Kewajiban Menutup Aurat: Bentuk Kasih Sayang Sang Pemilik Jagat

  • Opini

Oleh: Atik Hermawati

Suaramubalighah.com, Opini — Pakaian perempuan yang ketat dan mengundang birahi dianggap bukan penyebab kasus kejahatan seksual oleh sebagian pihak. Wakil Ketua Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin pun menegaskan bahwa pelecehan seksual tidak ada kaitannya dengan pakaian, tetapi pelakunya yang harus diperhatikan (Kompas.com, 02/07/2021). Namun benarkah demikian? Bukankah menutup aurat bagi muslimah itu kewajiban?

Kasus pelecehan maupun kekerasan seksual yang semakin meningkat di negeri ini, tak kunjung menemukan solusi pasti. Pasalnya berbagai kebijakan yang ada tak pernah menyentuh persoalan dari akarnya. Bahkan membuat masalah yang baru. Seperti hal ini, pakaian ketat menjadi diskusi dan disimpulkan sebagai bukan penyebab kejahatan seksual tersebut. Perintah wanita untuk mengontrol pakaiannya dianggap kekangan yang menyalahi hak asasi.

Kewajiban Menutup Aurat

يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِّاˆزْوَاجِكَ وَبَنٰتِكَ وَنِسَاۤءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيْبِهِنَّ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَنْ يُّعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَۗ وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Al-Ahzab [33]: 59).

Sabab nuzul yang dikemukakan Sa’id bin Manshur, Sa’ad, Abd bin Humaid, Ibnu Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Abi Malik: “Dahulu para istri Rasulullah saw. keluar rumah untuk buang hajat. Saat itu kaum munafik yang melihatnya, menyakiti dan mengganggu mereka. Ketika ditegur, kaum munafik menjawab, “Kami hanya mengganggu hamba sahaya saja.” Maka turunlah ayat ini.

Seruan ayat ini ditujukan pada Rasulullah saw. sebagai ketentuan hukum untuk disampaikan kepada para istri dan anak perempuan beliau, kemudian muslimah lainnya. Yakni untuk mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.

Kata al-jalabib merupakan bentuk jamak dari kata al-jilbab. Ibnu Abbas menafsirkannya sebagai al-rida’ (mantel) yang menutupi dari atas hingga bawah. Sedangkan menurut Al Qurthubi, jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh. Ada juga yang mengartikannya sebagai milhafah (baju kurung yang longgar dan tidak tipis) ataupun mula’ah (baju kurung) yang menutupi wanita atau al-qamish (gamis).

Dapat dipahami bahwa jilbab adalah pakaian longgar yang menutupi pakaian yang biasa dikenakan wanita di rumahnya. Bentuknya seperti terowongan yakni baju satu potongan dari atas hingga bawah, tidak tipis dan menerawang. Jilbab ini wajib dikenakan wanita Muslim saat hendak keluar rumah atau di hadapan nonmahram.

Sebagaimana sabda Rasulullah saw. saat memerintahkan kaum wanita untuk keluar pada hari ied, “… “Wahai Rasulullah, salah seorang di antara kami ada yang tidak memiliki jilbab?” Rasulullah saw. menjawab, “Hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya kepadanya” (HR. Muslim dari Ummu ‘Athiyah).

Setiap muslimah yang sudah baligh hendaklah menutup aurat (seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan) pada kondisi tersebut. Syekh Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan bahwa pakaian yang disyariatkan kepada wanita ada dua bagian, yakni pakaian bagian atas (al-libas al-a’la) dan pakaian bagian bawah (al-libas al-asfal). Pakaian bagian atas berupa kerudung yang menutupi hingga dada. Sebagaimana firman Allah SWT, “…Dan hendaklah mereka menutupkan khimar (kerudung) ke dadanya” (QS. An-Nur: 31). Sedangkan pakaian bagian bawah ialah jilbab yang termaktub dalam QS. Al-Ahzab di atas.

Kemudian “…Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak di ganggu” dalam lanjutan QS. Al-Ahzab: 59, merupakan hikmah yakni hasil dari penerapan hukum. Namun hal itu bukan ‘illat (sebab disyariatkan hukum), sehingga kewajiban berjilbab tidak akan berubah. Baik lebih dikenal atau tidak.

“Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”, akhir ayat tersebut memberikan isyarat bahwa kewajiban jilbab ialah bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Allah Maha Tahu apa yang dibutuhkan makhluk-Nya. Semua ketetapan syariah pasti mengandung hikmah dan kebaikan yang akan menentramkan manusia. Walaupun seringkali manusia menganggap itu adalah kekangan karena memandangnya dari akal dan hawa nafsu semata.

Akibat tidak memenuhi perintah untuk menutup aurat ialah besarnya siksa dari Allah SWT, yakni neraka. Salah satu penghuninya ialah wanita yang berpakaian tapi telanjang, yaitu pakaian yang hanya menutup sebagian tubuh atau berpakaian yang tipis.

Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Di antara yang termasuk ahli neraka ialah wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang. Yang berjalan dengan lenggak-lenggok dan memiringkan kepala mereka seperti punuk-punuk unta yang condong. Mereka ini tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya” (HR Muslim dari Abu Hurairah ra.).

Selain itu, tentu mengumbar aurat akan mendatangkan madharat. Kehadiran wanita yang tidak menutup aurat dapat membangkitkan birahi lawan jenis. Sudah dipahami bahwa naluri atau gharizah akan terdorong jika ada rangsangan dari luar. Wanita yang demikian akan lebih dipandang dari fisiknya dan akan memenuhi hawa nafsu laki-laki yang memandangnya.

