Oleh: Dra. Rivanti Muslimawaty, M. Ag
Suaramubalighah.com, Opini — Istilah khilafah radikalis dan khilafah oligarkis yang dimunculkan seiring dengan pro-kontra pemindahan ibu kota negara (IKN) oleh para pembenci Khilafah, ibarat lempar batu sembunyi tangan. Sebab kedua istilah tersebut sebelumnya tidak dikenal dalam khazanah Islam. Dan ketika istilah tersebut disematkan pada kata Khilafah, jelas hal ini sebagai bentuk gagal pahamnya mereka tentang Khilafah.
Istilah ini sebagai bentuk pembelaan mereka dari pihak yang menolak proyek IKN. Mereka mengatakan bahwa terkait proyek IKN kepentingan kaum radikalis hanyalah sebatas wacana keagamaan dan politik Islam. Dua tawaran radikalis ini sangat tidak laku dan tidak terjual di Indonesia. Islamisme di kancah nasional dan internasional tertolak dan kurang dilirik. Oleh demikian, maka mereka secara sendirinya sesungguhnya mati _t(idak ngefek)_ di dalam wacana pembangunan mega proyek ini. _(harakatuna.com)_
Khilafah radikalis dan khilafah oligarkis dianggap sama bahayanya. Tapi bila diukur dari kekuatan yang dimiliki masing-masing, lebih berbahaya khilafah oligarkis. Hal ini karena khilafah oligarkis tidak hanya mengendalikan wacana dunia dan narasi di media sosial, melainkan juga sudah mengendalikan dan memonopoli institusi politik dan ekonomi. Bahkan memonopoli semua kehidupan di alam ini. Tidak hanya itu, mereka kerap menyimpang bahkan korup dalam mengelola sumber daya publik. (Abdil Mughis Mudhaffir, 2020)
Oligarki lahir dari sistem kapitalisme yang bertolak belakang dengan sistem Khilafah. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjabarkan oligarki sebagai pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu. Sikap dasar oligarki hanya mementingkan kekayaan atau kapital. Mereka hanya ingin mewujudkan agenda reformasi birokrasi lewat kerangka pemerintahan dalam bahasa teknokrat. Omong kosong bila dikatakan bahwa oligarki ingin menjadikan Indonesia negara baik dan maju. Yang ada bahkan sebaliknya, yaitu mengeruk harta, bumi, gas, dan alam seisinya atas nama negara dan bangsa. Sementara radikalisme, istilah yang digunakan untuk memukul pihak yang bertentangan dengan kepentingan para kapitalis. Sungguh aneh, menyematkan dua hal yang bertentangan dalam satu narasi istilah?!
Meluruskan Makna Khilafah
Kata “Khilafah” secara bahasa adalah mashdar dari “khalafa”. Ibnu Manzhur menyatakan di dalam Lisaan al-‘Arab: Istakhlafa fulaan min fulaan (Seseorang mengangkat si polan). Artinya, ja’alahu makanahu (Ia menetapkan polan menduduki posisinya). Khalafa fulaan[un] fulaan[an] idzaa kaana khaliifatuhu (Polan menggantikan si polan jika ia adalah khalifah [pengganti]-nya). Dikatakan, “Khalaftu fulaan[an] (Saya menggantikan polan).” Maknanya, akhlufuhu takhlif[an] (Saya benar-benar menggantikan dia). Istakhlaftuhu; ana ja’altuhu khaliifati wa astakhlifuhu (Saya mengangkat dia; saya menetapkan dia sebagai pengganti saya dan saya mengangkat dia).
Jadi secara bahasa, “khalifah” adalah orang yang menggantikan orang sebelumnya. Jamaknya khalaaif (ini bentuk asalnya), seperti kariimat[un] jamaknya karaa’im. Ia adalah khalif jamaknya khulafaa’. Adapun Imam Sibawaih mengatakan: khalifah jamaknya khulafaa’.
Al-Qur’an menyebut kata khalifah dalam surat Al-Baqarah ayat 30 dan Shad ayat 26; khulafaa (3 kali: Al-A’raf: 69, 74; An-Naml: 62), khalaa’if (4 kali: Al-An’am: 145; Yunus: 14, 73: Fathir: 39) dan lainnya. Semuanya dinyatakan dalam arti bahasa, yakni pengganti yang menggantikan umat atau pemimpin sebelumnya; menggantikan malaikat untuk mengurus bumi atau mendapat amanah dari Allah untuk mengelola bumi.
Adapun kata Khilafah baik dalam bentuk khalifah, Khilafah, atau khulafaa’, juga dinyatakan di dalam banyak hadits. Semuanya bermakna kekuasaan atau penguasa yang menggantikan Nabi saw. mengurus urusan kaum muslim. Rasul saw. bersabda,
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ
“Dulu Bani Israel dipimpin dan diurus oleh para nabi. Jika para nabi itu wafat, mereka digantikan oleh nabi yang baru. Akan tetapi, setelahku tidak ada lagi seorang nabi, dan akan ada khalifah yang banyak.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Hadits ini menunjukkan bahwa khalifah yang akan ada sesudah beliau hanya menggantikan beliau dalam tugas dan jabatan politik, yaitu memimpin dan mengurusi umat. Dari hadits ini dapat dipahami bahwa bentuk dan sistem pemerintahan bagi kaum muslim sebagai kelanjutan dari pemerintahan Rasul saw. adalah Khilafah. Orang yang mengepalai pemerintahan atau yang memimpin dan mengurusi kaum muslim itu disebut khalifah. Khalifah diangkat dengan baiat dan umat Islam hanya diperkenankan memiliki seorang khalifah berdasarkan sabda Nabi saw.,
إِذَا بُوْيِعَ لِخَلِيْفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْا اْلآخِرَ مِنْهُمَا
“Jika dibaiat dua khalifah, bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR. Muslim)
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa Khilafah merupakan kepemimpinan umum atas seluruh masalah dan wilayah, bukan pada sebagian saja. Adapun tugas Khilafah tidak lain adalah menerapkan Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Hukum Khilafah adalah wajib bagi seluruh kaum muslim. Hal itu ditunjukkan oleh dalil-dalil, baik Al-Qur’an, As-Sunnah, ijmak sahabat, maupun qiyas. Sedemikian jelasnya, kewajiban adanya Khilafah menjadi perkara yang ma’lum[un] min ad-diin bi dharuurah dan menjadi kesepakatan para imam, ulama, dan umat. Jadi, makna Khilafah harus dipahami sesuai dengan tuntutan (yang dikehendaki) Al-Qur’an dan hadits bukan yang dikehendaki oleh para kapitalis untuk menjaga kepentingannya.
Wallahu a’lam bishshawab
[SM/Ah]