Oleh : Najmah Saiidah
Suaramubalighah.com, Ta’bir Afkar — Akhir-akhir ini kita dihebohkan dengan kasus penendangan sesajen yang terjadi di gunung Semeru. Peristiwa ini menuai pro kontra dari banyak kalangan, tidak hanya berkaitan dengan aksi tendangan sesajen nya saja, akan tetapi berkaitan bagaimana pandangan Islam tentang sesajen ini juga.
Selama ini kita memahami bahwa sesajen ini merupakan budaya dan tradisi animisme-dinamisme yang secara turun-temurun ada di Indonesia yang kemudian dijadikan sebagai salah satu ibadah ritual para pemeluk agama Hindu. Sehingga tidak aneh jika sesajen ini masih melekat di kawasan yang masyarakatnya memeluk agama Hindu.
Akan tetapi tidak dapat kita pungkiri bahwa masih ada sebagian umat Islam yang menganggap bahwa acara ini merupakan hal biasa, bahkan masih ada sebagian umat Islam yang mempraktekan sesajen ini dan menganggap hal itu sebagai bagian dari kegiatan keagamaan. Mereka berkeyakinan jika suatu tempat atau benda keramat yang biasa diberi sesaji namun tidak diberikan, maka orang yang tidak memberikan sesaji akan kualat (celaka, terkena kutukan).
Yang menyedihkan, apa yang mereka lakukan seolah-olah mendapat legitimasi dari beberapa kalangan yang mengatakan bahwa ada yang ulama yang membolehkan praktek semacam ini. Dalam sebuah tulisan di SantriNews.com, Ustaz Maruf Khozin menyatakan pendapatnya sebagai jawaban atas pertanyaan yang sampai kepadanya tentang peristiwa ini.
Tuan Abdul Hanan, teman bermain saat di Raudlatul Ulum 1 Ganjaran Gondanglegi Malang yang asli kelahiran Pronojiwo Lumajang ini, menelpon saya pada Sabtu kemarin dan mengirim video ada orang yang menendang sesajen yang dikatakan syirik dan justru mengundang murka Allah.
Di WA beliau tulis begini: “Video di atas adalah suatu ritual, dimana setelah 40 hari meletusnya gunung Semeru bada Magrib kami membaca tola bala, yasin, dll. Sesuai petunjuk salah satu kiai. Pagi harinya kami memasang semacam sesajen (petek’an: madura). Namun ada kelompok ‘minhum’ yang membuang dan mengupload di medsos. Masyarakat kami sangat tidak terima dengan perilaku mereka. Bagaimana cara menyikapinya kiai?”
Lalu ustaz ini memberikan jawabannya, “Saya mengikuti beberapa kali Bahtsul Masail di Jawa Timur yang berkaitan dengan tradisi, baik seperti bersih-bersih kampung, larung laut, nyadran dan sebagainya, para Musyawirin selalu memberi perincian dari kitab Fathul Mu’in yang bersumber dari Kitab Tuhfah Ibnu Hajar : “Barangsiapa menyembelih hewan (atau makanan) sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allah untuk menghindari petaka dari Jin, maka tidak haram. Jika bertujuan untuk Jin (bukan karena Allah), maka haram. Sebab sembelihannya menjadi bangkai. Bahkan jika bertujuan mendekatkan diri dan ibadah kepada Jin, maka ia telah berbuat kufur” (Syaikh Abu Bakar Syatha, Ianat ath-Thalibin, 2/397).
Saya yakin kiai tadi saat menyembelih ayam tetap membaca Bismillah, bukan “sesembahan” yang ada di gunung, karena yang melakukan memang jelas-jelas Islam. Namun tetap saya tekankan lebih baik makanan itu disedekahkan, dimakan bersama. Tapi Bang Hanan ini bilang bahwa makanan itu sengaja dibiarkan supaya dimakan oleh burung atau hewan apapun yang ada di sekitar Semeru. Kalau seperti itu jutsru tidak apa-apa. (Santri.News.com,10/01/2022)
Mendudukan Permasalahan
Jika kita mencoba menelusuri dengan seksama tulisan ustaz Maruf ini, kita dapat menyimpulkan setidaknya dua hal. Yang pertama, ustaz Maruf menyiratkan adanya pembenaran peletakan sesajen yang dilakukan warga sekitar Gunung Semeru ini, setelah magrib sebelumnya mereka membaca tola bala, yasin, sesuai petunjuk salah satu kiainya di sana. Dalil yang dijadikan sebagai argumentasinya adalah pendapat Syekh Sayyid Syatha Dimyathi dalam kitab I‘anatut Thalibin.
