Nafkah Janda pada Siapa?

Assalamu’alaikum wr. wb.
Banyak janda baik karena bercerai atau suaminya meninggal yang terpaksa harus bekerja keras untuk menafkahi diri dan anak-anaknya. Tidak sedikit dari mereka hidup dalam kesulitan karena tidak ada yang menanggung nafkah, terlebih dalam situasi ekonomi yang sulit seperti saat ini. Siapa sebenarnya yang bertanggung jawab menafkahi janda dan anak-anaknya?
Ibu Nurani dari Lampung

Wa’alaikumussalam wr. wb.
Semoga Allah SWT merahmati Bu Nurani dan semua pembaca Suara Mubalighah.

Tidak bisa dipungkiri, realitas hari ini banyak janda baik karena suami meninggal atau terpaksa bercerai harus menanggung beban hidup yang tidak ringan. Mereka harus mengasuh dan mendidik anak-anak ketika masih memiliki anak-anak kecil, sekaligus mencari nafkah untuk dirinya sendiri dan anak-anaknya karena tidak lagi ada yang menafkahi. Tak jarang dengan kondisi kesulitan ekonomi, anak-anak dari ibu yang janda tidak mendapatkan pengasuhan dan pendidikan yang baik karena sang ibu sibuk mencari nafkah. Pun tidak jarang mantan suami berlepas tangan dari kewajiban nafkah terhadap anak-anak yang diasuh oleh mantan istrinya, baik karena mantan suami kesulitan ekonomi juga rendahnya tanggung jawab terhadap anak-anaknya. Serta tidak sedikit juga menjadi janda karena suami meninggal dunia dan tidak meninggalkan harta waris untuk dirinya dan anak-anaknya. Itulah realitas kehidupan para janda di kehidupan kapitalis saat ini.

Ini akan sangat berbeda apabila Islam diterapkan dalam kehidupan keluarga-keluarga muslim, terlebih lagi bila diterapkan dalam pengaturan negara. Islam menetapkan perempuan baik berstatus anak, istri, ibu, ataupun janda dinafkahi oleh bapak, wali, atau suaminya. Dalam Islam, selamanya perempuan dinafkahi dan tidak memiliki kewajiban menafkahi baik untuk dirinya sendiri apalagi untuk keluarga dan anak-anaknya. Allah SWT menetapkan nafkah anak baik anak laki-laki maupun perempuan pada bapaknya,

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut.” (QS. Al-Baqarah: 33)

Rasulullah saw. menegaskan kewajiban nafkah ini dengan membolehkan istri mengambil harta suami tanpa seizinnya apabila suami (bapak) bersifat kikir hingga tidak mencukupi kebutuhan istri dan anaknya. Rasul saw. bersabda,

خُذِي مَا يَكْفِيْكِ وَ وَلَدَكِ بِالْمَعْرُوْفِ
“Ambillah (dari harta suamimu) apa yang mencukupimu dan anak-anakmu dengan cara yang baik.” (HR. Bukhari dan Muslim)

As-Shan’ani menuliskan dalam kitab Subulus Salam 2/325, “Mayoritas ulama berpendapat, bahwa kewajiban memberikan nafkah kepada anak itu sampai usia baligh atau sampai menikah bagi anak perempuan. Kemudian setelah itu, tidak ada tanggungan kewajiban nafkah atas bapak, kecuali jika anaknya sakit-sakitan.”

Ketika anak laki-laki telah baligh dan memiliki kemampuan untuk menafkahi dirinya, maka kewajiban nafkah orang tua telah gugur. Adapun untuk anak perempuan yang telah menikah, maka nafkah akan beralih kepada suaminya.

Dalam hal ini, Allah SWT telah menetapkan kewajiban suami untuk menafkahi istri dalam firman-Nya berikut,

ٱلرِّجَالُ قَوَّمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa: 34).

Jabir mengisahkan bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda,
“Bertakwalah kalian dalam masalah wanita. Sesungguhnya mereka ibarat tawanan di sisi kalian. Kalian ambil mereka dengan amanah Allah dan kalian halalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Mereka memiliki hak untuk mendapatkan rezeki dan pakaian dari kalian.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi).

Suami bertanggung jawab penuh untuk menafkahi istrinya sekalipun istrinya kaya raya.
Dalam hal kadar nafkah yang diberikan, suami diperintahkan menafkahi sesuai kadar kemampuannya. Firman Allah SWT,

لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِّنْ سَعَتِهٖۗ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهٗ فَلْيُنْفِقْ مِمَّآ اٰتٰىهُ اللّٰهُ ۗ لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا مَآ اٰتٰىهَاۗ سَيَجْعَلُ اللّٰهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُّسْرًا ࣖ
“Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan.” (QS. Ath-Thalaq: 7)

Kewajiban memberi nafkah akan terus berlangsung selama perempuan tersebut menjadi istrinya. Ketika karena suatu hal keduanya bercerai atau suami meninggal dunia, maka syariat Islam telah menetapkan pengaturan nafkah pada istri baik selama masa ‘iddah maupun setelah selesai masa ‘iddah.

