Oleh: Hayyin Thohiro
Suaramubalighah.com, Ta’bir Afkar — Desakan pengesahan UU TPKS kian masif dilakukan oleh sebagian kalangan. Di antaranya adalah para penggiat feminis muslim. Mereka terus berusaha mencari pembenaran dalam Islam dan melibatkan para tokoh. Dengan semangat feminis pula mereka menafsirkan bahwa UU TPKS mengemban misi kerasulan. Pasalnya melawan kezaliman adalah DNA para rasul, yakni memihak kelompok lemah (dhuafa) dan rentan dilemahkan (mustadh’afin). Mereka mengatakan bahwa netral di depan relasi timpang artinya adalah melakukan pembiaran atas kezaliman yang sedang terjadi.
Menyikapi penafsiran ala feminis yang mengatakan bahwa UU TPKS mengemban misi kerasulan, tentu kita perlu mencermati logika berpikir kelompok feminis, serta memahami misi kerasulan secara shahih. Supaya bisa mendudukkan akar masalah kekerasan seksual berikut solusinya secara tepat.
Misi Kerasulan di Balik UU TPKS?
Logika feminis beranggapan bahwa segala macam upaya perlawanan terhadap praktik kekerasan seksual merupakan bagian dari misi kerasulan. Hal ini karena kekerasan seksual dinilai sebagai bentuk penghambaan pada selain Tuhan, yakni pada hasrat seksual. Sehingga dianggap sebagai kezaliman yang dampaknya tidak saja membawa mafsadat tapi juga mudarat.
Dengan berpijak pada asumsi bahwa setiap praktik syirik berimbas keburukan, feminis menilai bahwa yang terkena dampak buruk dari kekerasan seksual tidak hanya korban, tetapi juga keluarga, masyarakat, dan bangsa. Lebih dari itu, dari segi pelaku pun sebenarnya pihak keluarganya sendiri tidak akan rela mendapati dirinya menjadi predator seksual. Karena itu ketika ada bangsa yang berkenan berjuang untuk merumuskan kebijakan yang menentang segala bentuk kekerasan seksual, maka itu adalah bangsa yang sedang mengemban misi kerasulan. Dan lebih lanjut mereka katakan bahwa poros perjuangan semacam ini adalah tauhid. Sehingga ketika ada pihak yang berlaku syirik (kekerasan seksual), maka menjadikannya pantas dan harus dilawan. Karena perilaku syirik pasti membawa keburukan.
Mereka katakan bahwa pemenuhan syarat tauhid inilah yang membuat panggung sejarah hidup para rasul gegap gempita. Penuhanan dan penghambaan pada selain Allah, pasti akan melahirkan kezaliman pada sesama manusia, alam, maupun makhluk lainnya. Dicontohkan misalnya, tauhid di tangan Rasul Musa as. berarti perlawanan pada penuhanan dan penghambaan atas kekuasaan yang dilakukan oleh Fir’aun. Kekuasaan dipertahankan hingga dengan membunuh bayi laki-laki secara massal. Begitupun di tangan Rasul Syuaib as., tauhid berarti perlawanan pada penuhanan dan penghambaan atas harta. Penduduk Madyan menempuh cara-cara curang dalam memperoleh harta, antara lain dengan mengurangi timbangan.
Menurut mereka di sinilah tauhid menjadi amunisi bagi para rasul untuk melawan kezaliman sebagai dampak langsung penuhanan dan penghambaan pada apapun dan siapapun selain Allah. Dengan demikian misi kerasulan adalah melawan kezaliman dalam bentuk apapun atas dasar tauhid atau iman pada Allah sebagai satu-satunya Tuhan. Kekerasan seksual adalah kezaliman akibat penuhanan dan penghambaan pada libido seksual, yang dampaknya jelas berupa keburukan (mafsadat) bahkan bahaya (mudarat), tidak hanya bagi para korban tetapi juga keluarga, masyarakat, dan bangsanya.
Maka siapapun yang melawannya atas dasar tauhid adalah sedang menjalankan misi kerasulan. Dan bangsa manapun yang berikhtiar membangun sistem hukum untuk mencegah terjdinya kekerasan seksual atas dasar Ketuhanan yang Maha Esa adalah bangsa yang juga sedang menjalankan misi kerasulan. Sehingga upaya mengawal RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual agar disahkan sebagai UU terus dilakukan.