Sedangkan yang kedua, berkaitan dengan tujuan diletakan sajen di gunung Semeru ini, untuk apa? Apakah benar hanya untuk menjadi makanan hewan dan burung-burung yang ada di sana atau untuk tujuan yang lain? Tentu kita bisa melihat dari apa yang disuguhkan. Dari video yang diunggah, nampak jelas kita bisa melihat di dalamnya ada segelas air kopi air teh teh, kue dan sebagainya. Apakah ini semua makanan hewan atau burung? Kita semua bisa menjawabnya!
Kejelasan tentang hal ini merupakan hal yang penting, mengapa? Karena tujuan inilah yang akan menentukan hukum terhadap persembahan yang dibuat oleh warga gunung Semeru ini. Apakah benar untuk tujuan mendekatkan diri pada Allah atau memberi makan hewan atau burung yang ada di sana atau malah justru untuk persembahan kepada yang lain dalam rangka menolak bala tadi?
Sesajen dan Pandangan Ulama tentangnya
Sesajen adalah makanan yang disajikan dan dipersembahkan untuk leluhur. Biasanya sesajen selalu ada di setiap upacara adat dan bertujuan untuk berinteraksi dengan makhluk gaib.Dalam sesajen ada berbagai makanan, mulai dari kelapa hijau, kopi, ayam ingkung hingga buah-buahan (detik.com)
Sesungguhnya praktek persembahan dan sesajen ini telah ada di masa jahiliyah dan Rasulullah saw. mencelanya. Di masa itu, masyarakat jahiliyah terbiasa memberikan persembahan kepada arwah atau berhala dengan menyembelih hewan kemudian memercikan darah sembelihannya atau menyuguhkan kepala hewan tersebut. Setelah Islam datang, maka kemudian praktek-praktek seperti ini dilarang oleh Islam. Keharaman melakukan persembahan atau pengorbanan kepada selain Allah ini dijelaskan dalam sebuah hadis
لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ الله
“Laknat Allâh atas orang yang menyembelih untuk selain-Nya” (HR. Muslim)
Dalam ilmu ushul al-fiqh, hadits ini jelas mengandung indikasi tegas (qariinah jaazimah) -tentang pengharaman berkurban menyembelih binatang untuk selain-Nya dengan adanya kata la’ana (Taysiir al-Wushuul ilaa al-Ushuul karya al-‘Alim asy-Syaikh ‘Atha’ bin Khalil).
Doktor Fayshal al-Jawabirah menjelaskan kata al-la’n secara bahasa yakni jauh dan terhempas dari kebaikan, yakni terjauhkan dari rahmat Allah dan dari makhluk-Nya secara terhina dan terkutuk. Adapun secara syar’i adalah terhempas dan terjauhkan dari rahmat Allah. Maka barangsiapa yang dilaknat Allah, maka Allah telah menghempaskan dan menjauhkannya dari rahmat-Nya dan layak mendapatkan adzab-Nya. Dan perbuatan terlaknat merupakan dosa besar.” (al-Mal’uunuun fii al-Sunnah al-Shahiihah)
Imam ar-Raghib al-Ashfahani menjelaskan, “Makna laknat (al-la’n) adalah terhempas dan terjauhkan masuk ke jalan kemurkaan, yakni terhempas dan terjauhkan dari Allah Swt., di akhirat mendapat siksa, dan di dunia ia terputus dari rahmat dan taufik-Nya.” (Mufradaat Alfaazh al-Qur’aan al-Kariim)
Sedangkan berkaitan dengan HR Muslim tadi beberapa ulama menjelaskan. Di antaranya Imam Nawawi dalam Syarh Shahiih Muslim menjelaskan, jika perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai pengagungan dan bentuk peribadahan terhadap selain Allah Swt., maka termasuk kekufuran, jika sebelumnya si pelaku adalah seorang muslim setelah itu ia menjadi murtad.
