Oleh: Mahganipatra
Suaramubalighah.com, Opini — Sepanjang sejarah peradaban, orang-orang kafir Barat bersama dengan agen-agennya terus berupaya menjauhkan umat Islam dari akidahnya. Mereka menggunakan sarana dan istilah yang manis dan memikat. Dengan berbagai macam ungkapan untuk mengecoh dan menyesatkan. Mereka selalu berusaha mengendalikan kaum muslim dengan berbagai program yang dapat menjangkau seluruh komponen masyarakat muslim. Tujuan utamanya yaitu menancapkan ideologi kapitalisme di seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, untuk membentuk peradaban Barat di tengah-tengah kaum muslim agar mampu menguasainya.
Salah satu program yang masif digulirkan ke tengah-tengah kaum muslim saat ini adalah moderasi beragama. Moderasi beragama sejatinya merupakan moderasi Islam yaitu mengubah sudut pandang kaum muslim agar memiliki karakter Islam moderat, toleran, dan inklusif. Menjadi umat yang malu untuk menunjukkan identitas muslimnya dan takut dianggap berbeda dengan agama lain dalam memahami ajaran agama. Sehingga tanpa sadar telah membentuk kepribadian seorang muslim yang tunduk dan rida terhadap peradaban Barat. Memaksa umat Islam untuk menerapkan Islam sesuai dengan keinginan dan program Barat.
Melalui Kementerian Agama (Kemenag), program ide moderasi beragama semakin masif dijajakan kepada umat Islam sebagai amunisi dan alternatif kebijakan pemerintah dalam rangka meredam dan menanggulangi paham keagamaan yang dianggap memunculkan sikap radikal dan ekstrem dalam memahami agama. Tanpa sungkan dan ragu, Kemenag menjaring para muballighah beserta aparaturnya untuk bekerja sama menjajakan ide moderasi beragama kepada masyarakat. Dengan menjadikan para muballighah sebagai agen moderasi. Tentu ini harus diwaspadai.
Dikutip dari kanal Youtube Kemenag RI, program moderasi beragama dianggap sebagai program yang sangat relevan sebagai solusi dalam menyelesaikan persoalan toleransi beragama yang kerap hadir akibat kemajemukan umat beragama di Indonesia. Menurut Kemenag, keragaman klaim kebenaran atas tafsir agama telah memunculkan banyak gesekan sehingga agama bisa menjadi sumber konflik. Benarkah moderasi beragama merupakan solusi dalam menyelesaikan konflik?
Faktanya, dikutip dari viva.co.id (15/12/2022) tentang imbauan Kepala Kemenag Sulsel, agar seluruh kantor Kementerian Agama di seluruh tingkat daerah, sekolah yang bernaung di bawah Kemenag, dan KUA yang ada di seluruh Sulawesi Selatan agar memasang spanduk ucapan natal dan tahun baru. Hal ini justru telah mengundang konflik dan kegaduhan di tengah masyarakat. Bahkan telah mengundang reaksi keras dari para tokoh dan ormas Islam yang sangat peduli terhadap akidah umat. Imbauan ini dianggap sebagai bentuk toleransi beragama yang kebablasan dan membahayakan akidah umat Islam.
Hal serupa juga terjadi pada Kepala Kemenag Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, pejabat ini ikut serta dalam perayaan natal di Gereja GMIBM. Hadir juga Bupati setempat yang menyampaikan pesan perdamaian, toleransi, dan kerukunan antarumat beragama. Atas nama toleransi mereka berbaur merayakan hari besar agama lain yang sudah nyata-nyata dilarang dalam Islam.
Padahal sudah menjadi pendapat yang masyhur dalam hal ini para ulama telah sepakat, “mengucapkan selamat” pada perayaan agama lain bertentangan dengan Islam. Bagi seorang muslim, segala tindak tanduknya harus dikembalikan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang dibawa oleh Rasulullah saw..
Dalam ajaran Islam, mengucapkan selamat hari raya natal merupakan bagian dari akidah yang akan mendorong setiap muslim terjatuh pada pelaku kesyirikan. Menyeret setiap pelakunya pada dosa yang sangat besar yakni menyerupai orang-orang kafir, Rasulullah saw. bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad 2: 50 dan Abu Daud no. 4031)
Isu Toleransi Menyerang dan Membahayakan Akidah Umat Islam
Istilah toleransi menjadi salah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan ide moderasi beragama. Istilah toleransi dalam kehidupan beragama terlanjur dianggap istilah yang positif. Namun penggunaan istilah ini pada praktiknya lebih cenderung merugikan umat Islam karena seringkali istilah ini digunakan oleh orang-orang sekuler-liberal sebagai alat untuk memaksa umat Islam menerima dan menjalankan ide sekularisme, HAM, liberalisme, feminisme, dan pluralisme.
Apabila kita cermati, narasi toleransi yang berkembang di masyarakat setiap tahun akan selalu muncul dalam kemasan yang berbeda namun intinya sama. Isu ini senantiasa berkembang sesuai dengan arah kepentingan dan tujuan yang sama, yakni demi menyukseskan program Barat untuk menjauhkan umat Islam dari ajaran dan pemikiran Islam secara kaffah. Lewat isu toleransi, Barat hendak mengokohkan tiga gagasan pokoknya yaitu sekularisme, relativisme, dan pluralisme demokrasi.