Demikianlah logika feminis yang dijadikan sebagai narasi untuk terus mendesak pengesahan undang-undang. Karena itu kita perlu memahami bagaimana misi kerasulan secara shahih yang didukung oleh dalil-dalil yang menjelaskannya.
Misi Kerasulan secara Shahih
Rasulullah, Muhammad saw. adalah seorang nabi dan rasul terakhir bagi umat manusia. Beliau mengemban risalah berupa ajaran Islam untuk seluruh umat manusia hingga mewariskan pemerintahan tunggal Islam yaitu Daulah Khilafah Islamiyah. Rasulullah menegakkan ajaran tauhid untuk mengesakan Allah SWT, sebagaimana yang dibawa oleh nabi dan rasul sebelumnya. Beliau juga seorang yang tabah dan sabar, hingga layak menjadi panutan bagi manusia dalam segala aspek kehidupan baik dalam urusan dunia ataupun akhirat.
Keteladanan beliau tidak diragukan kebenaran maupun kebaikannya, karena yang disampaikan senantiasa didasarkan pada wahyu dan dibimbing langsung oleh malaikat Jibril.
Dengan mencermati dalil yang ada, setidaknya ada empat misi kerasulan yang dibawa oleh Rasulullah saw. antara lain:
- Misi Ketauhidan
Rasulullah saw. mengajarkan untuk mengesakan Allah SWT dan memberantas kemusyrikan yang dilakukan oleh masyarakat Makkah pada saat itu. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an,
ومَآ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا نُوْحِيْٓ اِلَيْهِ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنَا۠ فَاعْبُدُوْنِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum engkau (Muhammad) melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya: 25)
- Menyempurnakan Akhlak
Akhlak mulia, sempurna dengan tegaknya dinul-Islam. Abu Hurairah ra. menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda,
إِنَّماَ بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخلاقْ
“Sungguh aku diutus untuk menyempurnakan keshalihan akhlak. (HR. Al-Baihaqi dan Al-Bazzar)
Dalam redaksi hadits lainnya dalam riwayat Al-Bukhari, Ahmad, dan Al-Baihaqi diistilahkan dengan shâlih al-akhlâq. Dalam hadits ini, Baginda Rasulullah saw. menekankan besarnya kedudukan akhlak dalam Islam. Lafal shâlih dan makârim yang ditautkan (al-idhâfah) pada lafal al-akhlâq jelas menunjukkan kekhususan dari akhlak itu sendiri, yakni kebaikan yang tak terpisahkan darinya.
Imam Abu Ja’far ath-Thahawi (w. 321 H) dalam Syarh Musykil al-Âtsâr (XI/262) menjelaskan, hadits ini menegaskan bahwa yang dimaksud adalah menyempurnakan din itu sendiri. Sehingga makna hadits ini adalah bahwa Allah SWT mengutus beliau untuk menyempurnakan bagi manusia din mereka dan Allah menurunkan kepada beliau dari apa yang masuk dalam pemaknaan ini, yakni firman-Nya,
ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kamu din-mu.” (QS. al-Maidah [5]: 3)
Dengan demikian diutusnya Nabi Muhammad saw. oleh Allah SWT adalah untuk menyempurnakan syariah beragama manusia. Artinya telah ada syariah beribadah para nabi sebelum Rasulullah saw., kemudian Allah SWT menyempurnakannya.
Kata al-ikmâl semakna dengan al-itmâm. Frasa (shâlih al-akhlâq) yakni shâlih al-adyân, yakni dinul-Islam.
Imam al-Baji, sebagaimana dinukil oleh Imam al-Zurqani (w. 1122 H) dalam Syarh al-Zurqani ‘Alâ Muwaththa’ (IV/404) menuturkan bahwa dulu orang Arab dikenal sebagai sebaik-baiknya manusia dari aspek akhlaknya karena apa yang tersisa di sisi mereka dari syariah ajaran Nabi Ibrahim as.. Mereka lalu tersesat dari sebagian besar di antaranya. Karena itu diutuslah Rasulullah saw. untuk menyempurnakan mahâsin al-akhlâq dengan menjelaskan kesesatannya dan dengan pengkhususan dalam syariahnya.
Al-Hafizh Ibn Abdil Barr Al-Andalusi sebagaimana dinukil oleh Al-Zurqani (ibid, (IV/404) menjelaskan bahwa masuk di dalamnya kesalihan dan kebaikan seluruhnya, din ini, keutamaan, kehormatan, kebajikan (al-ihsân), dan keadilan. Oleh karena itulah diutus Rasulullah saw. untuk menyempurnakannya.
