Oleh: Mahganipatra
Suaramubalighah.com, Opini — Wacana tentang khilafah sudah lama bergulir di negeri ini. Berbagai fenomena muncul seiring dengan kondisi perpolitikan yang terjadi. Namun demikian, gaung khilafah kian santer dan mampu memengaruhi dinamika kehidupan masyarakat. Walhasil para aktor intelektual sekuler maupun tokoh-tokoh umat yang memiliki kepentingan politik, baik dari pemerintah, individu, atau kelompok menilai perlu untuk semakin serius menghadapi keberadaan paham khilafah di tengah-tengah masyarakat.
Aktor-aktor sekuler menganggap bahwa paham khilafah merupakan ideologi yang akan mengancam kebhinekaan dan keberagaman dalam berbangsa dan bernegara. Khilafah mereka sebut sebagai ideologi transnasional yang bertentangan dengan ideologi Pancasila yang dapat mengancam NKRI dan harus diwaspadai.
Benarkah khilafah merupakan ideologi yang berbahaya? Di mana letak bahayanya? Untuk menjawab pertanyaan ini tentu saja kita membutuhkan penggalian dan pengkajian yang lebih mendalam tentang ideologi.
Khilafah Bukan Ancaman
Jika merujuk pada pendapat para ulama, tak ada perbedaan pendapat bahwa kata khilafah digunakan untuk mewakili konsep kepemimpinan. Khilafah dengan imamah kedudukannya sama. Memiliki makna syar’i sebagai bentuk kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Maka bergulirnya tuduhan bahwa khilafah merupakan ideologi dengan sendirinya tertolak. Sebab berdasarkan fakta sejarah peradaban umat Islam, dapat dibuktikan bahwa khilafah bukan ideologi tetapi khilafah adalah sebuah institusi negara dalam Islam. Khilafah hadir sebagai pemersatu umat Islam di dunia. Dengan kepemimpinannya yang adil, mampu melindungi dan mengayomi seluruh manusia baik muslim maupun nonmuslim. Mereka dapat hidup berdampingan tanpa merasa terganggu.
Tuduhan khilafah sebagai ideologi yang akan mengancam kedaulatan NKRI, berbahaya, dan dapat memecah belah umat sehingga harus diwaspadai, merupakan bagian dari penyesatan politik serta upaya memalingkan umat dari bahaya yang sebenarnya yaitu penerapan sistem kapitalisme-sekuler yang sudah nyata-nyata membuat rakyat menderita. Rakyat negeri ini hidup dalam kondisi tertindas dan sengsara. Di bidang ekonomi, harga minyak naik tak terkendali padahal bahan mentahnya berasal dari negeri sendiri. Demikian pula di bidang yang lain seperti politik, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Hampir di seluruh bidang kehidupan, negara tak mampu mandiri.
Hal ini yang mendorong kafir Barat dan sekutunya berusaha mengalihkan perhatian dan kesadaran umat dari fakta rusak yang ada di tengah-tengah mereka. Kondisi umat yang telah jenuh dan bosan dengan sikap penguasa dalam menyelesaikan persoalan yang membuat carut-marut negeri. Ketika hadir kelompok dakwah yang menyampaikan sistem pemerintahan khilafah sebagai sistem alternatif yang dapat menyelesaikan persoalan umat dan mendapatkan sambutan yang antusias dari para pendukung khilafah, hal ini telah mengundang kekhawatiran para penguasa negeri beserta para aktor pendukung kapitalisme-sekuler. Mereka khawatir kesadaran umat untuk kembali menerapkan sistem Islam secara kaffah dalam bingkai institusi khilafah, akan menggeser hegemoni kekuasaan dan kepentingannya.
Maka untuk menghadang hal itu, diciptakan skenario penolakan dari berbagai kalangan termasuk dari pemerintah. Dengan memberikan citra buruk terhadap ajaran-ajaran Islam, melaksanakan program moderasi beragama, dan terus berupaya menghapus serta menyudutkan pembahasan khilafah dan jihad sebagai ajaran Islam.
Kedudukan Ideologi dalam Kancah Kehidupan Manusia
Belum lama ini, pemerintah menggandeng Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) dan Lembaga Persahabatan Ormas Keagamaan (LPOK), untuk hadir membahas tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) di gedung GPI Jakarta, Jumat (21/01/2022). Dalam pertemuan tersebut hadir pula Direktur Badan Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol. R. Ahmad Nurwakhid.
Beliau mengatakan bahwa tantangan utama bangsa Indonesia adalah penyebaran ideologi yang bertentangan dengan ideologi Pancasila. Dengan kata lain ideologi ini adalah ideologi khilafah.