Jika pakaian ketat dikatakan tidak menjadi penyebab kejahatan seksual, bukankah bisnis pornografi menjadi aset besar bagi Barat dan negara pembebeknya. Aurat perempuan diumbar di berbagai lini kehidupan dan menjadi ladang bisnis. Seks bebas pun menjadi trend di tengah sistem yang liberal. Banyak wanita yang mengumbar aurat, pergaulan bebas, dan peraturan yang tidak jelas dan tegas.

Oleh karena itu, pandangan feminisme yang mengatakan pakaian bukan penyebab kejahatan seksual dapat dipatahkan. Fakta dan fitrahnya wanita dan laki-laki diciptakan dalam bentuk yang berbeda. Maka wajar jika ketentuan menutup aurat pun berbeda. Di sinilah letak keadilan Islam, memanusiakan manusia.

Butuh Solusi Sistemik

Persoalan kejahatan seksual yang kian marak, tidak bisa hanya dilihat dari pelaku. Namun butuh solusi yang fundamental yang diterapkan dalam sistem negara. Baik sistem sosial termasuk pergaulan, pendidikan, hingga sanksi yang bersumber dari wahyu yang Maha Kuasa.

Sistem kapitalisme saat ini ialah biang kerusakan yang ada, termasuk kejahatan seksual. Sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) menjadi asas, di mana segala sesuatu tak terikat hukum agama (Islam) dan apapun dipandang dalam kacamata bisnis dan manfaat. Para wanita dibiarkan mengumbar aurat, pornografi dan pornoaksi berkeliaran bebas, campur baur wanita dan laki-laki di segala lini, pendidikan tanpa asas ketaatan pada Ilahi, hingga sanksi yang hanya berakhir bui atau tidak tersentuh sama sekali.

Ini bukan hanya persoalan pakaian dan hukuman pelaku, melainkan tatanan sistem negara, ketakwaan individu, dan masyarakat. Dalam sistem Islam yakni Khilafah, syariat Islam ialah asasnya. Semuanya dipandang berdasarkan halal-haram dari Sang Pencipta.

Zina, pacaran, pelecehan seksual, sexual consent, dan perilaku menyimpang lainnya jelas haram. Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk“ (QS Al-Isra: 32).

Menutup aurat, tidak tabarruj (berhias berlebihan), dan tidak berinteraksi dengan nonmahram kecuali udzur syar’i seperti pendidikan, kesehatan, dan lainnya menjadi peraturan yang ditetapkan dalam kehidupan umum bagi masyarakat. Ikhtilat (campur baur) ataupun khalwat (berduaan dengan yang belum halal) dilarang. Para lelaki diwajibkan ghadhul bashar (menjaga pandangan) terhadap yang bukan mahram dan memuliakan wanita.

Sistem pendidikan dan media pun ditujukan agar masyarakat mempunyai kepribadian Islamiyyah baik pola pikir maupun pola sikap. Tidak ada komersialisasi wanita atas nama kemajuan. Yang ada adalah sistem Islam memuliakan wanita. Memposisikan wanita sebagai makhluk Allah yang harus dijaga kehormatannya.

Barang siapa yang menciderai kehormatan wanita baik muslim maupun nonmuslim, maka sanksi adil dan tegas telah disiapkan. Sanksi ini berfungsi untuk mencegah (zawajir) kejadian serupa dan juga penebus dosa (jawabir), sehingga berefek jera.

Sejarah Khalifah Mu’tashim Billah telah terpatri dalam sejarah. Pada tahun 837, al-Mu’tasim Billah memenuhi seruan seorang muslimah yang sedang berbelanja di pasar dan meminta pertolongan karena diganggu dan dilecehkan oleh orang Romawi.

Kainnya dikaitkan ke paku sehingga ketika berdiri, terlihatlah sebagian auratnya. Setelah mendapat laporan beliau pun menurunkan puluhan ribu pasukan untuk menyerbu kota Ammuriah (Turki). Panjangnya barisan tentara ini tidak putus dari gerbang istana khalifah di kota Baghdad hingga kota Ammuriah (Turki). MasyaAllah.

Sudah dikatakan sebelumnya bahwa berjilbab dan menutup aurat sempurna ialah kewajiban bagi muslimah dan menjadi aturan negara bagi wanita lainnya saat keluar rumah. “Agar dikenal dan tidak diganggu” bukanlah ‘illat melainkan hikmah. Jadi kalaupun tidak demikian, tetaplah hukumnya wajib.

Itu gambaran hukuman bagi yang mengaitkan jilbab muslimah ke paku, apalagi yang berani menodai kesuciannya. Dalam Islam, sanksi bagi pezina yang belum menikah adalah wajib mendapat dera 100 kali cambuk dan diasingkan selama setahun. Allah SWT berfirman, “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (QS An-Nur: 2). Sedangkan bagi yang sudah menikah hukumannya ialah rajam (dilempari batu sampai mati).

Amar makruf nahi munkar menjadi kontrol sosial. Saling peduli dalam kebenaran ditanamkan dalam berbagai segi kehidupan. Tidak ada individualisme. Semua mendapatkan payung hukum yang adil dalam sistem Islam. Dengan demikian, kejahatan seksual hanya bisa diselesaikan ketika Islam diterapkan total dalam kehidupan, yakni Khilafah ala minhaj an-nubuwwah.

Wallahu a’lam bishshawab.