Syaikh Ibrahim al-Maruziy dari golongan sahabat kami mengatakan: “Bahwa apa yang dilakukan seseorang dengan menyembelih binatang untuk menyambut penguasa, sebagai bentuk mendekatkan diri kepadanya, para ulama bukhara menfatwakan keharamannya; karena binatang sembelihan tersebut ditujukan untuk selain Allah SWT.” Imam al-Rafi’iy mengatakan: “Tentang masalah ini, sebenarnya mereka menyembelih binatang sebagai bentuk kegembiraan menyambut kedatangan sang penguasa, kasus ini seperti ‘aqiqah atas kelahiran seorang anak, dan hal ini tidaklah haram, wallaahu a’lam.”
Imam Taqiyuddin Abi Bakr bin Muhammad al-Husayniy, dalam Kifaayatul Akhyaar fii Halli Ghaayatil Ikhtishaar mengatakan: “Adapun kekufuran dalam bentuk perbuatan, misalnya bersujud kepada berhala; matahari atau bulan; melemparkan mushaf ke dalam kotoran-kotoran; praktik sihir yang mengandung peribadahan kepada matahari, demikian pula berkurban untuk berhala….”
Imam al-Syawkani dalam Syarh ad-Durar al-Bahiyyah, memaparkan: “Adapun pengharaman berkurban untuk selain Allah, ditetapkan berdasarkan sabda Rasulullah saw., “Laknat Allâh atas orang yang menyembelih untuk selain-Nya”. Dan berdasarkan firman-Nya, “(Sesungguhnya Allah mengharamkan bagimu)… binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.”
Dan konon kaum jahiliyyah mendekatkan diri kepada berhala-berhala dan bintang-bintang dengan berkurban menyembelih binatang untuknya. Adakalanya mereka menyebut nama-nama berhala atau bintang tersebut ketika menyembelih binatang atau berkurban binatang untuk patung-patung tertentu…. dan kasus ini salah satu bentuk kesyirikan.”
Lebih dari itu, ada hadis Rasulullah saw. yang menuturkan tentang pemuda yang masuk neraka karena sesaji seekor lalat untuk berhala. “Ada seseorang masuk surga karena seekor lalat, dan ada seseorang masuk neraka karena seekor lalat juga.” Para sahabat bertanya, ‘Bagaimana hal itu bisa terjadi wahai Rasûlullâh?’ Beliau menjawab, “Ada dua orang berjalan melewati suatu kaum yang memiliki berhala. Tak seorang pun dapat melewati berhala itu sebelum mempersembahkan suatu kurban. Ketika itu berkatalah mereka kepada salah seorang dari keduanya, “Persembahkanlah korban untuknya.” Dia menjawab, “Aku tidak mempunyai sesuatu yang dapat kupersembahkan.” Mereka pun berkata lagi, “Persembahkan meskipun seekor lalat.” Lalu orang itu mempersembahkan seekor lalat dan mereka pun memperkenankan dia untuk meneruskan perjalanan, maka dia masuk neraka karenanya. Kemudian mereka berkata kepada yang lain, “Persembahkan korban untuknya.” Dia menjawab, “Tidak patut bagiku mempersembahkan sesuatu kepada selain Allâh ‘Azza wa Jalla.” Kemudian mereka memenggal lehernya. Karenanya orang ini masuk surga.” (HR. Ahmad).
Dari penjelasan ulama dan hadits Rasulullah SAW sangatlah jelas bahwa praktek sesajen yang terjadi saat ini terkategori kepada persembahan yang tidak ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah maka terkategori syirik. Dan Allah SWT. membenci kesyirikan, sebagaimana firman Allah yang artinya “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (Syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar,” (QS An-Nisa:48).
Lalu bagaimana dengan dalil yang dijadikan argumentasi pembenaran sesajen yang diletakan di gunung Semeru itu?
