Keadilan Hakiki Bagi Perempuan

Oleh: Shafiyah Raihanah

Suaramubalighah.com, muslimah dan keluarga — Islam seringkali dituduh oleh barat sebagai agama yang mendiskreditkan perempuan, seperti hukum yang membedakan perempuan dan laki-laki dalam kewajiban bekerja, kepemimpinan, pakaian, hak waris, poligami dan sebagainya. Sehingga, ada upaya dari kalangan kaum muslim untuk membuat pembelaan (defensif apologetik) dengan cara membuat metode penafsiran ayat dan hadis yang tidak pernah ada pijakannya dalam ilmu penafsiran al-Quran atau al-Hadis.

Sebut saja kaidah mubadalah atau kesalingan. Mereka meletakkan kaidah-kaidah tersendiri untuk mendukung ide kesetaraan gender yang digaungkan barat. Mereka sengaja menjungkirbalikkan kaidah-kaidah penafsiran, terutama dalam ilmu balaghah, dan ushul fiqih agar Islam diakui sebagai agama ‘feminis’. Sehingga, mereka pun mengklaim sebagai feminis muslim. Tanpa mereka sadari, padahal barat sendiri telah memanipulasi ide kesetaraan gender dibuat agar seolah-olah sesuai dengan ajaran Islam. Mereka pun akhirnya menjadi pion-pion barat dalam penderasan Islam moderat dan pengarusan program moderasi beragama.  

Sesungguhnya, Islam tidak memerlukan feminisme atau ide kesetaraan gender. Karena, pandangan Islam terhadap laki-laki dan perempuan sudah jelas dijabarkan oleh Allah. Dalam tabiatnya sebagai manusia, mereka sama di sisi Allah. Keduanya sama-sama diberikan peluang mendapatkan pahala dan surga apabila beriman dan beramal shalih serta ancaman yang sama terhadap neraka apabila ingkar dan berbuat dosa. Karena di dalam masyarakat Islam yang terbentuk, perempuan diberi kewajiban dan hak sebagaimana laki-laki, kecuali terdapat dalil-dalil yang mengkhususkan bagi masing-masing keduanya.

Kodrat laki-laki dan perempuan mempunyai perbedaan dalam peran dan fungsi mereka di tengah keluarga dan masyarakat. Perbedaan tersebut diikuti dengan adanya perbedaan hukum diantara keduanya yang merupakan pemecahan bagi permasalahan keduanya dengan pemecahan yang sebaik-baiknya. Adanya perbedaan-perbedaan tersebut tidak dilihat sebagai pengistimewaan yang satu daripada yang lainnya atau sebagai diskriminasi Islam terhadap perempuan.

Justru, Islam telah memberikan nilai kemuliaan bukan pada jenis perannya, akan tetapi pada sejauh mana keduanya menjalankan peran-peran tersebut sesuai tuntunan dari Allah, Rabb yang menciptakan mereka.

وَلَا تَتَمَنَّوۡا مَا فَضَّلَ اللّٰهُ بِهٖ بَعۡضَكُمۡ عَلٰى بَعۡضٍ‌ ؕ لِلرِّجَالِ نَصِيۡبٌ مِّمَّا اكۡتَسَبُوۡا ؕ‌ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيۡبٌ مِّمَّا اكۡتَسَبۡنَ‌ ؕ وَسۡئَـلُوا اللّٰهَ مِنۡ فَضۡلِهٖ ؕ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُلِّ شَىۡءٍ عَلِيۡمًا

“Janganlah kalian iri hati dengan apa yang telah Allah karuniakan kepada sebagian kalian lebih banyak dari sebagian yang lain (karena) bagi laki-laki ada sebagian yang mereka usahakan dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan (QS. An-Nisa: 32).

Peran perempuan sebagai istri dan ibu ditetapkan sebagai bentuk penjagaan. Islam menjaga perempuan dengan ketetapan hukum yang dibebankan berupa hukum pakaian, wali, mahram, waris, segala hukum yang berkaitan dengan fungsi ibu dan pengatur rumah tangga. Hukum perwalian menjaga siapapun yang ingin memasuki rumah seorang perempuan wajib meminta izin kepada walinya. Ia juga berhak dimintai pendapat dalam urusan keluarga dan mendapat perlakuan yang baik dari suami dan wali-walinya.

Tugas yang diberikannya adalah untuk mengurus rumah tangga dan anak-anak tanpa dibebani kewajiban mencari nafkah. Jika membutuhkan pembantu rumah tangga di rumahnya, maka ia pun berhak mendapatkannya. Sehingga di dalam rumah, seorang perempuan mendapatkan perlakuan adil dan terhormat. Ruang lingkup kehidupannya ada di tempat yang aman, nyaman, jauh dari fitnah dan kekejaman.

