Oleh: Zakiyah Amin
Suaramubalighah.com, Opini — viral mengenai perempuan pekerja bernama Nita yang meminta izin pada atasannya untuk membawa anaknya ke kantor. Atasan Nita memperbolehkan, dia sebagai ayah juga pernah membawa anak-anaknya ke kantor sambil bekerja. (Mubadalah.id, 12/01/2022)
Fakta kondisi pengasuhan anak dan permasalahan yang ada, direspon dengan menawarkan solusi pengasuhan berbasis komunitas. Melakukan reformasi dalam dunia kerja demi kebutuhan keluarganya. Ketika para ibu sibuk bekerja maka diciptakanlah pusat penitipan anak. Konsep pengasuhan anak berbasis komunitas ini muncul disebabkan karena banyak perempuan yang menjadi penopang ekonomi keluarga (bekerja kantor, buruh, dan lainnya).
Baik karena suami tidak mampu menafkahi maupun karena takut kehilangan jati diri sebagai perempuan yang berdikari, mandiri, serta berdaya secara ekonomi menurutnya. Tidak sedikit perempuan terpaksa memilih menitipkan anaknya di tempat penitipan anak, tanpa melihat baik buruknya bagi perkembangan anaknya.
Pengasuhan berbasis komunitas adalah solusi semu bagi perempuan pekerja yang diberdayakan. Kaum ibu secara massal tereksploitasi untuk menghasilkan materi dan keuntungan bagi bisnis kapitalis. Mereka memandang perempuan sebagai pekerja dan mesin pertumbuhan ekonomi, bukan sebagai pencetak generasi dan kehormatan yang harus dijaga.
Menurut laporan ILO (2013) terdapat sekitar 43 juta perempuan telah dipekerjakan sebagai pengasuh, tukang masak, dan pembantu rumah tangga. Angkanya terus melonjak di tahun berikutnya. Kemiskinan dan rendahnya kesejahteraanlah yang memaksa perempuan meninggalkan rumah dan anak-anak mereka demi sesuap nasi.
Posisi perempuan dalam memaknai hak dan kewajibannya semakin terusik. Pengasuhan anak berbasis komunitas memberikan kelonggaran beraktivitas dan mengurangi peran ganda sebagai pengasuh sekaligus pencari nafkah. Fungsi ibu yang sejatinya pengasuh anak, diambil alih oleh komunitas. Hak dan kewajiban pengasuhan ibu menjadi teranulir karena fungsinya yang sudah tergerus dengan pemahaman yang menyesatkan.
Yakni asumsi-asumsi keliru bahwa perempuan ialah pengasuh, perempuan tidak cocok memegang kekuasaan, dan perempuan dibatasi aktivitasnya hanya domestik karena posisinya lebih rendah dari laki-laki. Sehingga mereka menawarkan solusi pengasuhan anak dengan melibatkan komunitas.
Padahal, fungsi ibu dalam pengasuhan anak secara khusus tidak bisa digantikan oleh laki-laki apalagi komunitas. Komunitas dengan berbagai versi apapun tetap tidak bisa menyamakan peran ibu. Ibu yang melahirkan, menyusui, dan merawat dengan hubungan psikologis yang kuat, tidak mampu tergantikan dengan pengasuhan model apapun.
Feminisme di Balik Pengasuhan Berbasis Komunitas
Feminisme sesungguhnya adalah alat penjajahan negara-negara Barat terhadap dunia Islam di bidang hukum keluarga (al-ahwal al-syakhsiyyah). Feminis muslim mengatakan bahwa adanya kesadaran akan ketidakadilan gender (gender in equalities) yang menjadi benang merah pengikat semua paham feminisme, dia haruslah beragama Islam dan mempersoalkan ajaran Islam. Kaum feminis banyak melakukan pembatalan hukum Islam atau istilah mereka “penafsiran ulang” bahkan “koreksi”. Jadi seolah-olah hukum-hukum Islam itu keliru sehingga perlu dikoreksi.
