Hadhanah: Tugas Mulia Seorang Ibu

Oleh: Rofah M

Suaramubalighah.com, muslimah dan keluarga — Mengasuh anak ibarat menata pondasi pada sebuah bangunan yang akan dibentuk menjadi bangunan yang tinggi dan kokoh. Maka kokoh dan tidaknya bangunan tersebut sangat ditentukan oleh kekuatan tatanan pondasinya. Itulah pengibaratan pengasuhan anak. Oleh karena itu, pengasuhan anak bukanlah perkara sepele yang bisa diabaikan. Ini adalah masalah masa depan generasi.

Menurut Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab An-Nizhamul Ijtimaiy fil-Islam, hadhanah atau pengasuhan anak termasuk kategori menjaga jiwa (hifzh al-nafs) yang telah diwajibkan oleh Allah Swt, Yang dimaksud menjaga jiwa dalam hal ini adalah menjaga anak agar terhindar dari kebinasaan (bahaya) dan dari apa saja yang dapat membinasakannya baik secara fisik (jasmani) maupun psikis (naluri).

Anak adalah amanah dari Allah Swt. bagi kedua orang tuanya. Ibarat titipan maka harus dijaga agar tidak rusak, tetap terpelihara, dan tidak hilang. Terlebih ini adalah titipan dan amanah yang telah dianugerahkan kepada kedua orang tuanya. Oleh karena itu, proses pengasuhan anak harus berjalan dengan baik dan optimal sehingga anak tumbuh dan berkembang menjadi generasi pembangun peradaban Islam yang hebat dan tangguh.

Baik dan buruknya generasi sangat ditentukan oleh pola pengasuhan yang diterapkan dalam sebuah keluarga. Ketika seorang ibu menjalankan peran pengasuhan pada anak, ini adalah sebuah peran yang sangat menentukan nasib umat manusia di masa depan. Kesalahan yang terjadi dalam pengasuhan anak bisa menyebabkan kerusakan generasi atau bahkan hilang dan binasanya generasi di masa mendatang.

Pola Pengasuhan Anak dalam Perspektif Islam

Seorang ibu atau siapapun orang yang di pundaknya sedang menjalankan kewajiban pengasuhan anak, maka sudah seharusnya memiliki perspektif pola pengasuhan yang benar dan kuat. Terlebih bagi seorang ibu sebagai orang pertama yang diberikan hak untuk memberikan pengasuhan pada anak.

Pengasuhan anak bukan sekadar memberi makan dan minum, atau melayani apa yang menjadi kebutuhan fisiknya. Namun, mengasuh anak dalam hal ini adalah melayani dengan sepenuh hati dan kasih terhadap apa yang menjadi kebutuhan anak, baik kebutuhan jasmani (fisik) maupun kebutuhan nalurinya (psikis). Selain itu, seorang ibu yang menjalankan pengasuhan juga harus memiliki orientasi bahwa dalam pengasuhan anak harus memperhatikan aspek pembentukan kepribadian Islam yang tangguh pada diri anak.

Dengan demikian dalam pengasuhan anak dibutuhkan perhatian terhadap kecukupan pemenuhan kebutuhan jasmani dan mengarahkan perkembangan naluri agar tertuntun dan terpenuhi dengan jalan yang sesuai tuntunan syariat. Penanaman akidah yang kuat sangat dibutuhkan pada diri anak dalam proses pengasuhan. Memberikan ilmu agama yang cukup untuk menyiapkan anak menghadapi masa baligh atau dewasa.

Pola pengasuhan anak dalam perspektif Islam menjadikan pembentukan kepribadian islami sebagai orientasi utama dalam pengasuhan anak. Pembentukan pola pikir islami dengan memahamkan anak terhadap hukum-hukum Islam yang ditopang oleh penanaman akidah yang kuat, menjadi perhatian khusus dalam pengasuhan anak. Demikian pula dengan pembentukan pola sikap islami dengan membiasakan anak bertingkah laku sesuai tuntunan syariat Islam. Dalam hal ini, keteladan dari ibu maupun ayah dalam ketaatan terhadap syariat Islam menjadi hal yang sangat dibutuhkan dalam proses pengasuhan anak.

Berbeda dengan pola pengasuhan anak dalam konsep mubadalah atau kesalingan. Pola pengasuhan yang dibentuk dalam konsep mubadalah adalah pola pengasuhan yang membentuk anak dengan konsep kesetaraan gender, yang tidak lagi memperhatikan syariat Islam. Sehingga yang lebih mereka pentingkan adalah bagaimana agar konsep kesetaraan gender ini tertanam kuat dalam benak anak yang tengah diasuh.

Hadhanah sebagai Hak Anak yang Wajib Dipenuhi

Hadhanah merupakan hak yang harus didapatkan oleh setiap anak. Sebaliknya ada kewajiban bagi pihak-pihak yang telah ditetapkan oleh Allah untuk menjalankan pengasuhan anak. Dalam hal ini Islam telah memberikan perhatian lebih terhadap pengasuhan anak. Sehingga tidak setiap orang mendapatkan hak pengasuhan anak.

Islam telah menetapkan bahwa hak pengasuhan anak tidak diberikan kepada orang yang dapat menelantarkan anak seperti anak kecil atau orang gila. Anak kecil dan orang gila tidak mungkin mampu memberikan pengasuhan, karena mereka sendiri membutuhkan pengasuhan orang lain.