Ketika perempuan keluar rumah, perempuan boleh berkiprah di masyarakat, misalnya ikut terlibat dalam aktivitas ekonomi, perdagangan, pertanian, industri dan melakukan berbagai akad dan transaksi di dalamnya. Bahkan, ia boleh memiliki dan mengembangkan harta, berhak mendapatkan kesehatan dan pendidikan terbaik. Hak perempuan dalam bidang politik juga diberikan, yaitu dalam memilih penguasa, memilih dan dipilih dalam majelis perwakilan umat, memiliki posisi di majelis pengadilan serta punya kewajiban untuk berbaiat kepada pemimpin seperti halnya laki-laki. Suara perempuan pun didengar dalam persoalan-persoalan publik.

Namun, ada kewajiban menutup seluruh tubuhnya selain muka dan kedua telapak tangannya. Ketika bepergian dengan perjalanan yang jauh 24 jam atau lebih, mereka wajib ditemani mahram laki-lakinya serta memberikan peraturan larangan khalwat (berduaan) saat pelaksanaan aktivitas kerjasama antara laki-laki dan perempuan. Keduanya harus menjaga ketakwaan selama berinteraksi dan fokus interaksi yang diperbolehkan.  Perempuan pun dilarang melakukan pekerjaan yang merendahkan martabatnya, seperti menjadi pekerja seks komersial, penyanyi di cafe, hotel, bar, dan sebagainya. Sehingga, perempuan hidup dalam kemuliaan karena dijaga kehormatannya.

Islam tidak membeda-bedakan laki-laki dan perempuan mengenai kewajiban berdakwah, beribadah seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lain sebagainya. Keduanya memiliki kewajiban yang sama. Demikian halnya dengan urusan-urusan muamalah seperti jual beli, ijarah, wakalah, kafalah dan sebagainya. Dalam hal urusan sanksi terhadap pelanggaran pun ditetapkan porsi yang sama bagi laki-laki dan perempuan. Siapapun yang melanggar hudud, jinayat dan ta’zir, baik laki-laki maupun perempuan, akan mendapatkan sanksi yang sama tanpa ada diskriminasi.

Begitu pula di bidang pendidikan, Islam mewajibkan menuntut ilmu (thalab al-ilmu) kepada laki-laki dan perempuan. Sehingga, hal ini menunjukkan bahwa taklif beserta hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan adalah sama di dalam Islam. Seorang perempuan juga diberikan hak untuk melakukan aktivitas perdagangan, pertanian, perindustrian, dan lain-lain. Perempuan juga diberikan hak melibatkan diri secara langsung dalam berbagai macam urusan kehidupan.

Begitulah Islam menempatkan perempuan dan memberi perhatian serta penjagaan dengan cara memenuhi hak-haknya sesuai dengan hukum syariah. Sebab, fitrah penciptaan perempuan adalah menjadi seseorang yang berharga, terhormat dan mulia. Ia akan merasa bangga menjadi ibu generasi. Anak-anaknya pun akan menghargai dan berterima kasih karena telah mengasuh mereka.

Masyarakat pun akan berterima kasih terhadap pengabdiannya dalam membina dan melestarikan generasi umat Islam yang handal dan tangguh serta selamat dunia-akhirat. Peran perempuan muslimah seperti ini akan menginspirasi dan menjadi panutan perempuan-perempuan lainnya. Para Muslimah pun akan mencapai kebahagiaan hakiki dari penghormatan tinggi yang diberikan Islam dan memiliki kebanggaan diri di hadapan perempuan di seluruh penjuru dunia.

Dalil yang mendasari hal tersebut adalah realitas dari taklif hukum syariah. Syariah Islam secara umum dibebankan kepada seluruh manusia tanpa memandang laki-laki dan perempuan. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan di hadapan hukum syariah. Keduanya sama-sama mukallaf. Sebagaimana firman Allah SWT:

قُلۡ يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنِّي رَسُولُ ٱللَّهِ إِلَيۡكُمۡ جَمِيعًا

“Katakanlah, “Hai manusia, sungguh Aku adalah utusan Allah kepada kalian semuanya.” (QS al-A’af [7]: 158).

وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا كَآفَّةٗ لِّلنَّاسِ بَشِيرٗا وَنَذِيرٗا وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ

“Kami tidak mengutus kamu melainkan kepada seluruh umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui” (QS Saba’ [34]: 28).