Oleh sebab itu, untuk menangkal isu bahwa khilafah adalah ideologi, kita harus memahami makna ideologi itu sendiri. Di dalam buku Al Fikr al-Islami, Muhammad Ismail menyatakan bahwa ideologi (mabda’) adalah suatu keyakinan dasar yang bersifat rasional, yang kemudian melahirkan sistem/sekumpulan aturan hidup (‘aqidah ‘aqliyyah yanbatsiqu ‘anha’ nizhaman). Menurut definisi ini, suatu keyakinan dasar akan disebut ideologi ketika memenuhi dua syarat, yaitu memiliki fikrah (ide) dan juga memiliki thariqah (metode untuk menerapkan ide). Jika tidak memenuhi kedua syarat tersebut maka keyakinan dasar tersebut tidak bisa dikatakan sebagai ideologi.
Kehadiran fikrah (ide) di dalam ideologi merupakan bagian dari konsep atau akidah yang akan menjadi landasan dalam memecahkan setiap problematika kehidupan manusia. Menurut Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, dalam kitab Nizham al-Islam, beliau menjelaskan bahwa akidah merupakan pemikiran menyeluruh tentang kehidupan dunia, kehidupan sebelum dunia, kehidupan setelah dunia dan bagaimana hubungan antara dunia dengan kehidupan setelah dunia. Kemudian dari akidah ini lahir berbagai sistem aturan yang akan mampu menyelesaikan setiap persoalan kehidupan manusia baik secara pribadi, masyarakat, maupun negara. Sedangkan metodenya (thariqah) adalah cara untuk menerapkan akidah tersebut, bagaimana cara memelihara akidah serta bagaimana menyebarkan ideologi. Sehingga metode operasional ideologi akan tampak jelas ketika diterapkan di tengah-tengah masyarakat tidak sekadar teori dan gagasan.
Lalu, jika mereka tetap menuduh khilafah adalah ideologi, apakah syarat-syarat yang wajib ada pada ideologi dapat dipenuhi oleh khilafah? Begitupun bagaimana dengan ideologi Pancasila? Apakah telah memenuhi syarat sebagai ideologi?
Secara fakta, di dunia ini hanya dikenal tiga ideologi. Semua ideologi tersebut berasal dari luar negeri. Yang pertama, ideologi sosialis-komunis yang diemban oleh negara Uni Soviet dan sekutunya. Ideologi ini memiliki akidah atheisme yaitu mengingkari keberadaan pencipta dan juga menolak pengaturan tuhan. Sosialis memandang bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini berasal dari materi dan akan kembali kepada materi. Secara fitrah ideologi ini bertentangan dengan fitrah manusia yang membutuhkan keberadaan tuhan. Tidaklah heran walaupun kemunculan paling akhir, namun ideologi ini lebih dulu hancur seiring dengan bubarnya negara Uni Soviet sebagai negara pengembannya. Karena selain ideologi ini bertentangan dengan fitrah manusia yang lemah, terbatas, dan memiliki sifat kurang hingga membutuhkan adanya pengaturan tuhan, ternyata dari sisi metode penerapannya juga bersifat memaksa dengan tangan besi hingga pada akhirnya ideologi ini juga banyak ditentang oleh para pendukungnya.
Kemudian yang kedua adalah ideologi kapitalis-sekuler. Akidahnya adalah fashluddin annilhayah yaitu memisahkan peran agama dalam aturan kehidupan manusia atau lebih dikenal dengan istilah sekuler. Ideologi ini meyakini adanya pencipta namun menolak aturan tuhan. Manusia diberikan wewenang untuk membuat aturan sebab ideologi ini menganggap aturan agama hanya memiliki peran dalam masalah ruhiyah. Sedangkan dalam urusan kehidupan, manusia lebih mengetahui kepentingan yang ingin mereka wujudkan.
Hingga akhirnya dalam penerapan sistem ini, walaupun belum genap satu abad. Namun kerusakan yang ditimbulkan telah nampak nyata. Kerusakan alam semesta, manusia, dan kehidupan telah memporakporandakan fitrah manusia. Akibat dari kerakusan para kapitalis dalam mengeksploitasi kekayaan alam, seluruh sumber daya alam dijarah tanpa memperhatikan lingkungan. Pencemaran lingkungan telah menyebabkan meningkatnya berbagai bencana alam seperti banjir dan kebakaran hutan. Hampir tiap tahun di berbagai belahan dunia mengalami krisis pangan dan kelaparan di tengah berlimpahnya makanan.
Ekonomi berbasis ribawi telah menciptakan manusia layaknya hidup dalam rimba, yang kuat memangsa yang lemah, hingga kezaliman menjadi hal yang biasa. Manusia hidup dalam kondisi tertindas dan sengsara akibat para kapitalis memeras darah rakyat untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Selain itu ideologi ini juga menganut paham liberalisme, sekularisme, feminisme, HAM, pluralisme, dan isme-isme sesat lainnya. Kebebasan hidup yang mereka agung-agungkan telah menghantarkan kehidupan manusia pada degradasi moral layaknya binatang. Penyakit seksual menjadi pandemi, kekerasan seksual terjadi di mana-mana, tidak pandang sanak saudara selagi hasrat muncul semua harus dipuaskan. Akhirnya perzinaan dan aborsi pun merebak, kriminalitas, serta kerusakan-kerusakan lain bagaikan inang yang berkembang biak dengan pesat.