Islam juga telah menetapkan bahwa hak pengasuhan anak tidak diberikan kepada orang yang dapat menelantarkan anak karena kelalaian atau kesibukannya dengan berbagai aktivitas sehingga tidak memungkinkan untuk mengasuh anak. Pun hak pengasuhan anak tidak diberikan kepada orang yang memiliki sifat-sifat buruk sepeti fasik. Karena sifat-sifat tersebut dapat menyebabkan kebinasaan pada anak. Kemudian Islam tidak memberikan hak pengasuhan anak kepada orang kafir kecuali pengasuhan anak oleh ibu atas anaknya.

Itulah bentuk penjagaan dan perhatian besar yang diberikan oleh Islam terhadap pengasuhan anak. Dalam hal ini pula, Islam menempatkan ibu sebagai orang pertama yang berhak mendapatkan hak pengasuhan anak. Hal ini dapat kita pahami dari sebuah riwayat sebagai berikut, “Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Khaalid As-Sulamiy. Telah menceritakan kepada kami Al-Waalid, dari Abu ‘Amru-yaitu Al-Auza’iy. Telah menceritakan kepadaku ‘Amru bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya ‘Abdullah bin ‘Amru. Bahwasanya ada seorang wanita berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, perutku adalah tempatnya, dan puting susuku adalah tempat minumnya, dan pangkuanku adalah rumahnya. Sedangkan ayahnya telah menceraikanku dan ingin memisahkannya dariku.” Lalu kemudian Rasulullah saw. berkata kepadanya: “Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum menikah.” (HR. Abu Dawud)

Dari hadits ini jelaslah bahwa Islam lebih menempatkan posisi pengasuhan anak pada ibu daripada ayah. Dan tergambar pula bahwa penempatan posisi ini karena pada ibu terdapat kadar fitrah yang dibutuhkan oleh anak ketika dalam masa pengasuhan, seperti kedekatan anak sejak dalam kandungan, masa penyusuan, dalam buaian, dan lain-lain. Itu semua merupakan unsur-unsur yang sangat dibutuhkan dalam pengasuhan anak.

Adapun jika seorang ibu tidak termasuk ahl al-hadhanah (orang yang berhak dalam pengasuhan anak), karena tidak terpenuhinya semua atau sebagian syarat-syarat yang disebutkan dalam pengasuhan anak (seperti telah kawin lagi setelah cerai, atau kurang sehat akalnya, atau semisalnya), maka hak pengasuhannya berpindah kepada pihak berikutnya dalam hak pengasuhan anak.

Jika ibu dan ayah sama-sama bukan ahl al-hadhanah, maka hak pengasuhan anak berpindah kepada pihak-pihak berikutnya, karena keduanya dianggap tidak ada. Yang paling berhak dari semua pihak itu adalah ibu, lalu nenek (ibunya ibu), terus ke atas yang didahulukan dari mereka mana yang lebih dekat. Ini karena mereka adalah orang yang telah nyata melahirkan, sehingga semua berkedudukan sebagai ibu. Setelah itu baru ayah, lalu nenek (ibunya ayah), kemudian kakek (ayahnya ayah), lalu nenek buyut (ibunya kakek), lalu kakek dari ayahnya, lalu nenek dari kakeknya.

Jika kaum pria dan wanita -sebagaimana yang disebutkan di atas- juga tidak mampu, maka hak pengasuhan anak berpindah kepada saudara-saudara perempuan. Demikian dan seterusnya telah diatur secara lengkap dalam Islam terkait hak-hak pengasuhan anak.

Pengatuaran secara lengkap terkait hak pengasuhan anak ini, menunjukkan bahwa Islam memberikan perhatian yang sangat besar dalam pengasuhan anak. Hal ini berbeda dengan konsep mubadalah (kesalingan) dalam pengasuhan anak. Konsep mubadalah telah menempatkan ibu atau ayah pada posisi yang sama dengan peran yang sama. Mereka berpendapat bahwa seorang ayah memiliki ruang yang luas sebagaimana ibu dalam pengasuhan anak.

Bukan hanya mengantar anak ke sekolah atau menemani anak bermain, namun dalam hal menyusui juga bisa dilakukan oleh ayah dengan menggunakan peralatan, sehingga wanita bebas berkarir mengekspresikan dirinya di ruang publik.

Negara Menjamin Terlaksananya Pengasuhan Anak

Islam telah menetapkah bahwa kewajiban nafkah ada pada laki-laki atau ayah. Jika ayah tidak ada maka ada pihak-pihak yang telah ditetapkah oleh Islam untuk memberikan nafkah. Jika pihak-pihak yang berkewajiban memberikan nafkah tidak ada, maka berpindah kepada negara. Dengan demikian seorang ibu bisa memberikan pengasuhan anak secara optimal tanpa harus terbebani mencari nafkah.

Berbeda dengan konsep mubadalah tentang pengasuhan anak yang membebaskan terjadinya pertukaran peran antara ayah dan ibu berdasarkan konsep kesetaraan gender. Ini merupakan konsep yang menyalahi ketentuan syariat Islam sekaligus menyalahi fitrah manusia dengan kadar jenisnya masing-masing.

Islam yang agung telah memberikan pengaturan sedemikian sempurnanya dalam hal pengasuhan anak. Sehingga anak yang berada dalam pengasuhan ibunya, mendapatkan perhatian yang optimal dalam tumbuh kembangnya. Pengasuhan yang memperhatikan pembentukan kepribadian Islam yang tangguh akan menghasilkan generasi-generasi hebat sebagaimana para sahabat dan shahabiyah Nabi.

Sungguh mulia peran seorang ibu dalam proses pengasuhan anak. Pengasuhan yang akan membentuk pondasi yang kuat, tumbuh menjadi generasi yang hebat, generasi pejuang Islam yang tangguh, serta tonggak peradaban Islam di masa mendatang.

Wallahu a’lam bishshawab

[SM/Ah]