‘Iddah ialah masa tunggu (belum boleh menikah) bagi perempuan yang berpisah dengan suami, baik karena ditalak maupun suami meninggal. Jika ‘iddah -nya karena diceraikan suami dan termasuk talak raj’i (masih bisa rujuk), maka istri masih berhak mendapat nafkah. Selama ‘iddah tersebut, karena kedudukan istri masih berstatus istri yang sah. Sebagaimana firman Allah SWT,

وَبُعُوْلَتُهُنَّ اَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِيْ ذٰلِكَ اِنْ اَرَادُوْٓا اِصْلَاحًا
“Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti itu jika mereka (suami) itu menghendaki islah.” (QS. Al-Baqarah: 228)

Ketika masa ‘iddah telah berakhir dan keduanya tidak rujuk, atau karena suami meninggal, atau karena suami menjatuhkan talak tiga atau talak ba’in (tidak bisa dirujuk kembali) sehingga perempuan tersebut berstatus janda, maka Islam juga telah mengatur penafkahan untuk para janda ini.

Ibnul Qayyim mengatakan, seorang istri yang ditalak tiga tidak memiliki hak nafkah dan tempat tinggal sesuai dengan nash Al-Qur’an, hadits, dan qiyas para ulama. Kecuali istri tersebut dicerai ba’in dalam keadaan hamil. Maka ‘iddah istri tersebut sampai dengan melahirkan sebagaimana ditetapkan Allah SWT dalam firman-Nya,

وَاُولَاتُ الْاَحْمَالِ اَجَلُهُنَّ اَنْ يَّضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan wanita-wanita yang hamil, waktu ‘iddah mereka itu sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath-Thalaq: 4)

Bagi istri yang dicerai ba’in dalam keadaan hamil, Allah SWT tetap mewajibkan suami untuk memberi nafkah karena anak di dalam kandungan itu adalah darah daging suami, dia wajib memberi nafkah kepada anaknya. Sedangkan seorang suami tidak mungkin memberi nafkah kepada anaknya yang ada di dalam kandungan, jika tidak melalui ibunya, meskipun dia telah diceraikan. Allah SWT telah menetapkan hal tersebut dalam firman-Nya,

وَاِنْ كُنَّ اُولَاتِ حَمْلٍ فَاَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ حَتّٰى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَاِنْ اَرْضَعْنَ لَكُمْ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ
“Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka.” (QS. Ath-Thalaq: 6)

Ketika istri telah menjadi janda maka kewajiban nafkah kembali kepada ahli warisnya yaitu bapaknya apabila masih ada dan mampu. Jika bapak sudah meninggal atau tidak mampu karena fakir atau miskin, maka nafkah janda tersebut beralih kepada kakek dari jalur bapaknya. Jika tidak mampu beralih kepada saudara kandung laki-laki, dan seterusnya yang menjadi ahli waris dari janda tersebut.

Adapun anak-anaknya yang masih membutuhkan nafkah, apabila kedua orang tuanya bercerai maka nafkah anak menjadi tanggung jawab bapak selama masa ‘iddah, setelah selesai masa ‘iddah, ataupun setelah si ibu menikah lagi. Nafkah tersebut mencakup seluruh kebutuhan anak sesuai kelaziman dan kemampuan bapak.

Jadi kewajiban nafkah bapak kepada anaknya tidak akan terputus sampai baligh apabila laki-laki dan nafkah untuk anak perempuan sampai menikah.
Namun apabila bapak meninggal maka nafkah akan dikembalikan kepada ahli waris dari anak tersebut dari jalur bapaknya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ibnu Quddamah dalam Al-Mughni,

اذا لم يكن للصبي اب، فالنفقة على ورثته
“Jika anak-anak tersebut tidak memiliki bapak, kewajiban nafkahnya ada pada ahli warisnya.”

Ketika bapak atau ahli waris yang bertanggung jawab terhadap nafkah anaknya yang telah menjanda, atau ahli waris anak dari janda tersebut tidak ada, atau kondisi tidak mampu karena fakir, maka nafkah dari mereka akan ditanggung oleh negara. Nabi Muhammad saw. telah bersabda,

فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ عَلَيْهِمْ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ
“Seorang kepala negara akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya…” (HR. Bukhari dan Muslim)

Negara akan menjamin pemenuhan kebutuhan seluruh rakyatnya termasuk para janda dan anak-anaknya dari harta baitulmal.

Demikianlah Islam menentukan mekanisme penafkahan perempuan, para janda, dan anak-anaknya. Sehingga apapun posisinya selalu sebagai pihak yang dinafkahi. Perempuan tidak sekalipun dibebani dengan kewajiban menafkahi dirinya sendiri ataupun anak-anaknya. Sungguh Islam telah memuliakan perempuan. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]