan kepada keluarga kita, bahwa dakwah memperjuangkan Islam bukan pilihan semata, akan tetapi kewajiban dari Allah SWT yang harus dilaksanakan oleh keluarga muslim.


Dimana secara politis dan strategis, keluarga berfungsi sebagai tempat yang paling ideal untuk mencetak generasi unggulan, yakni generasi yang bertakwa, cerdas, dan siap memimpin umat membangun peradaban ideal di masa depan, sebagaimana telah terbukti berhasil membangun peradaban ideal umat Islam di masa lalu hingga umat Islam muncul sebagai khairu ummah.

Lihat catatan kaki :
1.Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2:81)
2.Diriwayatkan oleh Nasa’I dan Ibnu Hibban dari Anas radhiyallahu’anhu dalam kitab Al-Albani Shahiihul Jaami’ no 5969)
3.Kisahnya terdapat dalam kitab Hilyatul Auliya’ karangan Abu Nu’aim Al-Ashfahani