Oleh: Arini Retnaningsih
Suaramubalighah.com, Ta’bir Afkar — Qirā’ah Mubādalah dewasa ini menjadi salah satu tren wacana para aktivis gender muslim Indonesia setelah pada Februari 2019, Faqihudin Abdul Kodir menerbitkan buku Qirā’ah Mubādalah: Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender dalam Islam.
Oleh kaum feminis, metode langsung ditelan mentah-mentah dan menjadi sumber amunisi untuk membantai hukum-hukum Islam yang mereka anggap menyudutkan perempuan tanpa melakukan pengkajian kritis terlebih dahulu.
Berbagai persoalan terkait perempuan selalu dikaitkan dengan pembahasan metode mubadalah atau kesalingan ini. Sebagai contoh, ketika menanggapi kasus ceramah tentang KDRT yang dianggap aib sehingga istri menutupinya, dalam artikel yang terbit di harakatuna[dot]com (5/2/2022) dinyatakan, “Namun demikian, alangkah lebih baiknya nusyuz ini dimaknai kesalingan, artinya bisa istri yang tidak taat, juga bisa suami yang tidak bertanggung jawab.”
Dari metode ini, masih menurut artikel tersebut, istri bisa balik memukul suami agar suami jera. Pukulan istri ini bisa dilakukan dengan banyak cara, bisa melapor ke orang tua atau pihak yang berwajib.
Sebagai akibat berkembangnya penggunaan metode mubadalah ini, muncullah penafsiran bahwa qawwam (lihat QS An-Nisa :34) bisa berlaku bagi perempuan; istilah 2:1 dalam warisan (QS An-Nisa : 11) dan persaksian (QS 2: 282) bukan hal yang prinsipiel sehingga harus dipahami fleksibel dan kontekstual (baca: boleh disamakan); laki-laki juga menjadi sumber fitnah bagi perempuan (penafsiran HR Bukhari-Muslim, “Sepeninggalku, tidak ada (sumber) bencana yang lebih besar bagi laki-laki selain daripada perempuan.”); ada bidadara bagi perempuan di dalam surga; dan sebagainya. (Abdul Kodir, F. 2019. Qira’ah Mubadalah. IRCiSoD, Yogyakarta)
Metode pembacaan nas secara mubadalah ini lahir dari keprihatinan penulis terhadap tafsir dan pembacaan nas yang dinilainya bersifat patriarki. Pemikiran dan hukum-hukum yang dihasilkan dianggap mendiskriminasi perempuan sehingga dirasa perlu untuk memperbaharui metode pembacaan nas yang mengedepankan kesetaraan gender.
Masalahnya, metode pembacaan nas-nas (Al-Qur’an dan Sunah) sebenarnya telah dikenal dan sudah digunakan secara mapan dalam dunia Islam berabad-abad lamanya. Berbagai tsaqafah yang digunakan dalam proses ini seperti usul fikih, ulūm al-Qur’ān, ulūm al-hadīts, dan lain-lain merupakan warisan ilmiah para ulama yang secara esensi bersambung pada Nabi saw. dan para sahabat, serta diwariskan kepada tabiin, tabi’ut tabiin, dan seterusnya pada zaman setelahnya sampai sekarang.
Menimbang hal ini, kita perlu untuk mengkritisi metode mubadalah, apakah layak untuk menjadi metode pembacaan nas, yaitu penafsiran atas ayat Al-Qur’an dan Sunah Rasulullah saw.?
Konsep Metode Mubadalah
Menurut Fakihuddin Abdul Kodir (penulis), istilah mubadalah digunakan untuk sebuah metode interpretasi terhadap teks-teks sumber Islam yang meniscayakan laki-laki dan perempuan sebagai subyek yang setara yang keduanya disapa oleh teks dan harus tercakup dalam makna yang terkandung dalam teks tersebut. (ibid, hal. 60).
Istilah mubadalah ini kemudian diterjemahkannya sebagai kesalingan, suatu bentuk penafsiran terhadap teks yang mencakup laki-laki dan perempuan sebagai subjek dari makna yang sama.