Ketiga adalah ideologi Islam. Islam merupakan agama sekaligus ideologi karena Islam memiliki sudut pandang dan pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan yang memiliki hubungan dengan Sang Pencipta. Maka dari sudut pandang ini, Islam hadir sebagai akidah ruhiyah yang dapat mengatur hubungan manusia dengan pencipta dengan memberikan aturan terperinci mengenai akidah dan ibadah. Islam mampu memberikan ketenangan karena Islam sesuai dengan fitrah manusia. Fitrah manusia sebagai makhluk lemah, terbatas, dan memiliki banyak kekurangan. Islam telah mewajibkan manusia untuk tunduk terhadap aturan yang telah ditetapkan oleh Al-Khaliq (Pencipta) berupa syariat-syariat Islam.
Selain itu dari akidah ini juga terpancar sebuah sistem yang sempurna yang dikenal dengan sistem Islam kaffah. Sistem Islam kaffah memiliki seperangkat aturan yang akan mampu menyelesaikan persoalan manusia berupa sistem pemerintahan, politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial, hukum, budaya, dan lain-lain. Berdasarkan fakta ini, bisa disimpulkan bahwa kehadiran Islam di tengah-tengah umat bukan sekadar agama, akan tetapi Islam merupakan sebuah ideologi. Yakni sebuah akidah aqliyah yang dapat memancarkan sebuah sistem berupa seperangkat aturan-aturan kehidupan. Islam adalah diin yang sempurna mencakup akidah ruhiyah sekaligus akidah siyasiyah (politik). Kesempurnaan Islam sebagai diin atau agama sekaligus ideologi ini telah dijelaskan Allah Swt. dalam firman-Nya,
ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗاۚ
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu.” (QS. Al-Maidah: 3)
Sikap Umat Islam Menghadapi Tuduhan
Munculnya tudingan-tudingan miring untuk menyerang Islam dan ajarannya, merupakan hal yang wajar. Sepanjang sejarah peradaban manusia, pertarungan antara hak dan batil akan senantiasa hadir. Para komprador kapitalisme-sekuler memahami betul bahwa Islam merupakan musuh yang nyata yang akan menghancurkan kekuasaan dan hegemoni mereka terhadap dunia Islam. Untuk itu mereka akan senantiasa membuat makar, menghalangi tercabutnya kekuasaan di negeri ini. Tinggal bagaimana upaya-upaya kaum muslim untuk menangkal serangan tersebut. Apakah akan terus diam atau melawan? Karena sejatinya musuh nyata umat Islam adalah penerapan sistem kapitalisme-sekuler yang telah membuat hidup bangsa ini terpuruk.
Tentunya setiap kezaliman harus dilawan. Umat Islam harus mampu mengatasi kondisi ini. Sudah menjadi keharusan bagi para muballighah untuk tampil sebagai maraji’ umat. Dengan keluasan ilmu dan pemahamannya tentang diin Islam, mereka harus mampu menjelaskan tentang hakikat khilafah dan fungsinya sebagai alat kekuasaan yang akan membimbing umat Islam untuk bersatu mewujudkan ukhuwah islamiyyah di seluruh dunia.
Kesamaan dalam hal akidah dan syariah harus menjadi unsur pengikat dalam mempersatukan umat. Sesuai dengan gambaran Rasulullah saw. bahwa umat Islam ibarat satu tubuh. Jika satu bagian sakit, maka bagian yang lain pun akan merasakan sakit.
Musuh umat Islam bukan khilafah ataupun syariah, musuh nyata umat Islam adalah sistem kapitalisme-sekuler dan para aktor pendukung sistem tersebut.
Oleh karena itu, para muballighah bersama umat Islam lainnya harus mampu membangun solidaritas yang berlandaskan kepada kesadaran akan pentingnya penerapan syariah Islam dalam naungan Khilafah Islamiyyah. Masih banyak hukum-hukum syariah yang belum mampu diterapkan secara individu dan harus diterapkan oleh negara. Maka umat dituntut untuk memiliki kesadaran itu yakni mewujudkan penegakkan khilafah dan menerapkan syariah Islam secara kaffah.
Selanjutnya, para muballighah dan kelompok partai politik yang shahih harus bersama-sama melakukan aktivitas politik secara komprehensif. Meluruskan pengertian serta makna politik dalam perspektif politik Islam secara benar. Yaitu melakukan dakwah Islam dan amar ma’ruf nahi munkar di tengah-tengah umat. Senantiasa membina umat dan berjuang bersama untuk bersegera menerapkan sistem Islam secara kaffah. Membina manusia ke dalam kebaikan yang akan menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat. Hal ini berlandaskan kepada firman Allah Swt. dalam QS. Ali Imran ayat 104,
وَلۡتَكُن مِّنكُمۡ أُمَّةࣱ یَدۡعُونَ إِلَى ٱلۡخَیۡرِ وَیَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَیَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۚ وَأُو۟لَـٰۤىِٕكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada al khair (Islam), menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar, dan merekslah orang-orang yang beruntung.”
Wallahu a’lam bishshawab
[SM/Ah]