Relasi Persahabatan Suami Istri dalam Islam

Oleh : Ade Aisyah A.md.

Suaramubalighah.com, muslimah dan keluarga —Suami pakaian istri, istri pakaian suami. Begitulah keduanya saling menjaga dan menutupi aib dan kekurangan sehingga masalah internal rumah tangga tidak menjadi bahan pembicaraan orang lain. Suami istri pun bak kedua sahabat karib yang bersama-sama mengarungi kehidupan, mengecap pahit manis dan suka-duka perjalanan hidup untuk meraih bahagia. Tidak terbatas di dunia, kebahagian itu sampai menembus alam setelahnya yakni akhirat.

Impian kebahagian suami istri pasti menjadi dambaan setiap pasangan halal. Jika yang didamba itu kebahagiaan dunia akhirat tentu yang menjadi standar dalam meraih kebahagian itu hanyalah Islam. Hal ini karena hanya Islam saja yang mampu memberikan jaminan untuk mewujudkannya.
Hanya saja, hari ini ketika aturan Islam tidak diterapkan secara kafah dalam kehidupan, manusia membuat-buat konsep kebahagian sendiri yang berasal dari pertimbangan maslahat dengan standar akal manusia.

Dalam hal meraih kebahagiaan hidup berumah tangga, hari ini kita mengenal adanya konsep mubadalah yang mewajibkan suami taat pada istri untuk membangun keluarga maslahah.
Konsep mubadalah dibahas oleh Kiai Faqih Abdul Qodir dalam bukunya yang berjudul Qiraah Mubadalah. Buku itu menyampaikan berbagai hal berkaitan dengan konsep kesalingan guna mencapai kehidupan yang bahagia khususnya dalam berumah tangga (mubadalah.id).

Selanjutnya Faqihuddin Abdul Kodir dalam prespektif qiraah mubadalah tentang konsep ketaatan istri pada suami menjelaskan bahwa ketaatan istri pada suami ialah ketaatan atau suatu perilaku istri untuk bisa menyenangkan hati suaminya dan menjalankan segala perintah suaminya kecuali dalam hal kemaksiatan begitupun sebaliknya, dan menurutnya wanita dan laki-laki itu sama, tidak ada yang lebih rendah ataupun lebih tinggi, suami istri menjalankan kewajibannya secara Bersama. (digilib.uinsby.ac.id).

Menurut konsep mubadalah ini, tidak hanya istri yang taat kepada suaminya tetapi sebaliknya. Suami pun semestinya menunjukkan ketaatan kepada istri karena kedudukan istri dan suami sama. Jelaslah bahwa konsep ini diturunkan dari cara pandang kesetaraan gender/feminisme yang merupakan turunan dari cara pandang sekulerisme yang memisahkam agama dari kehidupan. Sama sekali bukan berasal dari pandangan Islam. Islam sudah mengatur relasi suami istri dan menjamin terwujudnya kebahagiaan dunia dan akhirat jika berjalan sesuai dengan Syariat Islam. Firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 19:


يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا لَا يَحِلُّ لَـكُمۡ اَنۡ تَرِثُوا النِّسَآءَ كَرۡهًا‌ ؕ وَلَا تَعۡضُلُوۡهُنَّ لِتَذۡهَبُوۡا بِبَعۡضِ مَاۤ اٰتَيۡتُمُوۡهُنَّ اِلَّاۤ اَنۡ يَّاۡتِيۡنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ‌ ۚ وَعَاشِرُوۡهُنَّ بِالۡمَعۡرُوۡفِ‌ ۚ فَاِنۡ كَرِهۡتُمُوۡهُنَّ فَعَسٰۤى اَنۡ تَكۡرَهُوۡا شَيۡــًٔـا وَّيَجۡعَلَ اللّٰهُ فِيۡهِ خَيۡرًا كَثِيۡرًا

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.”

Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan firman Allah:


وَعَاشِرُوۡهُنَّ بِالۡمَعۡرُوۡفِ‌

Dan bergaullah dengan mereka secara patut. (An-Nisa: 19) yakni bertutur sapa dengan baiklah kalian kepada mereka, dan berlakulah dengan baik dalam semua perbuatan dan penampilan kalian terhadap mereka dalam batas yang sesuai dengan kemampuan kalian. Sebagaimana kalian pun menyukai hal tersebut dari mereka, maka lakukan olehmu hal yang semisal terhadap mereka.
Seperti pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:


وَلَهُنَّ مِثۡلُ الَّذِىۡ عَلَيۡهِنَّ بِالۡمَعۡرُوۡفِ‌

Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf (Al-Baqarah: 228)

Rasulullah Saw. pernah bersabda:

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِي

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik perlakuan kalian kepada istrinya, sedangkan aku adalah orang yang paling baik kepada istriku di antara kalian”

Tersebutlah bahwa termasuk akhlak Nabi Saw. dalam mempergauli istri ialah beliau orang yang sangat baik dalam bergaul, selalu gembira, sering bermain dengan istrinya. dan bersikap lemah lembut kepada mereka, memberi mereka kelapangan dalam nafkah serta gemar bersenda gurau. Hingga pernah beliau berlomba lari dengan Siti Aisyah Ummul Mukminin r.a. sambil bercengkerama dan berkasih mesra dengannya.

Rasulullah Saw. selalu mengumpulkan semua istrinya setiap malam di dalam satu rumah yang merupakan malam giliran beliau. Lalu adakalanya beliau makan malam bersama-sama mereka. Setelah itu masing-masing istri kembali ke tempatnya sendiri-sendiri (kecuali yang digilir oleh beliau). Rosulullah tidur dengan salah seorang istrinya dalam satu kemah, dan beliau terlebih dahulu meletakkan kain selendangnya, lalu tidur dengan memakai kain sarung. Rosulullah bila telah melakukan shalat Isya dan masuk ke dalam rumahnya, terlebih dahulu begadang sebentar bersama keluarganya sebelum tidur; hal itu beliau lakukan untuk mengakrabkan diri dengan mereka. Allah telah berfirman:

لَقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِىۡ رَسُوۡلِ اللّٰهِ اُسۡوَةٌ حَسَنَةٌ

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian. (Al-Ahzab 21)

Demikianlah gambaran pergaulan yang makruf seorang suami kepada istrinya. Seorang istri akan nyaman, tenang dan bahagia karena haknya telah dipenuhi seraya kewajibannya juga dijalankan.
Ketaatan seorang istri kepada suami adalah kewajiban karena suami dalam rumah tangga berperan sebagai qowwam/pemimpin. Sudah menjadi hak bagi pemimpin untuk ditaati selama dalam kerangka taat kepada Allah.

Allah Swt. menjadikan laki-laki sebagai qowwam dalam keluarga karena Allah telah memberikan kelebihan pada laki-laki sehingga laki-laki mampu memikul tanggung jawab tersebut.
Allah berfirman dalam surat An-Nisa’ ayat 34:

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوۡنَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعۡضَهُمۡ عَلٰى بَعۡضٍ وَّبِمَاۤ اَنۡفَقُوۡا مِنۡ اَمۡوَالِهِمۡ‌ ؕ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰ

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)… ”

Dalam rumah tangga perlu seorang pemimpin bak sebuah kapal membutuhkan nahkoda. Satu orang nahkoda atau pemimpin, bukan dua orang atau lebih. Kesetaraan dalam kepemimpinan keluarga tentu akan mempersulit keluarga mencapai suatu tujuan. Bahkan perselisihan karena perbedaan pendapat dan tidak ada yang paling berhak memutuskan berbagai persoalan menjadikan keluarga di ambang kehancuran tak tentu arah.


Tepatlah Islam menetapkan bahwa seorang lelaki adalah pemimpin bagi wanita, termasuk di dalam rumah tangga. Seorang suami yang qowwamah bagi istri dan anak-anaknya tentu akan mengarahkan biduk rumah tangganya menuju sebuah destinasi yang tepat dan pasti. Dengan jiwa kepemimpinannya mampu mengajak seluruh anggota keluarganya untuk mencapai tujuan tersebut. Ketaatan istri sholihah kepada suami akan memudahkan terciptanya keluarga bahagia, sakinah mawaddah warahmah dan diraihnya keridhaan Allah. Wallaahu’alam bish shawab.

*)Penulis adalah ketua yayasan Zaidan Tarbiyatul Islamiy.