Dari uraian di atas mengandung pelajaran penting yakni pertama, hadits ini menggambarkan visi utama pengutusan Rasulullah saw. adalah untuk menyempurnakan tegaknya din dalam kehidupan, yang diungkapkan secara majazi (kiasan), diwakili kata akhlak. Dalam ilmu balaghah, ini merupakan bentuk dzikr al-juz’i wa irâdat al-kulli (menyebutkan sebagian namun yang dimaksud adalah keseluruhan). Pasalnya, akhlak bagian dari dinul-Islam itu sendiri.
Kedua, hadits ini bukanlah dalil untuk fokus pada pembahasan perbaikan akhlak semata, dengan mengabaikan upaya penegakkan syariah Islam dalam kehidupan. Ini diperjelas dengan keberadaan huruf lam dalam frasa li utamimma yang menunjukkan tujuan dari pengutusan Baginda Rasulullah saw.
Ketiga, upaya menyempurnakan akhlak yang mulia terealisasi dengan menegakkan dinul-Islam dalam kehidupan, yang bisa tegak totalitas dalam naungan Khilafah. Tidak bisa fokus pada perbaikan akhlak semata, dengan mengabaikan dakwah penegakkan syariah Islam itu sendiri secara kaffah. Hal ini diperjelas dengan sunnah Rasulullah saw. dalam dakwahnya yang mendakwahkan akidah dan syariah Islam seluruhnya.
- Memberi Kabar Gembira dan Peringatan
Rasulullah saw. memberikan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepada Allah SWT serta mengikuti beliau. Sebaliknya beliau mengingatkan kepada mereka yang berbuat kejahatan, kemusyrikan, dan kemaksiatan agar menghentikan perbuatan-perbuatan yang terlarang itu. Firman Allah SWT,
اِنَّآ اَرْسَلْنٰكَ بِالْحَقِّ بَشِيْرًا وَّنَذِيْرًا ۗوَاِنْ مِّنْ اُمَّةٍ اِلَّا خَلَا فِيْهَا نَذِيْرٌ
“Sungguh, Kami mengutus engkau dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada satupun umat melainkan di sana telah datang seorang pemberi peringatan.” (QS. Al-Fatir: 24)
- Menjadi Rahmat bagi Seluruh Alam
Diutusnya Rasulullah saw. dengan risalah dinul-Islam diperuntukkan bagi seluruh alam. Bukan hanya untuk kaum muslimin tapi untuk seluruh umat manusia, bahkan seluruh alam. Allah SWT berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami utus engkau (ya Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya: 107)
Syaikh An Nawawi Al Jawi dalam tafsir Marah Labid (Tafsir Munir) Juz II/ 47 menafsirkan ayat itu sebagai berikut: Tidaklah Kami utus engkau wahai makhluk yang paling mulia dengan berbagai peraturan (bisyarâi’) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam, melainkan dalam menerangkan rahmat Kami bagi seluruh alam dalam agama maupun dunia, sebab manusia dalam kesesatan dan kebingungan. Maka Allah SWT mengutus Sayyidina Muhammad saw. sehingga beliau menjelaskan jalan menuju pahala, menampilkan dan memenangkan hukum-hukum syari’at Islam, membedakan yang halal dari yang haram. Dan setiap nabi sebelum beliau, manakala didustakan oleh kaumnya, maka Allah membinasakan mereka dengan berbagai siksa. Namun jika kaum Nabi Muhammad mendustakannya, Allah SWT mengakhirkan azab-Nya hingga datangnya maut dan Allah SWT mencabut ketetapan-Nya membinasakan kaum pendusta Rasul.
Jelaslah bahwa rahmat Allah SWT ini bukanlah berkaitan dengan pribadi Muhammad saw. sebagai manusia, tapi sebagai rasul yang diutus dengan membawa suatu syariat yang memang paling unggul dibandingkan aturan-aturan atau agama yang ada di dunia, sebagaimana firman-Nya,
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَكَفَى بِاللهِ شَهِيدًا
“Dialah Allah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak, agar Dia menangkan agama itu atas semua agama-agama lainnya. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.” (QS. Al Fath: 28)
Dalam tafsir Shofwatut Tafasir Juz II/253, Al Ustadz Muhammad Ali As Shobuni memberikan catatan: Allah Swt tidak berfirman wama arsalnaka illa rahmatan lilmukminin, tetapi ..lil ‘alamin, sebab Allah SWT menyayangi seluruh makhluk-Nya dengan mengutus Muhammad saw..