Dalam pandangan Barat, sekularisme merupakan gagasan yang menjadi syarat mutlak terwujudnya toleransi. Dengan melarang dominasi aturan agama, terutama agama Islam agar tidak menjadi sistem aturan di tengah-tengah masyarakat. Barat telah menciptakan sistem aturan yang terpisah antara sistem aturan kehidupan dengan aturan agama.
Kemudian Barat juga mengusung gagasan relativisme, dengan menganggap kebenaran bersifat relatif. Tidak ada kebenaran yang absolut/pasti pada sebuah agama. Setiap agama memiliki peluang untuk menganggap mereka semua benar. Sehingga ketika umat Islam melakukan amar ma’ruf nahi munkar dengan menyampaikan bahwa agama Islam merupakan agama yang paling benar dan tinggi kedudukannya di antara agama yang lain berdasarkan sabda Rasulullah saw.,
اْلإِسْلاَمُ يَعْلُوْ وَلاَ يُعْلَى
“Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengalahkan ketinggiannya”, maka keyakinan ini dianggap sebagai bentuk intoleransi. Hal ini disebabkan oleh pengaruh dari gagasan sekularisme yang telah menjadikan tolak ukur kebenaran berdasarkan akal manusia yang bersifat nisbi. Fungsi aturan agama hanya boleh berada di wilayah privat. Sedangkan di wilayah publik, manusia berhak untuk mengatur seluruh aktivitas kehidupan berdasarkan aturan manusia.
Selanjutnya, karena kondisi masyarakat yang hidup dalam kondisi beragam dan majemuk, maka mereka dipaksa harus menerima dan harus tunduk pada gagasan pluralisme demokrasi sebagai gagasan kemajemukan yang terbaik. Perbedaan masyarakat baik secara budaya, agama, politik, dan asal-usul kelompok, dalam pandangan sistem sekuler, mereka memiliki hak legal untuk eksis di tengah kemajemukan tersebut. Dalam hal ini tidak ada peluang bagi sebuah agama untuk saling mengungguli dan merasa lebih tinggi. Semua harus sama, saling menghargai dan menghormati agama lain maupun kelompok lain.
Dengan demikian, ketika umat Islam meyakini bahwa Islam sebagai satu-satunya agama yang paling benar, menyandarkan keyakinan tersebut pada firman Allah Swt.,
وَمَن يَبۡتَغِ غَيۡرَ ٱلۡإِسۡلَٰمِ دِينٗا فَلَن يُقۡبَلَ مِنۡهُ وَهُوَ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ
“Dan barang siapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.” (QS. Ali ‘Imran: 85),
maka keyakinan ini dianggap sebagai bentuk intoleran. Sama halnya ketika umat Islam memiliki keinginan untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam konteks negara yaitu Khilafah sebagai wujud dari konsekuensi terhadap keyakinan akidahnya, pasti hal inipun akan dianggap sebagai bentuk intoleransi terhadap agama lain. Sejatinya toleransi dalam pandangan moderasi beragama adalah menentang dan menolak penerapan seluruh hukum syariat Islam secara kaffah dalam sebuah institusi negara Khilafah.
Toleransi dalam Pandangan Islam
Islam merupakan agama yang sangat toleran. Sepanjang sejarah peradaban Islam, umat Islam telah mempraktikan toleransi secara sempurna dalam sistem kehidupan. Islam telah memberikan kebebasan kepada setiap individu nonmuslim di masyarakat untuk memilih agama sesuai dengan keyakinan masing-masing. Tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam.
Akan tetapi terhadap umat Islam, diwajibkan atas mereka meyakini bahwa hanya Islam agama yang paling benar. Tidak boleh atas nama toleransi, umat Islam membenarkan keyakinan agama lain. Seperti membenarkan ajarannya dengan ikut hadir di acara perayaan hari raya natal atau sekadar mengucapkan selamat natal.
Dalam hal ini, fungsi serta peran muballighah adalah mereka harus mampu hadir di tengah-tengah umat. Meluruskan pemikiran umat dari propaganda Barat yang terus berusaha mereduksi pemikiran umat Islam. Karena urgensitas peran muballighah saat ini adalah terus mengawal akidah umat dengan terus membangun dialog dan komunikasi bersama seluruh komponen umat Islam agar menjalin persatuan dan kesatuan antarumat beragama sehingga tidak terjadi salah paham.
Muballighah juga harus berani mengoreksi penguasa untuk memberikan konsepsi tentang toleransi yang benar, sehingga masyarakat dan negara terhindar dari ancaman propaganda Barat yang akan menyesatkan umat Islam. Baik penyesatan yang bersifat pemikiran maupun aturan-aturan yang lahir dari rezim dalam bentuk kebijakan yang dapat memalingkan umat dari pemahaman tentang Islam.
Wallahu a’lam bishshawab
[SM/Ah]