Mencermati Dalil yang Dijadikan Argumentasi
Ustaz Maruf Khozin menjadikan pendapat Syaikh Abu Bakar Syatha dalam kitabnya Ianat ath-Thalibin sebagai dalil.
(فَائِدَةٌ) مَنْ ذَبَحَ تَقَرُّبًا للهِ تَعَالَى لِدَفْعِ شَرِّ الْجِنِّ عَنْهُ لَمْ يَحْرُمْ، أَوْ بِقَصْدِهِمْ حَرُمَ… وَصَارَتْ. بَلْ إِنْ قَصَدَ التَّقَرُّبَ وَالْعِبَادَةَ لِلْجِنِّ كَفَرَ (إعانة الطالبين – ج 2 / ص 397) ذَبِيْحَتُهُ مَيْتَةً
“Barangsiapa menyembelih hewan (atau makanan) sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allah untuk menghindari petaka dari Jin, maka tidak haram. Jika bertujuan untuk Jin (bukan karena Allah), maka haram… Sebab sembelihannya menjadi bangkai. Bahkan jika bertujuan mendekatkan diri dan ibadah kepada Jin, maka ia telah berbuat kufur” .
Nah, jika kita cermati, sesungguhnya pendapat Syaikh Abu Bakar Syatha ini tidak berbeda dengan pendapat para ulama lainnya. Bahwa persembahan untuk mendekatkan diri kepada Allah tidak haram, akan tetapi jika ditujukan kepada selain Allah, maka haram dan sembelihannya menjadi bangkai.
Lalu jika kita kaitkan dengan sesajen yang dipersembahkan di gunung Semeru itu, apakah kita dapat kategorikan untuk tujuan mendekatkan diri pada Allah? Jelas tidak, karena tatacaranya juga tidak sesuai dengan Islam. Allah tidak pernah memerintahkan menyajikan makanan, minuman dan benda-benda lainnya dalam nampan tersebut yang ditujukan untuk-Nya.
Benar bahwa Islam tidak melarang persembahan untuk mendekatkan diri kepada Allah, akan tetapi Islam pun menjelaskan tata caranya seperti apa. Semisal qurban kambing, domba, sapi atau unta dengan menentukan syarat hewannya seperti apa, dipotong dengan nama Allah dan sebagainya, demikian halnya akikah. Dari sini kita bisa simpulkan bahwa mereka telah gegabah dalam mengambil dalil, karena sebenarnya Syaikh Abubakar Syatha pun melarangnya.
Tinggal satu permasalahan lagi, yaitu mereka menyatakan bahwa sesajen itu diperuntukan untuk hewan-hewan dan burung yang ada di kawasan gunung Semeru, sehingga aktivitas ini dibenarkan. Kalau memang niatnya untuk memberi makan burung, memang dibolehkan, tapi apakah benar demikian ?
Karena makanan dan minuman serta benda-benda yang ada di atas baki bukan makanan burung atau hewan. Dan jika memang niatnya untuk memberi makan hewan atau burung, mengapa tidak sekalian benar-benar makanan untuk burung dan hewan, mengapa harus sesajen, ada kopi atau teh dalam gelas, bahkan kendi dan sebagainya?
Khatimah
Sesungguhnya Islam telah sangat tegas menghukumi tentang praktek sesajen yang ada saat ini, yang memang lebih banyak ditujukan untuk menolak bala atau mendatangkan keberuntungan. Jelas hal ini diharamkan. Memang tidak dipungkiri bahwa Islam juga membolehkan adanya pengorbanan atau persembahan, akan tetapi dalam rangka untuk mendekatkan diri kepada Allah dan tata aturannya harus mengikuti ketentuan syariat Islam
Sudah seharusnya umat Islam berhati-hati dengan praktek-praktek seperti ini, yang nampaknya seolah-olah mendekatkan diri pada Allah, akan tetapi yang terjadi justru malah menjerumuskan umat Islam kepada bermaksiat kepada Allah Swt dan menjauhkan diri dari Allah Swt. Naudzubillahi min dzalika.
Wallahu a’lam bishshawab