Kenapa demikian? Sebab Rasulullah datang kepada mereka dengan membawa kebahagiaan yang besar, keselamatan dari kesengsaraan tiada tara, dan mereka mendapatkan dari tangannya kebaikan yang banyak baik dunia maupun akhirat. Dia mengajarkan mereka setelah kebodohan mereka dan memberikan petunjuk atas kesesatan mereka, itulah rahmat bagi seluruh alam.
Bahkan orang yang menolak risalahnya sekalipun (kuffar), masih dirahmati dengan kedatangannya, lantaran Allah SWT mengakhirkan siksaan atas mereka dan mereka tidak disapu bersih oleh azab Allah sebagaimana kaum terdahulu ditimpa gempa, ditenggelamkan, dan lain-lain. Dengan demikian, pengertian rahmatan lil ‘âlamîn itu terwujud dalam realitas kehidupan tatkala Rasulullah saw. mengimplementasikan seluruh risalah yang beliau bawa sebagai rasul Allah SWT.
Lalu bagaimana jika Rasul saw. telah wafat? Tentu rahmat bagi seluruh alam itu akan muncul manakala kaum muslimin mengimplementasikan apa yang telah beliau bawa, yakni risalah syariat Islam dengan sepenuh keyakinan dan pemahaman yang bersumber pada Al-Qur’an dan As Sunnah. Manakala umat Islam telah jauh dari kedua sumber tersebut (beserta sumber hukum yang lahir dari keduanya berupa ijmak sahabat dan qiyas syar’iyyah) dan telah hilang pemahamannya terhadap syariat Islam, maka tidak mungkin umat ini menjadi umat terbaik dan merasakan sempurna rahmat bagi seluruh alam tersebut. Justru dunia rugi lantaran kelemahan pemahaman kaum muslimin terhadap syariat Islam. Oleh karena itu, berbagai upaya untuk menutupi syariat Islam dan upaya menghambat serta menentang diterapkannya syariat Islam, pada hakikatnya adalah menutup diri dan menghalangi rahmat bagi seluruh alam.
Penerapan Islam Kaffah, Solusi Kekerasan Seksual
Misi kerasulan telah sempurna sampai pada kita, yakni solusi tuntas atas segala persoalan hidup umat manusia di dunia hingga akhirat dan rahmat bagi seluruh alam. Islam menjamin kelangsungan hidup yang tenteram dan sejahtera di bawah payung syariat Allah. Sebelum datang masalah untuk menguji hidup seorang hamba atau bahkan negeri, seperangkat aturan yang kaffah telah disiapkan. Begitupun dengan kasus kekerasan seksual, Islam telah memiliki aturan yang jika diterapkan akan mampu menyelesaikannya.
Kekerasan seksual hanya terjadi di dalam sistem yang menghalalkan segala cara, mengagungkan kebebasan, dan mencampakkan peran agama dalam mengatur kehidupan. Semua ini ada di dalam sistem kapitalisme yang berlandaskan sekularisme saat ini.
Berbeda dengan Islam, Islam adalah sistem yang mampu mewujudkan kehidupan yang menjamin pemenuhan kebutuhan hidup, menenteramkan jiwa, dan memuaskan akal. Islam memiliki tatanan kehidupan yang khas yang mampu menghentikan perilaku seks bebas secara tuntas dan mencegah munculnya peluang-peluang penyimpangan perilaku termasuk seks bebas tersebut. Islam memiliki solusi yang dilandaskan pada nash-nash syariah yang berasal dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sistem Islam telah diterapkan dalam sistem pemerintahan Islam sejak masa Rasulullah saw., Khulafaur Rasyidin, dan masa kekhilafahan sesudahnya sampai tahun 1924. Islam memiliki kemampuan menyelesaikan penyimpangan perilaku (seks bebas) dan menghentikannya secara tuntas saat diterapkan secara kaffah, baik pada masa silam maupun pada masa yang akan datang.
Sebelum kejahatan kekerasan seksual itu terjadi, Islam sudah memiliki aturan berikut:
- Upaya preventif, yaitu untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak dikehendaki, termasuk kekerasan seksual di kemudian hari.