Menurut filosof feminisme, Sara Ruddick, bahwa mothering atau pengasuhan oleh ibu adalah hal yang bersifat kultural dan biologis yang berarti mothering dapat dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Tetapi selama ini peran pengasuhan diberikan pada perempuan, sehingga perempuan menjadi lebih baik melakukannya daripada laki-laki, “maternal practice” atau praktik maternal.
Ruddick menawarkan solusi yaitu perubahan dalam institusi motherhood dengan mengikutsertakan laki-laki secara setara dalam setiap aspek maternal care atau pengasuhan. Dibutuhkan reformasi sosial yang melibatkan laki-laki dalam pengasuhan di dalam dan di luar rumah karena pengasuhan adalah tanggung jawab ibu dan ayah, bukan hanya tanggung jawab perempuan sebagai ibu.
Asghar seorang feminis muslim mengajukan konsep kesalingan (mubadalah) antara lelaki dan perempuan. Dalam Al-Qur’an yang menurutnya mengisyaratkan dua hal yakni pertama, dalam pengertiannya yang umum harus ada penerimaan martabat kedua jenis kelamin dalam ukuran yang setara.
Kedua, orang harus mengetahui bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak-hak yang setara dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik seperti kesetaraan hak untuk memilih atau menjalani cara hidup dan tanggung jawab serta kebebasan.
Ringkasnya bahwa substansi ide feminis muslim menurut Syekh Taqiyyuddin An-Nabhani ialah menjadikan kesetaraan (al musaawah/equality) sebagai batu loncatan atau jalan untuk meraih hak-hak perempuan. Dengan kata lain, feminisme itu ide dasarnya adalah kesetaraan kedudukan laki-laki dan perempuan. Sementara ide cabang yang dibangun di atas dasar itu ialah kesetaraan hak-hak antara laki-laki dan perempuan (mubadalah).
Berdasarkan konsep kesetaraan hak itulah para feminis muslim membatalkan dan mengganti banyak ide dan hukum Islam yang mereka anggap tidak sesuai, seperti menolak konsep kepemimpinan rumah tangga bagi laki-laki, hukum pewarisan, kewajiban berjilbab, dan masih banyak lagi hukum Islam lainnya.
Pengasuhan Anak (Hadhanah) dalam Perspektif Syariat Islam
Al-Hadhanah berasal dari kata hadhana- yahdhunu-hadhnan wa hidhânah wa hadhanah. Secara bahasa hadhanah memiliki dua arti pokok. Pertama dari al-hidhnu (dada), yaitu anggota tubuh antara ketiak dan pinggang. Dari sini jika dikatakan “ihtadhana al-walad,” artinya mendekapnya, yaitu merengkuh dan meletakkannya di dalam dekapan (pelukannya). Kedua, al-hidhnu adalah jânib asy-syay’i atau sisi sesuatu (Az-Zamakhsyari, Asâs al-Balâghah, bab ha dha na; al-Azhari).
Secara syar’i, menurut al-Anshari, al-hadhanah adalah tarbiyah anak-anak bagi orang yang memiliki hak pengasuhan. Menurut ulama Syafi’iyah, al-hadhanah adalah tarbiyah atas anak kecil dengan apa yang menjadikannya baik. Menurut ulama Hanabilah, al-hadhanah adalah menjaga jiwa anak-anak; membantu dan memenuhi makanan, pakaian dan tempat tidurnya; dan membersihkan badannya (Abu Yahya Zakaria al-Anshari asy-Syafii, Syarh al-Bahjah al-Wirdiyah, bab al-Hadhanah).
Hadhanah anak-anak hukumnya wajib, menelantarkan mereka akan menyebabkan mereka binasa. _Hadhanah juga berkaitan dengan hak kerabat anak, karena kerabat anak itu memiliki hak atas pengasuhannya. Jadi hadhanah itu berkaitan dengan hak sekaligus kewajiban. Pengasuhan itu adalah hak setiap anak dan setiap orang yang telah diwajibkan oleh Allah untuk mengasuhnya.