 Allah juga menerangkan dalam ayat lain,

إِنَّ ٱلۡمُسۡلِمِينَ وَٱلۡمُسۡلِمَٰتِ وَٱلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ وَٱلۡقَٰنِتِينَ وَٱلۡقَٰنِتَٰتِ وَٱلصَّٰدِقِينَ وَٱلصَّٰدِقَٰتِ وَٱلصَّٰبِرِينَ وَٱلصَّٰبِرَٰتِ وَٱلۡخَٰشِعِينَ وَٱلۡخَٰشِعَٰتِ وَٱلۡمُتَصَدِّقِينَ وَٱلۡمُتَصَدِّقَٰتِ وَٱلصَّٰٓئِمِينَ وَٱلصَّٰٓئِمَٰتِ وَٱلۡحَٰفِظِينَ فُرُوجَهُمۡ وَٱلۡحَٰفِظَٰتِ وَٱلذَّٰكِرِينَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا وَٱلذَّٰكِرَٰتِ أَعَدَّ ٱللَّهُ لَهُم مَّغۡفِرَةٗ وَأَجۡرًا عَظِيمٗا

“Sungguh kaum Muslim dan Muslimat, kaum Mukmin dan Mukminat, pria dan wanita yang senantiasa berlaku taat, pria dan wanita yang selalu berlaku benar, pria dan wanita yang biasa berlaku sabar, pria dan wanita yang senantiasa takut (kepada Allah), pria dan wanita  yang gemar bersedekah, pria dan wanita yang suka berpuasa,  pria dan wanita yang selalu memelihara kemaluan (kehormatan)-nya, serta pria dan wanita yang banyak menyebut asma Allah, telah Allah sediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”  (QS al-Ahzab [33]: 35).

Khitab (seruannya) menyasar untuk seluruh manusia tanpa membedakan laki-laki dan perempuan. Hal tersebut dapat dilihat juga di beberapa ayat lainnya, diantaranya: QS. Al-Ahzab: 36, QS. An-Nahl: 97, QS. An-Nisa: 124,  QS. Ali Imran: 195, QS. An-Nisa: 7, QS. An-Nisa:32, dan masih banyak ayat-ayat lainnya, datang dalam bentuk umum.

Maka dari itu, syariah Islam diturunkan untuk memberikan pemecahan seluruh masalah manusia, termasuk di dalamnya masalah-masalah yang terkait dengan laki-laki dan perempuan. Interaksi antara laki-laki dan perempuan diatur dengan aturan tertentu. Islam menetapkan hak-hak dan kewajiban bagi laki-laki dan perempuan. Penetapan hak dan kewajiban ini terkait dengan kemaslahatan keduanya dalam pandangan Allah sebagai Sang Pembuat Hukum (Asy-Syari).

Hukum syariah untuk memecahkan persoalan mereka adakalanya sama, namun adakalanya juga berbeda. Hanya saja, kesamaan dalam hak dan kewajiban di antara keduanya bukanlah berdasarkan pada ada atau tidak adanya kesetaraan gender. Perbedaan dalam hak dan kewajiban diantara keduanya tidak dilihat dari ada atau tidak adanya unsur kesetaraan. Karena, pandangan Islam terhadap masyarakat adalah sebagai komunitas manusia yang hidup dalam entitas tertentu (laki-laki dan perempuan), bukan dengan pandangan yang lain.  

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ وَخَلَقَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَبَثَّ مِنۡهُمَا رِجَالٗا كَثِيرٗا وَنِسَآءٗۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلۡأَرۡحَامَۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيۡكُمۡ رَقِيبٗا ١

“Wahai manusia, hendaklah kalian bertakwa kepada Tuhan Yang telah menciptakan kalian dari satu jiwa. Dari jiwa itu, Allah lalu menciptakan istrinya. Lalu dari  keduanya, Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang amat banyak” (QS an Nisa’ [4]: 1).

Akan tetapi, pelaksanaan hukum-hukum penjagaan terhadap perempuan ini menjadi sempurna dengan adanya peran negara. Dalam Islam, negara wajib memastikan pemenuhan segala hak perempuan dan pelaksanaan kewajibannya secara sempurna. Sebab, perempuan adalah warga negara yang terhormat dan bermartabat. Negara tak akan segan untuk menghukum kepala keluarga yang tidak memberi nafkah dengan layak kepada istri (perempuan) dan anak-anaknya. Negara jugalah yang dapat menyelenggarakan sistem pendidikan yang dapat menunjang fungsi utama perempuan, serta menjaga sistem media dan informasi yang membantu terlaksananya tugas pendidikan keluarga di rumah masing-masing.

Oleh karena itu, solusi untuk mengeluarkan perempuan dari ketidakadilan, bukanlah pada ide kesetaraan gender. Solusinya justru terletak pada penerapan aturan Islam yang menyeluruh (Kaffah) yang memiliki visi penjagaan dan perlindungan bagi peran dan fungsi perempuan. Tentu, keseluruhan aturan Islam itu hanya akan didapatkan ketika ada negara yang menerapkannya (Khilafah ‘ala minjah an-nubuwwah).

Wallahu a’lam bishshawab