Metode mubadalah ini menurut penulis terinspirasi dari ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis, di antaranya QS At-Taubah :71 :
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”
Begitu juga QS Ali Imran: 195, An-Nisa :124, An-Nahl: 97, dan sebagainya. Sedangkan dari hadis, salah satunya adalah yang diriwayatkan Aisyah bahwa Rasulullah saw. bersabda,
إِنَّمَا النِّسَاءُ شَقَائِقُ الرِّجَالِ.
“Perempuan itu saudara kandung laki-laki.” (Sunan Abu Dawud)
Selain itu, penulis menyimpulkan adanya metode mubadalah dari konsep maskulinitas (bentuk mudzakkar) maupun feminitas (bentuk muannats) dhamir (kata ganti orang) yang digunakan oleh Al-Qur’an. Baginya, itu adalah taghlib atau kebiasaan dalam kultur bahasa Arab yang diadopsi oleh Al-Qur’an.
Jadi, meskipun Al-Qur’an menggunakan dhamir maskulin, bukan berarti hanya laki-laki saja yang ditaklif, juga jika Al-Qur’an menggunakan dhamir (kata ganti) feminin, tidak berarti bahwa hanya perempuan saja yang ditaklif.
Dengan begitu, pembacaan mubadalah ini juga hadir untuk menunjukkan substansi pesan yang pada dasarnya menunjuk kepada laki-laki maupun perempuan. Pembacaan ini juga berlaku saat memahami hadis.
Metode pemaknaan mubadalah didasarkan pada tiga premis dasar. Pertama, Islam hadir untuk perempuan dan laki-laki sehingga teks-teksnya juga harus menyasar kedua belah pihak.
Kedua, prinsip relasi antarkeduanya (perempuan dan laki-laki) adalah kesalingan, bukan hegemoni dan kekuasaan.
Ketiga, teks-teks Islam terbuka untuk dimaknai ulang dan untuk memungkinkan kedua premis sebelumnya tercermin dalam setiap kerja-kerja interpretasi (ibid, hal. 196).
Secara ringkas, cara kerja pembacaan nas dengan metode mubadalah melalui tiga langkah. Pertama, menemukan nilai prinsipiel dari ajaran agama Islam melalui penelusuran pada teks-teks yang bersifat universal sebagai landasan awal. Misalnya, adanya balasan bagi setiap perbuatan baik maupun buruknya tanpa memandang jenis kelaminnya, bahwa keadilan harus ditegakkan, begitu juga kemaslahatan serta kerahmatan harus ditebarkan.
Kedua, mencari gagasan utama atau ideal moral dari teks yang akan ditafsirkan. Penulis menawarkan cara sederhana untuk menangkap gagasan utama ayat dengan menghilangkan subjek maupun objek dari teks, sehingga menyisakan predikat yang secara otomatis menjadi gagasan utama teks.
Makna penting yang terkandung dalam teks ini kemudian dikaitkan dengan nilai prinsipiel yang terambil dari langkah pertama untuk dilanjutkan pada langkah terakhir.
Ketiga, menurunkan gagasan utama kepada jenis kelamin yang tidak disebutkan dari teks. Dengan begitu, tidak ada teks yang terbatas hanya pada salah satu jenis kelamin, melainkan mencakup keduanya sekaligus. Implikasinya, teks yang membicarakan laki-laki dapat diaplikasikan pada perempuan dan teks yang tertuju pada perempuan bisa pula diaplikasikan kepada pihak laki-laki. Dengan syarat ditemukan gagasan utama yang menerima pemberlakuan bagi keduanya (ibid, hlm. 200—202).
Mengkritisi Metode Mubadalah
Mengkritisi metode mubadalah bukanlah hal mudah karena harus mengupas dua sisi sekaligus. Satu sisi yang memang benar penempatan dalil-dalilnya, serta sisi lain yang merupakan penafsiran yang tidak tepat dari dalil-dalil yang benar.
Oleh karenanya, orang yang membaca sekilas metode mubadalah ini sering terjebak pada satu sisi saja, kemudian merasa bahwa metode ini adalah benar karena menggunakan dalil-dalil yang benar dan lantas mengadopsinya. Wallahu a’lam bishshawab.
Bersambung ke Bagian 2/2: Tiga Poin Kritis Metode Qira’ah Mubadalah
Sumber: muslimahnews.net