Di antaranya Islam mengatur interaksi laki-laki dan perempuan. Secara fitrah, laki-laki dan perempuan hidup terpisah. Tanpa alasan syar’i, mereka tidak diperkenankan untuk berinteraksi secara intens. Di dunia pendidikan, tempat duduk siswa dan siswi terpisah. Interaksi di antara mereka hanya diperbolehkan sebatas proses belajar-mengajar. Begitupun dalam dunia kesehatan, hukum (peradilan), perdagangan, dan lain sebagainya. Interaksi antara laki-laki dan perempuan sekadar interaksi yang dibutuhkan. Ada ilmu dan adab dalam semua perbuatan atau perilaku. Ilmu dan adab itu terdapat dalam sumber hukum Islam, yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah. - Upaya kuratif, yaitu untuk menghukum pelanggar syariat. Apabila dalam proses pemberlakuan syariat Islam terjadi pelanggaran, Islam memiliki sistem sanksi atau ‘uqubat yang tegas. Allah SWT berfirman, وَلَكُمْ فِى الْقِصَاصِ حَيٰوةٌ يّٰاُولِى الْاَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ “Dan dalam qisas itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 179)
Terkait kekerasan seksual, hukum Islam menindak tegas pelakunya (pemerkosa, pedofil, dan predator seksual). Di masa Rasulullah, pelecehan seksual pernah dialami seorang muslimah. Kisahnya ditulis dalam kitab Abu Dawud dan At -Tirmidzi.
Diceritakan bahwa di suatu malam, seorang muslimah berjalan menuju ke masjid untuk salat berjamaah. Dalam perjalanan, muslimah itu dihadang oleh seorang laki-laki yang berniat jahat kepadanya. Laki-laki itu memerkosanya. Perempuan itu tak berdaya melawannya. Ia sudah berteriak meminta tolong. Nahas, tak seorangpun yang mendengar teriakannya.
Setelah merenggut kehormatan muslimah tersebut, pelakunya kabur. Tak lama setelah itu, seorang laki-laki lain lewat di hadapannya. Ia melihat ada perempuan yang meminta tolong. Ketika hendak menolongnya, ia malah dicurigai sebagai pelaku pemerkosaan. Insiden itu terjadi di malam hari sehingga korban pemerkosaan tak mengenali wajah pelaku yang sebenarnya.
Lalu, sekelompok orang Muhajirin lewat. Muslimah itu mengaku bahwa ia telah diperkosa oleh laki-laki yang bersamanya. Merasa tertuduh, laki-laki tersebut lari ketakutan. Ia dikejar dan tertangkap, kemudian dihadapkan kepada perempuan tersebut.
Laki-laki itu dibawa ke hadapan Rasulullah. Rasulullah menetapkan hukuman had kepadanya. Sesaat hukuman akan beliau jatuhkan, laki-laki pemerkosa yang sesungguhnya datang untuk menyerahkan diri. Laki-laki malang tadi terbebas dari hukuman had. Rasulullah menyuruhnya untuk pergi dan berkata kepada korban pemerkosaan itu, “Pergilah, Allah telah mengampunimu!” Rasulullah kembali bersabda, “Rajamlah laki-laki ini. Andai taubatnya dibagikan ke seluruh penduduk Madinah, taubatnya akan diterima.”
Dari kisah di atas, dapat kita lihat bahwa penegakkan hukum kepada pelaku pelecehan seksual benar-benar dilaksanakan oleh Rasulullah sebagai pemimpin kala itu.
Islam sangat melindungi kehormatan manusia, termasuk perempuan. Apabila ada kehormatan perempuan ternoda, Islam tak segan-segan menindak tegas pelakunya dengan sanksi setimpal. Penerapan sanksi terhadap pelaku kejahatan berfungsi sebagai zawâjir dan jawâbir. Zawâjir (pencegah) berarti mencegah manusia lain dari melakukan tindak kejahatan serupa. Jawâbir (penebus) berarti menebus dosa kejahatan pelaku di akhirat.
Demikianlah misi kerasulan yang seharusnya diperjuangkan untuk menyelesaikan masalah kekerasan seksual, yaitu kembali menerapkan syariat Islam secara kaffah sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah dan dilanjutkan oleh para khalifah sesudahnya dalam satu tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Bukan dengan memperjuangkan dan mendukung RUU TPKS. Insyaa Allah, segala bentuk kezaliman akan bisa diselesaikan. Serta keberadaan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam akan benar-benar dirasakan.
Wallahu a’lam bishshawab.
[SM/Ah]