Hak pengasuhan itu tidak diberikan kepada orang yang dapat menelantarkan anak, hal itu secara pasti akan membahayakan anak tersebut. Karena itu, pengasuhan anak tidak diberikan kepada kepada anak kecil atau orang yang kurang akalnya (al-ma’tûh), mereka sendiri memerlukan orang lain yang mengasuh mereka.
Pengasuhan anak juga tidak diberikan kepada orang yang dengan itu bisa menyebabkan anak terlantar karena pengabaian/kelalaian, atau karena kesibukannya yang tidak memungkinkan dirinya mengasuh anak tersebut. Pengasuhan anak juga tidak diserahkan kepada orang yang memiliki sifat-sifat buruk seperti fasik. Sifat buruk semacam itu dapat mengakibatkan anak yang diasuhnya tumbuh dengan sifat-sifat dan pertumbuhan yang rusak. Kerusakan itu sendiri dapat dipandang sebagai suatu kebinasaan. Pengasuhan anak juga tidak dapat diberikan kepada orang kafir, kecuali pengasuhan anak oleh ibu atas anaknya yang masih memerlukan pengasuhan.
Hak pengasuhan jika anak itu masih kecil, yakni belum baligh dan belum bisa mengurus dirinya sendiri tetapi ia sudah bisa memikirkan banyak hal dan bisa membedakan perlakuan ibunya dengan perlakuan ayahnya, maka anak itu diberi hak untuk memilih di antara kedua orang tuanya.
Dalam pasal 122 Kitab Muqaddimah Ad-Dustur disebutkan bahwa pengasuhan anak merupakan kewajiban wanita. Ia berhak atas pengasuhan tersebut, sama saja apakah ia seorang muslimah atau bukan, selama anak tersebut masih membutuhkan pengasuhan. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, bahwasanya ada seorang wanita pernah mendatangi Rasulullah mengadukan masalahnya. Wanita itu berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنِي هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً وَثَدْيِي لَهُ سِقَاءً وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِي وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّي
“Wahai Rasulullah, anakku ini dahulu, akulah yang mengandungnya. Akulah yang menyusui dan memangkunya. Dan sesungguhnya ayahnya telah menceraikan aku dan ingin mengambilnya dariku”. Mendengar pengaduan wanita itu,
Rasulullah saw. pun menjawab
أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي
“Engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau belum menikah lagi. (HR. Abu Dawud dan Al-Hakim)
Pemberdayaan utama perempuan dalam pandangan Islam adalah optimasi perannya sebagai penjaga peradaban dan pendidik generasi masa depan, bukan sebagai angkatan kerja. Dalam Muqaddimah Dustûr bab “Nizhâm al-Ijtima’i” dinyatakan bahwa “Hukum asal seorang wanita dalam Islam adalah ibu bagi anak-anak dan pengelola rumah suaminya. Ia adalah kehormatan yang wajib dijaga.”
Terganggunya peran ibu berakibat melahirkan generasi yang rapuh dan penuh masalah, bahkan mengguncang pernikahan. Inilah konsekuensi mahal yang harus dibayar oleh negara yang memperkerjakan kaum ibu sebagai mesin pertumbuhan ekonomi.
Sedangkan peran negara dalam Islam adalah menyediakan lapangan kerja bagi para kepala keluarga/ lelaki untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan sehingga seorang ibu tidak perlu bekerja (meskipun perempuan dibolehkan untuk bekerja) untuk mencari nafkah dan tidak mengabaikan kewajiban pengasuhan terhadap anak-anaknya.
Dengan demikian, hadhanah dalam Islam berbeda secara diametral dengan pengasuhan anak berbasis komunitas yang digagas oleh kaum feminis. Sebab Islam telah menyediakan solusi tuntas dan menyeluruh dalam hal pengasuhan anak.
Wallahu a’lam bishshawab