Oleh: Rahmi Ummu Atsilah
Suaramubalighah.com, Opini — Peristiwa penendangan sesajen di lereng Gunung Semeru berbuntut panjang. Tindakan pelaku telah menimbulkan kontroversi di tengah-tengah masyarakat. Hingga menghantarkan pada penangkapan pelaku, karena dianggap terjerat pasal 156 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), tentang permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongaan rakyat Indonesia.
Pro kontra pun terjadi dikalangan para tokoh umat. Sebagian kalangan menganggap tindakan pelaku telah mencederai perdamaian masyarakat yang hidup berdampingan dengan keberaragaman budaya dan agama yang ada. Tindakan ini dianggap intoleran, dan memancing permusuhan. Sebagian lagi menganggap adanya sesajen tersebut adalah bentuk pelanggaran terhadap hukum agama bahkan tindakan syirik yang mengundang murka Allah.
Ditengah masifnya arus moderasi beragama , peristiwa ini dianggap kontra produktif dengan agenda moderasi beragama itu sendiri. Mereka katakan tindakan menendang sesajen sebagai bentuk intoleransi dan merusak keberagaman. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Koordinator Jaringan Nasional Gusdurian Indonesia, Alissa Wahid angkat suara terhadap kasus perusakan sesajen yang mencoreng hak kebebasan beribadah dan berkeyakinan individu, serta melukai nilai keberagaman dan toleransi. (SINDOnews.com, Senin, 17 Januari 2022).
Sesajen merupakan bagian dari tradisi di Indonesia yang masih banyak dilakukan masyarakat, dengan berbagai nama yang berbeda-beda di masing-masing daerah. Makanan yang disajikan biasanya dipersembahkan untuk leluhur atau pun bertujuan untuk berkomunikasi atau berinteraksi dengan makhluk gaib. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun melarangnya. Sebagaimana yang disampaikan oleh Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, KH Muhyiddin Chotib, menjelaskan, sesajen itu berangkat dari suatu keyakinan yang dinilai sakral. Dalam hal ini, kata dia, sesajen berarti masuk dalam kategori akidah, yang hukumnya dilarang oleh Islam. “Jadi, apa pun bentuk sesajen itu, yang ada di Indonesia, itu secara akidah itu tidak boleh atau terlarang. Karena, ada harapan atau tawasul yang salah, yang tidak sejalan dengan hukum Islam,” ujar Kiai Muhyiddin kepada Republika , Selasa (11/1/2022). Berdasarkan hal ini, semakin jelas bahwasanya moderasi beragama melanggengkan kesyirikan. Sementara Islam datang untuk memberantas segala bentuk kesyirikan menuju tauhid yang lurus.
Terlepas dari pelaku penendangan sesajen yang kurang ma’ruf, tidak sesuai dengan yang dikehendaki Allah, dalam QS An-Nahl: 125
اُدۡعُ اِلٰى سَبِيۡلِ رَبِّكَ بِالۡحِكۡمَةِ وَالۡمَوۡعِظَةِ الۡحَسَنَةِ وَجَادِلۡهُمۡ بِالَّتِىۡ هِىَ اَحۡسَنُؕ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعۡلَمُ بِمَنۡ ضَلَّ عَنۡ سَبِيۡلِهٖ وَهُوَ اَعۡلَمُ بِالۡمُهۡتَدِيۡنَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Maka tidak selayaknya umat Islam terlebih tokoh umat mendukung segala bentuk kesyirikan atas nama moderasi beragama. Negara seharusnya menjadi penjaga akidah umat. Melakukan edukasi kepada masyarakat agar tidak melakukan segala bentuk kesyirikan. Bukan mengkriminalkan pelaku yang melakukan amar makruf nahi mungkar.
Segala bentuk penyimpangan aqidah harusnya dihilangkan bukan dilanggengkan. Sebab negaralah yang memiliki kewenangan untuk memberantas tindakan yang menjurus kepada kesyirikan, bukan masyarakat, apalagi individu. Kapasitas masyarakat hanyalah menyampaikan kebenaran. Melakukan yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.
Selalu melakukan muhasabah kepada penguasa untuk senantiasa merujuk kepada hukum Allah. Karena hanya aturan-Nya yang mampu membawa kemaslahatan dan mencegah keburukan. Itulah syariah Islam Kafah yang akan menjadi rahmat bagi seluruh alam bila diterapkan secara sempurna dalam kehidupan.
Allah berfirman dalam QS. Al-Anbiya Ayat 107
وَمَاۤ اَرۡسَلۡنٰكَ اِلَّا رَحۡمَةً لِّـلۡعٰلَمِيۡنَ
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam “
Wallahu a’lam bishawab